Langit Jakarta mendung ketika Naya Zavanya turun dari taksi online di depan Govinda Corporation. Gedung tinggi berarsitektur modern itu berdiri angkuh di hadapannya, mencerminkan ambisi dan kekuasaan. Tapi Naya tidak gentar. Di balik tubuh mungilnya, ia membawa tekad yang jauh lebih besar dari gedung mana pun: membuktikan bahwa ia bisa berdiri sendiri.
Ia menapakkan kakinya di lobi dengan sepatu kerja barunya. Setelan biru laut yang ia pilih mencerminkan keseriusannya, dan rambut panjangnya ia gulung rapi ke belakang. Ia tidak ingin dikenal sebagai “anak dari Zavier,” apalagi sebagai “mantan calon istri Alastar Govinda.” Tidak. Hari ini ia adalah Naya Zavanya lulusan terbaik jurusan komunikasi, yang lolos seleksi ketat tanpa koneksi keluarga.
Ironisnya, pemilik perusahaan ini adalah pria yang hampir ia nikahi.
Alastar Govinda. Pria yang dikenal dingin, teratur, dan tak pernah bercanda. Naya hanya mengenalnya dari foto dan cerita keluarga. Seorang CEO muda yang menolak perjodohan sama seperti dirinya. Dulu, saat perjodohan itu diusulkan oleh keluarga besar mereka, keduanya kompak menolak. Tanpa pernah bertemu. Tanpa pernah bertatap mata.
Namun takdir punya cara bercanda. Hari ini, keduanya akan berada dalam gedung yang sama, sistem yang sama. Dan yang lebih lucu: Alastar bahkan tak tahu bahwa “Naya, staf pemasaran baru,” adalah wanita yang dulu pernah disiapkan untuknya.
Naya berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjalani pekerjaannya dengan profesional, tanpa menyinggung masa lalu. Bahkan jika itu berarti harus berpura-pura tidak mengenal Alastar sama sekali.
Hari-hari berlalu cepat. Naya berkembang menjadi pegawai yang cemerlang. Ia selalu datang lebih pagi, pulang lebih malam, dan tidak pernah mengeluh. Rekan-rekannya menghargainya, manajernya mengandalkannya. Ia nyaris sempurna dan mungkin terlalu sempurna untuk tidak diperhatikan oleh seseorang seperti Alastar.
Alastar jarang berurusan langsung dengan staf pemasaran, tapi laporan-laporan yang ia baca membuatnya penasaran. Siapa “Naya Zavanya” ini? Nama belakang itu familiar. Tapi ia mencoba menepis rasa penasaran itu. Sampai suatu sore, ia lewat di lorong dan tak sengaja mendengar suara tawa Naya yang ringan dan tulus, berbeda dari keramaian dunia bisnis. Hanya butuh satu detik pandang untuk membuatnya tertegun. Wajah itu… terlalu familiar.
Keesokan harinya, ia meminta HRD memberinya data lengkap staf baru. Begitu nama lengkap Naya muncul di layar, jantung Alastar berdebar pelan. Ayahnya pernah menyebut nama itu bertahun-tahun lalu. Dan tiba-tiba, potongan-potongan kenangan dari masa lalu bermunculan, surat undangan makan malam perjodohan, foto anak perempuan dengan mata tajam dan senyum malu-malu… Naya.
Dengan segera, ia memanggil Naya ke ruangannya.
“Kau tahu siapa aku, bukan?” tanyanya langsung, matanya menatap tajam.
Naya menegakkan punggungnya. “Tentu.”
“Kenapa kau ada di sini?” Suaranya tenang tapi penuh tuduhan.
“Aku datang bukan untuk melanjutkan rencana perjodohan itu. Aku datang untuk bekerja. Untuk hidup dengan caraku sendiri.”
Jawaban itu membuat Alastar terdiam. Keberanian itu, keteguhan itu, membuatnya terkesan. Bukan karena nama, bukan karena sejarah. Tapi karena keberanian seorang wanita yang menolak dijadikan simbol.
Setelah hari itu, sesuatu berubah di antara mereka. Alastar mulai sering muncul di divisi pemasaran. Awalnya hanya untuk memantau proyek, tapi lama-lama keterlibatannya lebih intens. Ia mulai memberi masukan, duduk bersama tim, bahkan sesekali tersenyum.
Naya menjaga sikapnya. Tapi ia tidak bisa menolak perasaan yang perlahan tumbuh. Ia melihat sisi lain dari Alastar, pria yang punya visi, yang memperhatikan detail, yang menyimpan beban besar di balik sikapnya yang kaku. Ia melihat kepedulian di balik ketegasan.
Hubungan mereka berkembang secara alami. Tak ada deklarasi cinta, hanya perhatian kecil yang tumbuh menjadi kebutuhan. Naya mulai menyadari, ia menantikan suara langkah Alastar di lorong. Dan Alastar menyadari, ia selalu mencari wajah Naya di setiap ruangan.
Namun cinta bukan tanpa ujian.
Ketika media luar mulai mencium hubungan mereka, gosip merebak. Naya dituding sebagai “wanita yang memanfaatkan hubungan keluarga.” Beberapa rekan mulai bersikap dingin. Di tengah tekanan itu, Naya merasa kecewa. Ia tidak ingin cinta yang menyusutkan harga dirinya. Ia datang ke sini sebagai Naya Zavanya, bukan calon istri CEO.
Ia pergi tanpa pamit. Mengambil cuti panjang, menghilang dari dunia yang selama ini ia bangun.
Alastar, untuk pertama kalinya, merasa kehilangan. Ia menyadari, selama ini ia takut pada hubungan karena merasa terjebak dalam bayang-bayang warisan keluarga. Tapi Naya berbeda. Cintanya tidak datang dari rencana orang tua. Cintanya lahir dari pilihan. Dan ia tidak akan membiarkannya pergi.
Beberapa minggu kemudian, saat hujan deras mengguyur kota, Naya duduk di kedai kopi kecil sambil membuka laptop. Di layar muncul undangan tapi bukan undangan kerja, tapi undangan untuk menghadiri peluncuran produk terbaru Govinda Corp. Dan di bawahnya, terlampir sebuah catatan kecil:
“Ini bukan undangan formal. Ini panggilan pulang. Aku di panggung ini, tapi aku menunggu kamu di sampingku.” - Alastar
Hatinya berdetak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak takut menghadapi perasaan itu.
Hujan belum berhenti ketika Naya akhirnya memutuskan untuk menghadiri peluncuran produk Govinda Corp. Ia datang bukan sebagai staf, bukan sebagai undangan penting, tetapi sebagai seseorang yang ingin mendengar langsung apa yang ingin dikatakan Alastar. Hatinya masih menyimpan ragu, tapi juga harapan.
Acara itu digelar di ballroom hotel berbintang. Panggung utama dipenuhi layar LED dan sorotan lampu, menunjukkan video profil perusahaan dan visi masa depan. Tapi perhatian Naya hanya tertuju pada satu sosok yaitu Alastar, yang berdiri di atas panggung, kali ini tanpa jas formal, hanya kemeja hitam yang digulung di lengan. Ia tampak lelah tapi bersinar.
Setelah menyampaikan presentasi proyek, Alastar tiba-tiba menatap ke arah kerumunan.
“Ada satu hal yang tidak ada di dalam presentasi hari ini,” katanya.
Ruangan hening.
“Selama ini saya percaya bahwa profesionalisme adalah tentang menjaga jarak. Tapi saya lupa satu hal penting, perusahaan ini dibangun bukan hanya dengan angka dan strategi, tapi dengan manusia, dengan hati. Dan hati saya... telah memilih seseorang yang sempat pergi karena tidak ingin dicintai karena nama belakangnya. Hari ini, saya tidak memintanya kembali sebagai staf. Saya memintanya kembali sebagai dirinya sendiri. Naya Zavanya, jika kamu di sini, terima kasih karena telah datang.”
Naya berdiri di belakang, membeku di tempat. Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Tapi satu hal pasti, hatinya telah menjawab lebih dulu dari pikirannya. Ia melangkah maju. Dan ketika mata mereka bertemu, semua luka, jarak, dan keraguan meleleh menjadi sesuatu yang hangat.
Setelah malam itu, Naya kembali ke kantor. Tapi bukan lagi sebagai staf biasa. Ia menerima tawaran Alastar untuk menjadi kepala divisi pemasaran kreatif, bukan karena hubungan pribadi, melainkan karena kontribusinya yang sudah terbukti. Keputusan itu tidak mudah. Banyak suara miring dari luar, tapi kali ini Naya tidak menghindar. Ia membuktikan bahwa ia layak berada di posisi itu.
Hubungan mereka pun tumbuh kembali, lebih perlahan, lebih dewasa. Mereka memutuskan untuk tidak terburu-buru. Selama enam bulan, mereka menjalin hubungan tanpa sorotan publik. Di luar kantor, mereka belajar mengenal satu sama lain, bukan sebagai CEO dan staf, bukan sebagai anak dari dua keluarga terpandang tetapi sebagai dua manusia yang ingin tumbuh bersama.
Mereka sering bertemu selepas kerja. Kadang hanya sekadar makan malam sederhana di warung mie langganan Naya, kadang berdiskusi tentang buku atau film. Tapi ada satu momen yang menjadi titik balik dalam hubungan mereka.
Suatu malam, di balkon apartemen Alastar, di bawah langit penuh bintang, Naya berkata:
“Aku dulu takut kamu memilihku karena kita ‘harusnya’ bersama.”
Alastar memegang tangannya. “Aku juga pernah takut kamu meninggalkanku karena kamu pikir aku mencintaimu karena kewajiban. Tapi aku mencintaimu karena kamu memilih pergi. Karena kamu cukup kuat untuk menolak apa yang tidak kamu yakini. Dan karena kamu kembali, dengan pilihanmu sendiri.”
Hening. Tapi hening yang menenangkan.
Beberapa bulan kemudian, saat mereka menghadiri pernikahan teman sekantor, Alastar menggenggam tangan Naya di tengah lantunan lagu romantis.
“Aku tidak ingin menunda lebih lama. Aku sudah terlalu lama menjadi pria yang hidup di bawah bayang-bayang warisan. Sekarang aku ingin menjadi pria yang membangun hidup bersama seseorang yang membuatku berani. Nikah denganku, Naya?”
Naya menatapnya, tertegun, lalu mengangguk pelan. “Ya.”
Persiapan pernikahan mereka tidak glamor, tapi penuh makna. Mereka sepakat untuk tidak membuat pesta besar. Yang mereka inginkan hanya satu yaitu sebuah perayaan kecil di mana cinta mereka dirayakan oleh orang-orang yang mengerti perjalanan mereka.
Beberapa minggu sebelum hari H, ayah Naya, Zavier, datang menemuinya.
“Ayah dulu kecewa ketika kamu menolak perjodohan itu,” katanya, tersenyum. “Tapi ternyata kamu membuat perjodohan itu berhasi dengan cara dan waktumu sendiri.”
Naya memeluk ayahnya erat. “Terima kasih karena akhirnya mengizinkan aku memilih.”
_____
Hari pernikahan tiba.
Di sebuah vila tenang di Ubud Bali, Naya berjalan di antara barisan bunga putih, mengenakan kebaya modern yang sederhana namun anggun. Di ujung altar, Alastar menatapnya dengan pandangan penuh cinta. Di sekeliling mereka, hanya keluarga terdekat dan sahabat yang benar-benar tahu betapa panjang perjalanan cinta mereka.
Saat tangan Naya digenggam oleh Alastar di hadapan penghulu, tak ada keraguan, tak ada bayang-bayang masa lalu.
“Aku, Alastar Govinda, memilihmu, Naya Zavanya, bukan karena perjodohan, bukan karena sejarah, tapi karena kamu adalah rumah yang aku pilih untuk pulang.”
Dan Naya membalas, “Aku, Naya Zavanya, memilihmu karena kamu menghormati keputusanku, mencintaiku bukan karena siapa ayahku, tapi karena siapa diriku.”
Mereka mengucap janji di bawah langit yang terang dan saksi yang bersinar. Dua hati yang dulu menolak, kini menyatu bukan karena terpaksa, tapi karena cinta yang tumbuh dari keberanian memilih.
---
Cinta sejati tidak datang dari paksaan masa lalu, juga bukan dari ketakutan akan kesendirian. Cinta sejati tumbuh dari keberanian untuk saling melihat sebagai manusia dengan kekuatan, luka, dan pilihan masing-masing. Kita tidak bisa mengatur bagaimana hidup membawa orang-orang masuk ke dalam hidup kita, tapi kita bisa memilih siapa yang ingin kita perjuangkan dan genggam erat bukan karena harus, tapi karena ingin.
Dan cinta yang datang dari “keinginan untuk memilih” itulah yang paling pantas untuk diperjuangkan.