Bab 3 – Percikan Pertama:
Bab 3 – Percikan Pertama
Malam tiba cepat di Rivhen. Langit kelabu diselimuti awan gelap, seakan menunggu darah pertama menodai tanahnya.
Kael berdiri di atap rumah tua, menatap bangunan batu megah di tengah kota: Balai Pajak, tempat penguasa lokal menyimpan emas, catatan warga, dan dokumen kekuasaan. Tempat yang sempurna untuk menghancurkan fondasi kekuasaan kecil… dan menggantinya dengan miliknya.
Di sampingnya, Zaira mengatur panah di busur hitam berukir aneh.
“Penjaga ada enam. Dua di depan, empat keliling bergantian. Satu jam sekali,” katanya tenang. “Kita punya waktu enam menit setelah mereka berbelok ke sisi utara.”
Kael mengangguk. “Tidak akan lebih dari tiga.”
Dia melompat turun, mendarat di gang sempit seperti bayangan. Tubuh barunya gesit, hampir tidak berbunyi. Saat penjaga pertama berbelok, dia tak sempat melihat apa pun—kecuali tatapan dingin Kael dan suara tulang retak.
Satu.
Yang kedua mencoba berteriak. Panah Zaira menembus tenggorokannya dari kejauhan.
Dua.
Kael membuka pintu belakang Balai Pajak menggunakan kunci yang “dipinjam” dari penjaga sebelumnya. Dalam sekejap, mereka masuk. Hening. Gelap. Aroma tinta, kertas tua, dan logam memenuhi udara.
Kael langsung menuju ruang dokumen, membongkar tumpukan dengan ketelitian seorang algojo. “Catatan pajak, nama bangsawan korup, koneksi mereka ke ibu kota… sempurna.”
Zaira menemukan ruang emas. “Cukup untuk bayar sepasukan tentara bayaran kecil,” katanya dengan kagum.
Kael menatap peti-peti penuh koin. “Ini bukan untuk dibelanjakan. Ini untuk ditukar dengan kesetiaan.”
Saat mereka hendak pergi, suara langkah tergesa menggema dari lorong. Dua penjaga tersisa, panik, pedang terhunus.
Kael hanya tersenyum dingin.
Darah menetes dari ujung jubahnya saat mereka keluar melalui atap.
“Berapa lama sebelum mereka sadar ini bukan serangan bandit biasa?” tanya Zaira sambil menyeka darah di pipinya.
“Tak lama,” jawab Kael. “Tapi itu bagian dari rencana.”
Dia melemparkan segulung surat ke api di atas bangunan. Api menyala merah, mengepul ke langit malam seperti sinyal perang.
“Sekarang semua orang penting di Rivhen akan tahu satu hal,” katanya pelan, suaranya dingin dan pasti.
“Bahwa kekuasaan lama sedang runtuh. Dan seseorang yang baru… sudah mulai mengambil alih.”