Di ujung kota kecil yang dikelilingi sawah dan bukit, berdiri sebuah rumah tua bercat pudar dengan atap genting yang sebagian pecah.
Rumah itu dikenal sebagai "Vila Jati" karena pohon jati raksasa yang tumbuh di halamannya, akar-akarnya mencuat seperti urat nadi bumi.
Penduduk setempat menghindari tempat itu, menyebutnya angker, tapi bagi Arya, rumah tua itu adalah tempat pelarian.
Di sana, di bawah naungan pohon jati, ia menemukan ketenangan untuk mencipta.
Sebagai seorang musisi, Arya sering duduk berjam-jam dengan gitar akustiknya, mencatat melodi yang lahir dari bisikan angin atau derit kayu rumah tua.Arya bukan orang biasa.
Sejak kecil, ia memiliki kepekaan yang tak bisa dijelaskan indra keenam yang membuatnya merasakan hal-hal yang tak terlihat.
Terkadang, ia melihat bayang-bayang bergerak di sudut matanya, atau mendengar suara lirih yang bukan milik manusia.
Ia belajar mengabaikannya, menutup diri dari dunia gaib, karena baginya, dunia nyata sudah cukup rumit.
Namun, di Vila Jati, kepekaan itu selalu terasa lebih kuat, seperti ada sesuatu yang memanggilnya.Hari itu, senja membakar langit dengan warna jingga. Arya duduk di beranda rumah tua, memetik senar gitarnya.
Melodi yang ia ciptakan terasa ganjil irama lembut namun penuh kerinduan, seperti lagu yang bukan miliknya. Tiba-tiba, udara menjadi dingin, meski angin tak bertiup.
Ia merasakan sesuatu kehadiran yang tak asing, tapi kali ini lebih jelas, seperti seseorang berdiri di dekatnya. Jantungnya berdegup kencang.
Ia menoleh, tapi tak ada apa-apa, hanya bayang-bayang pohon jati yang menari di tanah.
"Aku tahu kau ada di sini," gumam Arya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia sudah terbiasa berbicara pada kehampaan, meski biasanya tak ada jawaban. Tapi malam itu berbeda. Di dalam pikirannya, ia mendengar suara—lembut, seperti bisikan angin yang membelai daun.
"Kau bisa mendengarku?"Arya terlonjak, gitarnya hampir jatuh.
Suara itu bukan dari telinganya, melainkan langsung bergema di kepalanya, seperti pikiran yang bukan miliknya.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
"Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Nurul," jawab suara itu.
"Aku sudah lama di sini. Kau... kau berbeda. Kau bisa merasakanku."Arya menelan ludah. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa berat.
Ada sesuatu dalam nada suara itu kelembutan yang membuatnya takut sekaligus penasaran.
"Kau... hantu?" tanyanya blak-blakan.Tawa kecil terdengar di pikirannya, seperti lonceng kecil yang berdenting.
"Mungkin. Tapi aku tidak suka kata itu. Aku hanya... terjebak."
Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh suara Nurul, yang terasa begitu nyata meski tak terlihat.
Ia kembali ke Vila Jati keesokan harinya, membawa gitarnya, berharap bisa mendengar suara itu lagi.
Dan Nurul ada di sana, seperti menunggunya. Mereka mulai berbicara atau lebih tepatnya, berkomunikasi melalui pikiran.
Nurul menceritakan bahwa ia adalah arwah seorang gadis yang hidup di era kolonial, terikat pada Vila Jati karena sebuah janji yang tak pernah terpenuhi. Ia tidak ingat detailnya, hanya perasaan rindu yang menghantuinya.
Hari-hari berlalu, dan Arya mendapati dirinya semakin sering mengunjungi Vila Jati. Ia tak lagi takut, malah merasa nyaman.
Nurul bukan sekadar kehadiran gaib; ia punya kepribadian, tawa, dan cerita. Ia suka mendengar Arya bermain gitar, dan kadang-kadang, ia menyarankan nada atau lirik yang membuat lagu-lagu Arya terasa lebih hidup.
"Kau seperti puisi yang berjalan," kata Nurul suatu malam, membuat Arya tersenyum kecil.Namun, hubungan mereka tidak mudah.
Arya hanya bisa merasakan Nurul, tidak melihatnya. Kadang, di tengah percakapan, Nurul menghilang, seolah ditarik kembali oleh ikatan gaibnya.
Arya mulai mencari tahu sejarah Vila Jati, berharap menemukan petunjuk tentang apa yang membuat Nurul terperangkap.
Ia menggali arsip kota, berbicara dengan tetua setempat, dan menemukan cerita tentang seorang gadis bernama Nurul yang menghilang secara misterius di rumah itu pada abad ke-19.
Konon, ia menunggu kekasihnya yang tak pernah kembali dari perang.Arya mulai bermimpi tentang Nurul.
Dalam mimpinya, ia melihat seorang gadis berkebaya putih dengan rambut panjang terurai, berdiri di bawah pohon jati. Wajahnya lembut, tapi matanya penuh kerinduan.
"Aku ingin bebas," kata Nurul dalam salah satu mimpi.
"Tapi aku takut... jika aku pergi, aku akan melupakanmu."Arya terbangun dengan dada sesak.
Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta cinta yang mustahil, tapi nyata. Ia ingin membantu Nurul, tapi juga tak ingin kehilangannya.
"Aku akan menemukan caranya," janjinya, meski ia tak tahu dari mana harus mulai.Setelah berbulan-bulan, Arya menemukan petunjuk dalam sebuah buku tua di perpustakaan kota.
Disebutkan bahwa arwah yang terikat pada suatu tempat bisa dibebaskan dengan memenuhi janji yang mengikat mereka.
Arya menduga janji Nurul terkait kekasihnya yang hilang. Ia membawa gitarnya ke Vila Jati dan memainkan lagu yang diciptakan bersama Nurul—lagu tentang rindu, kehilangan, dan harapan. Ia berharap lagu itu bisa menjadi jembatan, cara untuk mengatakan pada Nurul bahwa ia bebas, bahwa ia tidak perlu menunggu lagi.
Malam itu, udara terasa berbeda. Pohon jati seolah bergetar, dan untuk pertama kalinya, Arya melihat Nurul bukan dalam mimpi, tapi di depannya, samar seperti kabut. Gadis itu tersenyum, matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Arya," bisiknya, suaranya kini terdengar di udara, bukan hanya di pikiran.
"Kau memberiku keberanian untuk pergi."Arya ingin meminta Nurul tinggal, tapi ia tahu itu egois.
"Apa kau akan melupakanku?" tanyanya, suaranya parau.Nurul menggeleng pelan.
"Aku akan membawamu dalam hatiku, ke mana pun aku pergi."
Saat Nurul memudar, cahaya lembut muncul di bawah pohon jati, seperti pintu menuju dunia lain.
Arya merasakan kehangatan di dadanya, seolah Nurul meninggalkan sepotong dirinya.
Vila Jati terasa kosong setelah itu, tapi Arya tidak lagi merasa takut. Ia terus mencipta lagu, dan setiap nada yang ia mainkan terasa seperti percakapan dengan Nurul, di mana pun ia berada.
Bertahun-tahun kemudian, Arya menjadi musisi terkenal, lagu-lagunya penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan. Ia sering kembali ke Vila Jati, duduk di bawah pohon jati, memetik gitarnya. Kadang, angin membawa bisikan lembut, seperti tawa Nurul.
Dan di hatinya, Arya tahu cinta mereka, meski terpisah oleh dimensi, tidak pernah benar-benar pudar.
-end-