Langit sore mulai merona jingga ketika Angga pulang dari sekolah. Ia menyusuri jalan setapak yang membelah sawah, sepatu hitamnya berdebu dan rambutnya lepek oleh keringat. Di tangan kirinya, ia menggenggam rapor. Nilainya tak terlalu buruk, tapi juga tak membanggakan. Namun satu hal membuat hatinya berat: nilai matematika merah.
Di depan rumah, Ibu sedang menyapu halaman. Perempuan itu tampak lelah, namun senyumnya tetap mengembang saat melihat Angga datang.
“Kamu pulang, Nak,” sapa Ibu dengan suara hangat.
Angga mengangguk dan menyembunyikan rapor di balik punggung.
“Rapor?” tanya Ibu sambil menoleh.
Dengan ragu, Angga mengulurkan kertas itu. Ibu menerimanya dan duduk di kursi kayu yang menghadap ke kebun kecil di samping rumah. Matanya menyisir setiap angka di rapor, lalu berhenti pada satu nilai merah.
Angga menunduk. “Maaf, Bu. Aku sudah belajar, tapi… masih susah.”
Ibu tidak marah. Ia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, mengajak Angga duduk.
“Kamu tahu?” katanya pelan. “Dulu Ibu juga takut sekali sama angka. Tapi hidup ini, kadang jauh lebih rumit daripada matematika. Dan kita belajar sedikit demi sedikit.”
Angga menoleh, menatap wajah Ibu yang mulai dipenuhi garis halus.
“Jangan takut salah. Yang penting, kamu tidak menyerah. Ibu di sini, akan bantu kamu belajar,” lanjut Ibu sambil mengelus rambutnya.
Senja turun perlahan, dan pelukan Ibu menjadi tempat paling tenang di dunia. Di saat dunia terasa berat, pelukan itu seperti rumah—hangat, tulus, dan tak pernah meminta balas.