Bab 2 – Kota Pertama, Topeng Pertama:
Bab 2 – Kota Pertama, Topeng Pertama
Kota perbatasan Rivhen tampak lusuh, dijaga oleh dua prajurit yang lebih sibuk berjudi daripada memperhatikan gerbang. Temboknya penuh lumut, jalan masuknya becek oleh lumpur dan kotoran.
Bagi rakyat biasa, ini hanyalah tempat transit menuju kota besar. Bagi Kael Reinhardt, ini adalah panggung pertama.
Dia berjalan perlahan, mengenakan jubah lusuh dari salah satu bandit yang ia bunuh semalam. Luka mereka kini menjadi kekuatan awal yang menyatu dalam dirinya. Ia belum sepenuhnya memahami sistem “Dominion Core” dalam tubuh barunya, tapi satu hal jelas: semakin banyak yang dia taklukkan, semakin kuat dia jadi.
"Nama?" tanya salah satu penjaga, setengah menguap.
Kael menatapnya, ekspresi tenang. Dalam sekejap, dia memilih persona.
"Kael. Pengembara dari utara. Mencari pekerjaan dan tempat tinggal."
Penjaga mendengus, menatap Kael dari atas ke bawah. "Kau lebih mirip pengemis."
Kael hanya tersenyum tipis. "Pengemis yang bisa bertarung."
Nada dinginnya cukup untuk membuat sang penjaga ragu, tapi tidak cukup untuk menarik perhatian lebih. Dia melambaikan tangan, mengizinkan Kael masuk.
Rivhen dalam kekacauan yang teratur. Pasar berisik, aroma roti basi bercampur keringat dan alkohol. Para tentara jalan-jalan dengan wajah bosan, mencuri dagangan pedagang kecil, sementara bangsawan lokal bersembunyi di balik dinding batu besar.
Kael mengamati semuanya dengan mata seorang predator. "Tempat ini busuk. Tapi busuk adalah lahan yang baik untuk akar kekuasaan."
Tujuan pertama: Informasi.
Dia memasuki bangunan kecil yang dipenuhi asap dan suara keras—tavern, tempat berkumpulnya para petarung, kriminal, dan pengangguran.
Di dalam, dunia berbicara tanpa sadar. Seorang tentara mabuk memaki tentang pajak. Seorang penyihir tua mengeluh tentang monster di tambang timur. Seorang gadis muda dengan mata tajam sedang mengamati semua yang masuk.
Dan dia melihat Kael.
"Kau bukan orang sini," katanya tanpa basa-basi.
Kael menoleh perlahan. "Bukan."
"Aku Zaira. Dan aku tahu orang seperti apa kau itu." Matanya menyipit. "Kau bukan petualang. Bukan pedagang. Kau mencari sesuatu."
Kael tidak membantah.
"Aku mencari kekuatan," katanya jujur. "Dan mereka yang ingin mengambil bagian dalamnya."
Zaira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Akhirnya. Seseorang yang tidak berpura-pura jadi pahlawan."
Kael menatapnya tajam. "Aku bukan pahlawan. Aku penakluk."
Zaira tersenyum. "Kalau begitu... mari kita mulai dengan mengacak-acak markas penguasa lokal yang terlalu rakus pajak."
Kael mengangkat alis. "Kau punya dendam pribadi?"
"Lebih dari itu," bisiknya. "Aku ingin dunia terbakar. Tapi harus dimulai dari api kecil, bukan?"
Kael mengangguk. Untuk membakar dunia, memang dibutuhkan percikan pertama.
Dan Rivhen akan menjadi miliknya.