Lucia masih duduk di bangku kelas empat SD ketika hari-harinya berubah. Gadis kecil itu, dengan rambut hitam legam diikat dua dan mata bulat penuh rasa ingin tahu, awalnya anak yang riang. Namun, segalanya berubah ketika Vivian dan gengnya mengincar Lucia yang pendiam.
Hari itu, jam istirahat, Lucia duduk di sudut lapangan sambil membaca buku cerita. Vivian, dengan rambut yang diikat kencang dan seragam yang rapi, menghampirinya. Di belakangnya berdiri Cici, Fiona, Zea, Happy, dan Tirani.
“Hei, Lucia. Kamu suka banget ya baca buku? Nggak bosen?" Vivian menyeringai sambil merampas buku Lucia.
“Hei, itu... itu punyaku... balikin!" Lucia mencoba merebut bukunya, namun Vivian memegangnya lebih kuat.
“Kamu mau bukumu balik? Gabung geng kita, dong. Kalau nggak, besok-besok kamu bakal sendirian terus!" Vivian mengancam.
Lucia memandangi sekeliling. Tak ada guru. Teman-temannya hanya melihat tanpa berani mendekat. Ia menelan ludah.
“Aku... aku ikut... asalkan aku bisa ambil bukuku lagi..." suaranya bergetar.
Vivian tertawa puas. “Pinter! Nah, besok kamu bawa jajan buat kita semua ya. Jangan lupa contekan pas ulangan!"
Lucia hanya bisa mengangguk. Sejak hari itu, ia menjadi 'asisten' geng Vivian. Membelikan jajan, menuruti perintah mereka, bahkan meminjamkan buku dan alat tulis. Hatinya sakit, namun ia tak berani mengadu. Setiap malam, ia berbaring menatap langit-langit kamar, menggenggam boneka beruang kecil yang diberi ibunya.
“Tuhan... aku cuma mau teman yang baik... kenapa aku harus kayak gini?" bisiknya.
Ibunya, Bu Rina, kadang memperhatikan Lucia yang tampak lelah, namun Lucia selalu menutupi.
“Lucia, kamu kenapa? Ada masalah di sekolah?"
Lucia memaksa senyum. “Nggak kok, Ma. Cuma capek belajar. Besok ada ulangan, jadi harus belajar banyak."
Bu Rina mengusap kepalanya. “Ya sudah, yang penting jangan lupa makan dan istirahat ya."
Lucia mengangguk, meski hatinya memberontak. Namun, di sekolah, tekanan makin berat. Suatu hari, Vivian memarahi Lucia karena contekan ulangan matematika yang ternyata salah.
“Gimana sih kamu? Aku jadi dapet nilai jelek gara-gara contekanmu!" bentak Vivian.
“Aku nggak sengaja... aku juga nggak ngerti tadi soalnya..."
“Ah, alasan! Dasar bodoh!" Vivian mendorong Lucia ke dinding lorong sekolah.
Lucia terdiam. Teman-temannya hanya memandang tanpa berani melawan geng Vivian. Namun ada satu anak laki-laki, yang memperhatikan dari jauh. Wajahnya menunjukkan rasa iba, tapi ia belum berani mendekat.
Lucia pulang ke rumah dengan pundak terkulai. Malam itu, ia menatap cermin dan berkata pada bayangannya:
“Kamu harus kuat. Jangan sampai mereka bikin kamu lemah."
Lucia mengira babak kelam masa kecilnya akan berlanjut, tapi hidup memberinya secercah cahaya.
Saat lulus SD dan masuk SMP, pandemi melanda. Sekolah-sekolah tutup, kelas dipindahkan ke rumah lewat daring. Lucia, yang semula takut harus berhadapan dengan teman-teman baru, justru merasa lega.
Di ruang kamarnya yang mungil, ia duduk di depan laptop. Wajahnya yang dulu selalu menunduk, kini mulai menatap layar dengan rasa penasaran. Pada hari pertama kelas daring, guru memperkenalkan mereka lewat Zoom.
"Selamat pagi, anak-anak! Kenalkan teman baru kita. Silakan perkenalkan diri, ya."
Lucia mengusap rambutnya gugup. "Halo... nama aku Lucia. Aku suka menggambar... dan suka baca buku cerita..."
Tak lama, suara ceria menyambutnya. "Halo Lucia! Aku Rara. Suka gambar juga loh!"
"Aku Mentari, salam kenal ya, Lucia!"
"Aku Gentala. Senang kenal kamu."
Lucia tersenyum kecil. Ada rasa hangat yang merayapi dadanya. Setelah sekian lama, akhirnya ada teman yang menyambutnya dengan hangat.
Hari-hari berlalu. Lucia mulai akrab dengan Rara, Mentari, dan Gentala. Mereka sering mengobrol di grup WhatsApp kelas.
"Lucia, aku pengen baca cerita kamu. Kamu upload di mana?" tanya Rara.
"Aku kadang upload di Mangatoon, tapi masih malu-malu... takut jelek," jawab Lucia.
"Eh, kamu hebat banget! Kasih link-nya dong. Kita mau baca," kata Mentari.
Mereka membaca dan memuji cerita Lucia. "Wah keren! Kamu bikin tokoh-tokohnya hidup banget. Nggak usah takut, Luc! Kamu punya bakat," ujar Gentala.
Lucia mulai percaya diri. Ia menghabiskan malam-malamnya menulis cerita dan menggambar tokoh impiannya. Dunia maya menjadi tempat ia merasa bebas, tanpa rasa takut akan dihakimi.
Namun tak selamanya masa SMP berjalan mulus. Meski geng SD-nya sudah tak ada, Lucia masih membawa luka lama. Pernah suatu kali, saat Zoom kelas, seorang teman lama, Zea, tiba-tiba muncul di ruang chat.
"Eh, Lucia! Kamu masih cupu kayak dulu nggak?" tulis Zea.
Lucia terdiam. Dadanya berdegup kencang. Namun sebelum ia membalas, Rara langsung menimpali “Eh, jangan gitu dong. Semua orang berhak jadi lebih baik. Lucia hebat kok."
Gentala menambahkan, "Betul. Jangan bully. Nggak lucu sama sekali."
Lucia membaca pesan-pesan itu dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ada yang membelanya.
Hari-hari berikutnya, Rara dan Mentari sering meneleponnya untuk belajar bersama. Gentala bahkan membuat grup kecil untuk berbagi cerita.
"Lucia, aku pengen banget bikin cerita bareng kamu. Mau nggak?" ajak Gentala.
"Boleh banget! Aku seneng banget bisa kerja bareng kalian," jawab Lucia antusias.
Mereka mulai menulis cerita bersama, menggambar, bahkan membuat ilustrasi kecil yang dipajang di Instagram. Setiap pujian dari teman-teman baru membuat Lucia merasa diterima.
Suatu malam, saat menatap layar laptopnya, Lucia berkata lirih, "Tuhan, terima kasih. Aku punya teman yang baik... semoga aku bisa jadi lebih baik juga."
Namun di balik kebahagiaan itu, terselip rasa khawatir.
"Bagaimana kalau suatu hari aku harus masuk SMA? Apakah aku akan kembali sendiri? Apakah teman-temanku akan tetap ada?" bisiknya pada diri sendiri.
——————————————
Setelah tamat SMP
Hari pertama SMA adalah campuran antara rasa cemas dan penasaran. Lucia menatap seragam putih abu-abu barunya di cermin. Rambut hitamnya yang tergerai rapi menutupi bahu. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku harus bisa. Ini awal baru," bisiknya.
Meski Rara bersekolah di tempat berbeda, Lucia tetap ditemani Gentala dan Mentari, meski mereka ditempatkan di kelas yang berbeda.
Di gerbang sekolah, Gentala menyapanya. "Hai Lucia! Siap hari ini?"
"Iya, lumayan deg-degan. Kamu di kelas mana, Ta?"
"Kelas 10-B. Kamu?"
"Aku di 10-C," jawab Lucia.
"Jauh ya... tapi nggak apa-apa, kita tetap bisa ketemu di kantin atau pas pulang," kata Gentala sambil tersenyum menenangkan.
Lucia merasa sedikit lega. Namun saat masuk ke kelas baru, perasaan sepi itu kembali menyergap. Ia duduk di bangku dekat jendela, mencoba membaca buku. Beberapa siswa sibuk bercanda, sebagian sibuk dengan ponsel.
Tak lama, seorang gadis berambut panjang mendekat. "Hai, kamu sendirian? Aku Melinda."
"Lucia," jawabnya pelan.
Melinda mengajak Lucia duduk bersama. Tak lama, datang Fior, Lea, Lora, dan Erlina yang juga bergabung. Mereka mengobrol soal ekskul dan guru-guru.
"Kamu mau ikut ekskul apa, Luc?" tanya Fior.
"Mungkin seni lukis atau teater," jawab Lucia sambil tersenyum.
Namun suasana hangat itu tak bertahan lama. Ketika mereka mulai membicarakan pementasan drama akhir semester, muncul konflik kecil.
"Aku nggak mau jadi figuran!" protes Lea.
"Tapi kan peran utama udah dipilih," sahut Lora.
"Nggak adil. Aku juga mau bersinar!" desak Lea.
Lucia mencoba menengahi. "Mungkin kita bisa bikin adegan tambahan biar semua kebagian peran penting?"
Semua terdiam, lalu Melinda berkata, "Eh, ide kamu bagus juga, Luc."
Walau masalah kecil itu akhirnya terselesaikan, Lucia mulai menyadari bahwa kehidupan SMA punya dinamika yang lebih rumit daripada SMP. Ia juga melihat bahwa tidak semua orang akan selalu mendukungnya seperti Rara, Mentari, dan Gentala.
Di tengah adaptasinya di sekolah baru, Lucia mulai menekuni kembali hobinya. Ia menggambar tokoh-tokoh baru, mengunggahnya ke Instagram, dan mulai menarik perhatian.
Suatu malam, saat ia mengunggah sketsa barunya, muncul notifikasi pesan dari akun yang asing.
"Hai, salam kenal. Aku Aksara. Aku suka banget gambar kamu. Kamu anak SMA ya?"
Lucia membaca pesan itu sambil tersenyum malu. Ia membalas, "Iya, aku SMA. Makasih ya udah suka gambarku."
Percakapan mereka berlanjut. Aksara bercerita bahwa ia bekerja di toko perlengkapan sekolah di Blok S. Ia memuji gambar-gambar Lucia dan menanyakan cerita di baliknya. Lucia, yang biasanya tertutup, merasa nyaman.
"Kamu keren banget, Luc. Pasti bakal jadi ilustrator hebat," tulis Aksara.
Hati Lucia berdebar. Ia tak tahu kenapa, tapi percakapan dengan Aksara membuat malam-malamnya lebih berwarna. Meski hanya lewat pesan, Lucia mulai merasa diperhatikan.
Di sekolah, Gentala sempat menanyakan, "Luc, kamu kelihatan sering senyum belakangan ini. Ada apa?"
Lucia tersipu. "Nggak kok, cuma lagi semangat gambar."
Namun jauh di dalam hatinya, Lucia mulai merasakan sesuatu yang baru. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Mungkinkah ini... cinta?" bisiknya dalam hati.
Tanpa disadari, benih-benih hubungan antara Lucia dan Aksara mulai tumbuh. Dan meski awalnya tampak manis, ia tak tahu bahwa ini akan membawanya pada badai yang lebih besar.
Hubungan Lucia dan Aksara bermula dari pesan sederhana di Instagram. Awalnya, Lucia mengira itu hanya basa-basi sesaat. Tapi semakin hari, percakapan mereka semakin panjang dan akrab.
"Pagi, Luc. Lagi gambar apa hari ini?" pesan Aksara suatu pagi.
Lucia tersenyum kecil, lalu membalas, "Lagi bikin ilustrasi untuk cerita baruku. Kamu gimana? Udah di toko?"
"Iya, hari ini agak sepi. Makanya aku bisa sempat balas pesanmu," balas Aksara.
Mereka bercerita tentang hobi masing-masing, sekolah, dan mimpi. Aksara sering memuji Lucia, membuatnya merasa istimewa.
"Kamu beda dari yang lain, Luc. Kamu punya bakat dan hati yang baik," tulis Aksara di suatu malam.
Lucia membacanya berulang-ulang. Hatinya berdebar. Ia belum pernah mendapatkan perhatian seperti ini.
Suatu hari, Aksara mengajak Lucia bertemu langsung. "Kamu mau nggak main ke toko aku? Nggak jauh kok dari sekolahmu," ajaknya.
Lucia ragu, tapi akhirnya setuju. Setelah pulang sekolah, ia mampir ke toko perlengkapan sekolah di Blok S. Dari luar, toko itu tampak sederhana. Ketika masuk, Aksara menyambutnya dengan senyuman.
"Hai, Lucia! Akhirnya kita ketemu langsung," sapanya.
Lucia menunduk malu. "Hai, Aksara."
Aksara mengenalkannya pada teman-teman di toko, lalu mengajaknya melihat-lihat perlengkapan menggambar.
"Ini ada pensil warna baru, Luc. Kamu suka?" tanyanya.
"Aku suka banget... tapi kayaknya mahal," jawab Lucia sambil tersenyum kecil.
"Ambil aja. Aku kasih diskon spesial buat kamu," goda Aksara.
Lucia tertawa kecil. Mereka mengobrol lama, membuat Lucia merasa nyaman. Sejak saat itu, Lucia sering mampir ke toko seusai sekolah.
___________________________
Namun perlahan, Aksara mulai menunjukkan sikap yang membuat Lucia bingung.
Suatu malam, Aksara mengirim pesan “Luc, aku kangen kamu. Bisa nggak kirim foto kamu malam ini?"
Lucia ragu. "Foto yang gimana, Kak?"
"Yang manis aja, aku cuma mau lihat senyummu," balas Aksara.
Lucia, yang belum pernah mengirim foto selfie, merasa canggung. Namun ia takut mengecewakan Aksara, sehingga akhirnya ia mengirimkan foto wajahnya yang polos.
Aksara membalas dengan emoji hati dan kata-kata manis. "Cantik banget kamu, Luc. Aku makin sayang."
Hari-hari berikutnya, Aksara mulai sering meminta Lucia mengirim foto, bahkan kadang di waktu yang tak wajar.
"Luc, aku pengen lihat kamu sekarang. Kirim foto dong, please."
Lucia mulai merasa risih. Namun setiap kali ia menolak, Aksara marah. "Kamu nggak ngerti aku! Aku ini cuma mau dekat sama kamu. Apa kamu nggak suka aku?"
Lucia bingung. Ia ingin menjaga hubungan mereka, tapi juga merasa ada yang salah. Ia mencoba membicarakan ini dengan Mentari dan Gentala.
"Luc, kamu harus hati-hati. Jangan terlalu nurut sama dia," nasihat Mentari.
"Bener, jangan sampai dia memanfaatkan kamu," tambah Gentala.
Namun Lucia masih terjebak dalam perasaan bingung dan takut kehilangan perhatian Aksara.
Suatu hari, setelah mereka berdebat lewat pesan, Aksara tiba-tiba mengirimkan ucapan ulang tahun untuk Lucia, disertai gambar sketsa sederhana yang dia buat.
"Selamat ulang tahun, Lucia. Semoga kamu bahagia selalu. Maaf kalau aku kadang marah. Aku cuma sayang kamu," tulis Aksara.
Lucia terdiam lama memandang pesan itu. Hatinya campur aduk.
"Apa aku harus percaya dia? Atau aku harus mulai menjauh?"
Keraguan itu menghantui Lucia, sementara bayang-bayang Aksara semakin mendominasi pikirannya.
Hari-hari Lucia semakin terperangkap dalam jeratan Aksara. Awalnya, pesan-pesan manis dan perhatian yang membuatnya merasa spesial justru menjadi jerat halus yang tak disadarinya.
Di sekolah, Gentala dan Mentari semakin jarang mendengar tawa Lucia. Mereka mencoba mengajak Lucia makan siang bersama, tapi Lucia menolak dengan alasan sibuk. Bahkan hobinya menggambar dan menulis di Mangatoon pun mulai ia tinggalkan.
"Luc, kamu kok beda sekarang? Kamu nggak kayak Lucia yang dulu," ucap Mentari dengan cemas.
Lucia hanya menggeleng. "Aku baik-baik aja kok. Aku cuma lagi banyak tugas," jawabnya, memaksa tersenyum. Namun dalam hatinya, ia merasa semakin terpojok oleh tuntutan Aksara.
Suatu malam, ponselnya berbunyi. Aksara mengirim pesan:
"Luc, aku mau kamu datang ke penginapan malam ini. Aku pengen kita ketemu. Kalau nggak, aku bakal sebarin foto-foto kamu ke medsos dan tag sekolahmu. Kamu nggak mau aku lakukan itu, kan?"
Pesan itu menghantam Lucia bagaikan petir. Tubuhnya gemetar hebat. Air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencoba berpikir, mencoba menghubungi teman, tapi rasa takut dan malu menahannya.
"Aku nggak bisa... tapi kalau aku nolak... dia bakal...," pikirnya.
Akhirnya, dengan langkah berat, Lucia mengenakan jaket dan keluar rumah diam-diam. Jalanan gelap, hanya langkah kakinya yang terdengar. Ia menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga ketakutan yang membekap dada.
Di penginapan yang remang-remang itu, Aksara menunggunya. Begitu melihat Lucia datang, wajahnya menunjukkan senyum puas.
"Akhirnya kamu datang, sayang," bisiknya, menarik tangan Lucia dengan paksa.
"Kak... aku nggak mau... aku mau pulang," suara Lucia bergetar. Namun Aksara tak peduli.
Ia mengunci pintu kamar dan mendorong Lucia ke tempat tidur. Lucia berusaha melawan, menangis, meronta, memohon.
"Kak, jangan... tolong... aku mohon... aku nggak mau!"
Namun tangisannya hanya menjadi gema di ruangan sunyi itu. Aksara membungkamnya, memaksanya dengan kasar. Lucia merasa tubuhnya tak lagi miliknya. Hatinya hancur berkeping-keping, air matanya mengalir tak terbendung.
Setelah semuanya usai, Aksara berdiri sambil merapikan pakaiannya, sementara Lucia meringkuk di sudut kamar, memeluk dirinya yang hancur.
"Kamu jangan cerita ke siapa-siapa, ngerti? Kalau nggak, foto-foto kamu bakal aku sebarin," bisik Aksara dingin sebelum pergi meninggalkannya sendiri di kamar itu.
Lucia hanya bisa menangis, tubuhnya gemetar hebat. Hujan deras mengguyur di luar. Dengan sisa tenaga, ia berdiri, meraih jaketnya, dan keluar dari penginapan. Hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia berjalan pulang dengan pikiran kosong, hanya desau angin malam dan hujan yang menemaninya.
"Aku... hancur...," bisiknya lirih di bawah derasnya hujan.
———————————————
Namun di balik keputusasaan itu, ada seberkas kecil suara yang masih berbisik di hatinya. Suara yang berkata “Kamu nggak sendiri. Kamu harus bangkit. Kamu harus melawan."
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Lucia. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Matanya bengkak, wajahnya pucat. Dalam bayangannya, kejadian semalam terus menghantui, tangan kasar Aksara, tatapannya yang dingin, dan ancaman yang menusuk kalbu.
Ia merasa tubuhnya bukan lagi miliknya. Setiap sentuhan terasa asing, membuatnya jijik pada diri sendiri. Dengan tangan gemetar, ia membuka ponselnya dan menelusuri internet dengan panik. Ia menemukan nomor layanan kesehatan rahasia dan memberanikan diri menghubungi dokter.
Suara dokter perempuan terdengar ramah di telepon. Lucia, dengan suara bergetar, mencoba menceritakan secara samar. "Dok... saya... saya dipaksa... sama seseorang... saya takut hamil... saya nggak tahu harus gimana...," isaknya.
Dokter itu menghela napas prihatin. "Kamu harus segera meminum pil kontrasepsi darurat. Pil ini bekerja untuk mencegah kehamilan setelah hubungan tanpa pengaman, tapi harus diminum dalam waktu 72 jam," jelasnya dengan tegas.
Lucia mengangguk meskipun dokter tak bisa melihatnya. "Saya bisa dapat di mana pil itu?" tanyanya dengan pelan.
"Datang ke apotek terdekat, bilang kamu butuh Postinor atau pil kontrasepsi darurat. Minum sesuai petunjuk. Jangan lupa tetap jaga dirimu dan, kalau bisa, temui kami untuk pemeriksaan lebih lanjut," pesan dokter itu.
Lucia menutup telepon dengan tangan gemetar, menahan tangis. Malam itu, dengan perasaan campur aduk, ia memberanikan diri membeli pil tersebut di apotek terdekat. Apoteker melihatnya dengan tatapan curiga, tapi Lucia pura-pura tenang.
Sesampainya di rumah, ia langsung meminum pil itu. Dalam hati ia berdoa, "Tuhan, aku nggak tahu ini dosa atau nggak... aku cuma takut... aku nggak mau hamil...," bisiknya sambil menahan air mata.
Hari-hari berlalu. Lucia merasa tubuhnya aneh. Rambutnya mulai rontok, tubuhnya terasa berat, menstruasinya terlambat. Pikiran buruk terus menghantuinya.
"Apa aku hamil? Pil itu nggak berhasil? Aku harus ke dokter...," pikirnya panik.
Akhirnya, dengan sisa keberanian yang ia miliki, Lucia memutuskan memeriksakan diri ke klinik kecil tanpa sepengetahuan siapa pun.
Di ruang periksa yang sunyi dan dingin, Lucia duduk dengan tangan gemetar. Dokter memandanginya lembut setelah memeriksa.
"Kamu nggak hamil, tapi tubuhmu mengalami stres berat. Menstruasi terlambat, rambut rontok, dan berat badanmu naik karena tekanan psikologis. Kamu butuh istirahat dan dukungan orang sekitar," jelas dokter itu.
Lucia mengangguk pelan, menangis perlahan. Dokter menepuk bahunya. "Kamu nggak sendiri. Kalau ada masalah, ceritakan. Jangan pendam sendirian."
Dalam perjalanan pulang, Lucia merasa hatinya sedikit lebih lega. Namun bayangan ancaman Aksara masih menghantuinya. Setiap kali notifikasi ponsel berbunyi, jantungnya berdegup kencang.
Sampai suatu malam, saat ia membuka TikTok, ia menemukan video renungan rohani. Kata-kata yang disampaikan membuatnya menangis tersedu-sedu.
"Tuhan selalu bersamamu. Saat kamu jatuh, Tuhan memelukmu. Jangan takut. Kamu berharga."
Lucia menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya mengalir deras. Ia berlutut, memohon ampun dan kekuatan.
"Tuhan... aku nggak kuat... aku nggak mau hidup kayak gini... tolong aku...," isaknya.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lucia merasakan kehangatan di dalam hatinya. Ia tahu, meskipun dirinya terluka, ada tangan tak terlihat yang memeluknya.
Keesokan harinya, Lucia memberanikan diri untuk bercerita pada Mentari. Di kantin sekolah, dengan suara bergetar, ia mengungkapkan semuanya.
"Aku... aku dipaksa... aku nggak bisa ngelawan... aku takut...," bisiknya sambil menangis.
Mentari terkejut, memeluk Lucia erat. "Luc, kamu nggak sendirian. Aku di sini buat kamu. Kita cari bantuan sama-sama. Jangan takut, kamu kuat," ucapnya.
Hari itu menjadi titik balik bagi Lucia. Ia mulai bercerita pada Gentala, pada orang tuanya, dan akhirnya membuat laporan kepada pihak berwenang. Aksara pun diproses secara hukum.
Meskipun penyembuhan hatinya masih panjang, Lucia kini tahu bahwa ia tak lagi sendirian. Luka itu tetap ada, tapi perlahan, cahaya mulai masuk ke dalam gelapnya hidup.
Hari itu, setelah keberanian yang berat untuk bercerita pada Mentari, Lucia merasa seolah sebuah beban besar terlepas dari dadanya. Meski tubuhnya masih lemah, dan pikirannya masih kacau, ia mulai merasakan secercah cahaya menembus kelamnya dunia.
Mentari memegang erat tangannya, menatapnya dalam-dalam. "Luc, aku janji kita bakal lewatin ini bareng-bareng. Kamu nggak akan sendirian. Aku bakal temenin kamu, seberat apapun jalannya."
Mata Lucia berkaca-kaca. Ia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. "Terima kasih, Mentar. Aku takut banget... aku ngerasa kotor... aku malu... aku pengen ngilang."
Mentari menggenggam tangannya lebih erat. "Jangan bilang kayak gitu. Kamu nggak kotor. Kamu korban. Kamu kuat, dan kamu pantas bahagia. Kamu nggak salah, Luc."
Malam itu, Lucia mengirim pesan kepada ibunya. Dengan suara tercekat, ia memanggil, "Ma, aku mau cerita... aku nggak kuat lagi...," lalu ia menangis di pelukan sang ibu. Air mata mereka bercampur, dalam dekapan yang hangat dan penuh kasih.
Sang ibu menangis bersama Lucia, memeluknya tanpa henti. "Nak, kamu nggak sendiri. Mama di sini buat kamu. Kita hadapi ini bersama. Kamu nggak perlu takut lagi, sayang."
Hari-hari berikutnya, Lucia memutuskan untuk mendatangi guru BK di sekolah. Guru BK mendengarkannya dengan penuh perhatian, menyarankan agar ia didampingi konselor dan bahkan mendukungnya untuk membuat laporan ke pihak berwajib.
Didampingi oleh Mentari, Gentala, dan ibunya, Lucia akhirnya memberanikan diri membuat laporan kepada polisi. Suasana kantor polisi yang dingin sempat membuatnya menggigil, tapi tangan Mentari yang menggenggamnya erat memberi kekuatan.
"Aku nggak akan takut lagi. Aku harus melindungi diriku, dan mungkin juga mencegah Aksara melukai orang lain," bisiknya dalam hati.
Selama proses penyelidikan, Lucia sering merasa lelah dan frustasi. Tapi setiap kali rasa putus asa datang, ia mengingatkan dirinya pada kata-kata Mentari, "Kamu nggak sendiri." Ia juga mulai membaca buku-buku rohani dan motivasi, menuliskan perasaannya di jurnal kecil berwarna biru.
Dalam jurnalnya, ia menulis:
"Hari ini berat. Tapi aku masih di sini. Aku nggak akan menyerah. Tuhan, tolong beri aku kekuatan."
Suatu hari, sepulang sekolah, Lucia membuka buku gambarnya. Tangannya gemetar saat ia mencoba membuat sketsa. Perlahan, bentuk-bentuk muncul di atas kertas: matahari yang memancarkan cahaya dari balik awan gelap, sebatang pohon yang kokoh meski diterpa angin, dan di sudut kertas, ia menggambar dirinya sendiri, duduk bersandar di bawah pohon itu dengan air mata yang mengering.
"Aku masih bisa menggambar. Aku masih bisa menemukan diriku lagi," bisiknya sambil tersenyum tipis.
Rara, sahabat SMP yang kini bersekolah di tempat lain, menghubunginya melalui video call. "Luc, aku dengar semuanya dari Mentari. Aku bangga banget kamu berani cerita. Kamu hebat. Aku doain kamu kuat ya. Kalau kamu mau cerita, aku selalu ada buat kamu," katanya sambil menahan tangis.
Mendengar kata-kata itu, Lucia merasakan hatinya hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa tersenyum tulus meski matanya masih berkaca-kaca.
Waktu berlalu. Perlahan, rambut Lucia mulai tumbuh, wajahnya kembali segar, meskipun bekas luka batinnya belum hilang. Ia tetap menulis dan menggambar, bahkan mulai membagikan karyanya lagi di Mangatoon. Banyak pembaca yang menyemangatinya dengan komentar positif.
"Cerita kamu bikin aku semangat lagi, Kak Luc!"
"Aku juga pernah ngerasa jatuh, tapi baca cerita Kak Luc bikin aku bangkit. Makasih!"
Membaca komentar itu, Lucia merasa seolah Tuhan mengirimkan pesan lewat orang-orang yang tak dikenalnya. Ia menyadari bahwa kisah hidupnya mungkin bisa menjadi kekuatan untuk orang lain.
Suatu sore, setelah proses hukum berjalan dan Aksara ditahan, Lucia berjalan di taman kecil dekat rumahnya. Ia duduk di bangku taman, menatap matahari yang mulai terbenam, langit berwarna jingga keemasan.
"Tuhan... terima kasih... aku masih di sini. Aku nggak akan biarin masa laluku menghancurkan masa depanku. Aku akan belajar mencintai diriku. Aku akan bangkit," ucapnya lirih, menatap langit yang berubah warna.
Dengan senyum pelan, ia menutup mata, membiarkan angin senja menyentuh wajahnya. Dalam hatinya, Lucia tahu bahwa meskipun jalannya masih panjang, ia sudah menemukan cahaya dalam gelap.
Hari-hari terus berjalan, dan meskipun luka batin Lucia belum sepenuhnya sembuh, ia mulai menemukan cara untuk mengekspresikan diri. Setiap pagi, Lucia bangun, menatap bayangannya di cermin, dan tersenyum kecil. Tapi bukan kepada orang lain ia bercerita. Bukan kepada guru, teman, ataupun ibunya.
Ia memutuskan untuk menuliskan semuanya ke dalam sebuah cerpen, menyimpannya dalam buku catatan rahasia yang hanya ia yang tahu.
Setiap malam, Lucia duduk di meja belajarnya, menyalakan lampu kecil di sudut kamar, dan menulis. Kata demi kata mengalir seperti sungai deras yang membasuh luka-luka terdalamnya. Dalam cerpen itu, ia menuangkan semua: rasa sakit, kebingungan, ketakutan, dan keberanian. Ia menuliskan nama-nama fiksi untuk tokoh-tokohnya, mengganti tempat dan waktu, seolah membuat dunia alternatif yang hanya ia pahami.
Dalam tulisannya, Lucia menuturkan kisah seorang gadis yang terluka, tetapi berani berdiri. Seorang gadis yang pada akhirnya memutuskan untuk mencintai dirinya sendiri, walaupun dunia di sekitarnya tak pernah tahu betapa kerasnya perjuangan yang ia hadapi.
"Kisah ini bukan untuk dibaca orang lain. Kisah ini adalah milikku sendiri. Rahasia yang aku simpan rapat, tempat di mana aku bisa bernafas dan menangis tanpa takut dinilai," bisiknya pada diri sendiri suatu malam.
Ia menulis hingga larut, kadang-kadang air mata jatuh membasahi halaman-halaman buku itu. Namun di setiap akhirnya, selalu ada kalimat yang menguatkan dirinya:
"Aku masih di sini. Aku masih hidup. Aku kuat. Aku akan terus berjalan meski hanya aku yang tahu jalanku."
Dan saat cerpen itu selesai, Lucia menutup bukunya dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia menyembunyikannya di laci meja, di balik buku-buku pelajaran. Buku itu hanya akan ia baca saat dunia terasa terlalu berat, saat ia membutuhkan pengingat akan kekuatan yang pernah ia miliki.
Di luar sana, dunia tetap berjalan, orang-orang tetap tersenyum dan tertawa, tak ada yang tahu kisahnya. Namun di dalam hati, Lucia tahu bahwa ia telah melewati badai, dan ia akan terus menulis jalannya sendiri, dalam diam.
TAMAT
______________________________
Kisah Lucia mengajarkan kita bahwa:
🌿 Luka bukanlah akhir. Luka adalah bagian dari perjalanan.
🌿 Berani berbicara adalah langkah awal menuju penyembuhan.
🌿 Dukungan keluarga dan sahabat adalah cahaya di tengah gelap.
🌿 Tuhan selalu bersama kita, bahkan dalam keheningan yang paling sunyi.
🌿 Cintai dirimu, karena kamu berharga.