Sejak hari itu, percakapan mereka menjadi sedikit lebih terbuka. Lex tidak lagi membentak, meskipun ia masih jarang berbicara. Namun, ia mulai menerima kehadiran Celine. Ia akan makan sedikit lebih banyak, dan terkadang, ia bahkan akan menceritakan fragmen-fragmen kecil tentang pegunungannya, tentang angin dingin dan sungai yang jernih, tentang kehidupan sederhana yang ia impikan. Celine mendengarkan dengan sabar, tidak menghakimi, hanya menawarkan telinga yang mau mendengar. Ia merasakan ikatan aneh mulai tumbuh di antara mereka, ikatan yang melampaui status Jenderal dan pelayan. Celine menemukan bahwa di balik kekerasan hati dan luka Lex, ada jiwa yang haus akan kedamaian dan pemahaman.
Namun, kedamaian di paviliun itu hanyalah fatamorgana. Di luar, Kekaisaran Lota sedang sekarat. Kekalahan di perbatasan utara hanyalah awal. Pertahanan yang begitu lama dianggap tak tertembus ternyata rapuh. Desas-desus tentang pasukan pemberontak yang semakin kuat, yang didukung oleh kekuatan asing, mulai menyebar di seluruh istana. Para bangsawan yang dulunya setia kini berkhianat, mencari keuntungan pribadi. Kaisar yang sudah tua dan lemah tak berdaya.
Suatu pagi, ketika Celine sedang mengganti perban Lex, Jenderal itu tiba-tiba bertanya, "Mengapa kau tidak menyerah padaku, Celine? Banyak pelayan lain pasti sudah lari."
Celine menghentikan gerakannya. "Karena saya percaya pada kekuatan orang, Jenderal. Meskipun mereka sendiri tidak melihatnya. Dan... saya tidak bisa meninggalkan seseorang yang membutuhkan."
Lex menatap perban di lengannya, lalu ke wajah Celine. Ada kelembutan yang aneh di matanya. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, Celine. Aku... aku kehilangan segalanya. Kehormatan, kekayaan, masa depanku..."
"Anda tidak kehilangan segalanya, Jenderal," Celine berkata, suaranya tegas namun lembut. "Anda masih punya diri Anda. Dan itu adalah hal terpenting. Mungkin Anda hanya perlu menemukan kembali tujuan Anda. Tujuan yang tidak bergantung pada medali atau kemenangan perang."
Senyum tipis tersungging di bibir Lex. Senyum yang hampir tak terlihat, namun nyata. Itu adalah senyum pertama yang Celine lihat darinya yang tulus dan tidak dipaksakan.
"Mungkin," kata Lex, "Mungkin kau benar." Ia menatap Celine dengan tatapan yang dalam, seolah baru pertama kali melihatnya. "Terima kasih, Celine."
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang istana. Dentuman yang berbeda dari gempa biasa, lebih menyerupai ledakan. Alarm perang meraung, memekakkan telinga, memecah keheningan yang telah lama menyelimuti Lota. Teriakan panik menggema di mana-mana, dari setiap penjuru istana. Celine berlari ke jendela, matanya terbelalak melihat api berkobar di cakrawala, panji-panji asing berkibar angkuh di atas menara gerbang utama. Kekaisaran Lota diserang! Pertahanan yang lemah akhirnya runtuh, ambruk seperti rumah kartu.
"Apa yang terjadi?!" Lex berteriak, bangkit dari tempat tidur dengan mata terbelalak, lupa akan lukanya. Aura Jenderal perang yang dulu kembali menyelimutinya, meskipun tubuhnya masih lemah.
"Istana diserang, Jenderal!" Celine berseru, suaranya bergetar ketakutan, namun ia berusaha tetap tenang. "Itu... itu panji Kekaisaran Valerius!"
Lex menggeram, mencoba mencari pedangnya yang tergeletak di sudut ruangan. Wajahnya yang sebelumnya murung kini dipenuhi amarah dan tekad baja. Ia **Jenderal Lex Yehaz** yang dulu, hidup kembali di tengah kehancuran. Ia tidak bisa menyelamatkan kekaisaran, tapi ia bisa bertarung hingga titik darah penghabisan.
"Kau harus pergi, Celine!" Lex berteriak, meraih pergelangan tangan Celine. "Ikut aku! Kita harus keluar dari sini!"
Mereka berlari menembus koridor istana yang kini kacau balau, dipenuhi asap, debu, dan jeritan. Para prajurit musuh, berpedang dan berpanah, merangsek masuk ke setiap ruangan, menjarah dan membunuh. Suara pedang beradu, jeritan putus asa, dan bau asap pekat memenuhi udara. Di tengah kekacauan itu, Lex, meskipun terluka dan hanya bersenjatakan belati kecil yang ia temukan, bertarung dengan ganas. Ia melindungi Celine dengan tubuhnya, mendorongnya maju, melempar siapa pun yang menghalangi jalan mereka dengan sisa kekuatannya.
"Jenderal, luka Anda!" Celine berseru, melihat darah segar merembes dari perban di lengan Lex yang baru saja ia ganti. Ia bisa merasakan Lex terengah-engah.
"Diam! Kita harus keluar!" Lex membentak, meraih tangan Celine lagi, menariknya dengan paksa. "Jangan menoleh ke belakang!"
Saat mereka hampir mencapai gerbang belakang yang mengarah ke hutan tersembunyi, sebuah ledakan hebat terjadi. Batu dan kayu berhamburan ke segala arah. Dinding runtuh, menghalangi jalan mereka. Di tengah asap dan puing-puing, seorang prajurit musuh berbadan besar, bersenjata kapak raksasa, muncul di hadapan mereka, seringai jahat menghiasi wajahnya.
"Satu lagi mangsa!" teriak prajurit itu, mengayunkan kapaknya ke arah Celine yang terperangkap.
"Celine!" Lex mendorong gadis itu menjauh dengan kekuatan terakhirnya. Kapak itu mengayun, bukan mengenai Celine, melainkan menembus lengan kanan Lex yang tak terlindungi, tempat ia kehilangan perisainya. Darah menyembur deras. Lex menjerit kesakitan yang tak terperi, namun matanya tetap tertuju pada Celine, memastikan ia selamat.
Prajurit itu kembali menyerang, namun Lex, meskipun hanya dengan satu lengan yang tersisa dan darah membanjiri lantai, berhasil menjatuhkannya dengan tendangan kuat ke ulu hati. Ia memegangi lengannya yang putus, wajahnya memucat pasi, nafasnya tercekat.
"Jenderal!" Celine menjerit, berusaha menopang tubuh Lex yang limbung. Tangannya gemetar saat melihat darah Lex yang membanjiri gaunnya. "Tangan Anda...!"
"Kita... harus... pergi," Lex terengah, menunjuk ke arah celah kecil di dinding yang runtuh, yang baru saja terbentuk akibat ledakan. "Ke... tanah kelahiranku. Kau harus ikut. Aku tidak akan meninggalkanmu di sini."
Dengan sisa tenaga, Lex menyeret Celine, melewati puing-puing, menembus kerumunan prajurit musuh yang kini lebih tertarik menjarah daripada mengejar mereka. Kekuatan yang aneh memancar dari Lex, kekuatan seorang pria yang kehilangan segalanya kecuali satu-satunya hal yang ia putuskan untuk selamatkan—nyawa Celine. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa harus melakukannya. Gadis itu adalah secercah cahaya di kegelapan tergelapnya.
Mereka berhasil keluar dari istana yang kini terbakar, berlari melintasi hutan di belakangnya. Malam telah tiba, diselimuti kegelapan dan jeritan dari kota yang terbakar. Lex tersandung beberapa kali, kehilangan darah yang banyak, nyaris pingsan. Celine berusaha membantunya, menyobek gaunnya untuk membalut luka Lex yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Ia mengikatnya seerat mungkin untuk menghentikan pendarahan.
Perjalanan itu adalah neraka. Berhari-hari mereka berjalan, melarikan diri dari bayang-bayang Lota yang jatuh. Lex membimbing mereka, hanya berbekal naluri dan kenangan masa lalu. Ia sering pingsan karena kehilangan darah dan infeksi. Celine merawatnya dengan sepenuh hati, memburuh di desa-desa kecil yang mereka lewati untuk mendapatkan makanan dan obat-obatan. Ia mencuri, memohon, melakukan apapun untuk memastikan Lex bertahan hidup. Luka di lengan Lex membusuk, dan Celine harus membersihkannya setiap hari, menahan tangisnya sendiri saat Lex menahan rasa sakit.
"Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa terus," Lex berbisik suatu malam, demam tinggi menyerang tubuhnya yang lemah. Mereka bersembunyi di sebuah gua kecil, api unggun kecil menjadi satu-satunya sumber kehangatan. "Aku... aku membebani kau, Celine. Seharusnya kau tinggalkan aku."
"Jangan bicara seperti itu, Jenderal!" Celine membalas, matanya berkaca-kaca. "Anda menyelamatkan hidup saya. Saya tidak akan meninggalkan Anda. Kita akan sampai. Kita akan sampai di tempat kelahiran Anda."
Celine mengompres dahinya dengan kain basah, menyenandungkan lagu-lagu lama yang ia dengar dari pelayan tua di istana. Ia merasakan betapa rapuhnya Lex saat ini, betapa ia kehilangan kekuatan yang dulu. Ia merasakan tanggung jawab yang besar di pundaknya.
Perlahan, hari demi hari, mereka bergerak maju, menuju utara, semakin jauh dari kehancuran Lota, semakin dekat dengan janji Lex. Celine menjadi kekuatannya, menopangnya saat ia nyaris jatuh, membisikkan kata-kata penyemangat, dan memastikan ia tidak menyerah.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu perjalanan yang melelahkan, suatu pagi, di tengah kabut tipis yang menyelimuti lembah, sebuah pemandangan muncul di hadapan mereka. Pegunungan menjulang tinggi, diselimuti salju abadi di puncaknya, hutan pinus yang lebat memenuhi lerengnya, dan sungai yang jernih mengalir membelah lembah. Itu adalah pemandangan yang sama dari sketsa Lex. **Tanah kelahiran Lex Yehaz**.
Lex ambruk di tanah, kelelahan total. Wajahnya pucat pasi, namun senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang sama yang pernah Celine lihat di istana, senyum yang menjanjikan harapan. Ia menatap Celine, matanya redup namun penuh rasa terima kasih yang tak terhingga. Lengan kanannya hanya menyisakan buntung yang dibalut perban lusuh, bekas luka yang mengerikan namun menjadi bukti pengorbanannya.
"Kita... sampai," bisik Lex, suaranya nyaris tak terdengar, namun dipenuhi kelegaan.
Celine berlutut di sampingnya, air mata mengalir di pipinya, bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan dan harapan yang meluap. "Ya, Jenderal. Kita sampai. Akhirnya."
Ia membantu Lex berdiri, membimbingnya menuju sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di balik pepohonan pinus. Gubuk tua yang tampak sederhana, namun bersih dan terawat. Mungkin milik keluarga Lex, atau bekas tempat tinggalnya.
Di lembah tersembunyi itu, jauh dari intrik istana dan kehancuran perang, seorang jenderal yang kehilangan segalanya—termasuk tangan kanannya—dan seorang gadis pelayan yang setia menemukan tempat untuk memulai kembali. Lex telah menyelamatkan Celine dari kehancuran Lota, dan dalam prosesnya, Celine telah menyelamatkan Lex dari jurang keputusasaan yang mengurungnya. Mereka bukan lagi Jenderal dan pelayan, melainkan dua jiwa yang selamat, dua sahabat yang tak terpisahkan, siap membangun hidup baru di tanah yang menjanjikan kedamaian, jauh dari bayang-bayang kehancuran Kekaisaran Lota.
Ini adalah awal yang baru, bukan akhir. Lex mungkin kehilangan tangannya, tapi ia menemukan kembali jiwanya. Celine mungkin kehilangan istana, tapi ia menemukan kebebasan dan makna hidup yang lebih dalam. Dan di antara mereka berdua, di lembah yang tenang itu, tumbuhlah benih harapan yang baru, sebuah cerita yang jauh dari gelar dan kemegahan, namun kaya akan pengorbanan dan ketulusan.