Gue gak pernah ngerasa kekurangan.
Dari kecil sampai sekarang, hidup gue kayak jalan tol—lancar, sepi hambatan. Orang bilang hidup itu perjuangan, tapi buat gue, perjuangan itu cuma pilihan. Gue milih jadi pengangguran, santai, bangun siang, makan enak, dan scroll medsos sampai mata merah. Dan anehnya, semuanya tetap cukup. Duit entah dari mana, rezeki kayak air hujan, turun terus walau langit gue mendung.
Kadang, hati gue bergejolak. Bukan karena lapar, bukan juga karena tagihan. Tapi karena suara kecil yang gak bisa gue matiin—suara dari dalam. Yang bilang, “Lo ngapain sih? Hidup segini-gininya aja?” Suara yang bikin gue pengen berubah, tapi ujungnya cuma niat doang, kayak resolusi tahun baru yang lupa dieksekusi.
Sampai suatu malam.
Gue duduk sendirian di kamar. Hape di tangan, tapi jari-jari berhenti scroll. Dada gue sesak, tapi bukan karena asmara. Gue gak tahu kenapa, tapi gue nangis. Air mata jatuh, bukan karena sedih, tapi karena paham.
Gue sadar: hidup gue enak bukan karena gue hebat. Tapi karena Allah terlalu baik. Terlalu sabar. Sementara gue, sibuk main-main sama waktu, sok-sokan ngeluh, padahal semua ada. Gue pikir gue nggak salah, padahal gue cuma belum kena cobaan.
Gue pengen hidup sederhana. Yang cukup. Yang bikin gue damai. Tapi tangan dan mata gue terlalu sering melirik dunia. Gengsi, iri, dan dosa-dosa kecil yang gue anggap wajar udah lama ngasih bekas di hati. Tanpa sadar, gue udah terlalu jauh dari niat awal.
Dan gue takut.
Takut satu hari nanti, semua ini dicabut. Takut Allah udah cukup sabarnya. Takut gue gak sempat balik lagi.
Tapi malam ini, gue berdoa. Pelan, tapi penuh. Minta dikuatin, dimurnikan, dibangunin. Gue tahu setan gak bakal berhenti. Tapi mungkin, kali ini... gue juga gak bakal berhenti untuk lawan balik.
Karena hidup ini bukan cuma tentang cukup di dompet.
Tapi juga cukup di hati.
Semua orang di sekitarku selalu mengulurkan tangan padaku—membantu tanpa diminta, baik tanpa sebab. Ada yang beliin makan, ada yang bayarin kopi, ada juga yang cuma duduk nemenin gue ketika gue gak ngomong apa-apa. Seolah gue ini pantas ditolong, walau gue sendiri gak pernah merasa ngapa-ngapain buat mereka.
Lucunya, mimpi-mimpi kecil yang dulu cuma lamunan iseng, satu-satu kejadian. Gue pengen punya motor—datang. Gue pengen bisa liburan—ada aja yang ajak. Gue pengen punya waktu luang sepuasnya—dikasih. Semua dikabulkan. Dan itu justru bikin gue… takut.
“Kenapa semua begitu mudah?” itu pertanyaan yang sering berputar di kepala gue. Di luar sana, orang jungkir balik cari duit, ada yang sampai nggak tidur, ada yang kejar deadline sampai lupa makan. Tapi gue? Gue cuma diam. Dan dunia seolah tetap berbaik hati.
Gue mulai merasa aneh. Seolah gue ini tokoh utama dari cerita yang gue gak ngerti jalan ceritanya. Dan semua keberuntungan itu… terlalu gampang. Terlalu halus.
Sampai suatu hari, ada seorang ibu tua yang duduk di trotoar. Biasa, dia jualan keripik. Gue lewatin aja waktu itu, kayak biasa. Tapi pas itu, mata gue ketahan. Dia senyum ke gue. Bukan senyum minta dikasihani. Tapi senyum... yang tulus, yang nggak menuntut. Dan untuk pertama kalinya, gue berhenti.
Gue beli keripiknya. Sepuluh bungkus. Gue gak butuh, tapi gue pengen tahu rasanya memberi. Ternyata... aneh juga ya, rasanya hangat.
Sejak itu, gue mulai berpikir. Kalau hidup gue udah dikasih terlalu banyak—mungkin ini saatnya buat balik ngasih. Gak harus gede. Gak harus viral. Cukup diem-diem. Kayak semesta yang diem-diem sayang sama gue selama ini.
Mungkin, bukan semua orang yang dapet hidup semudah ini. Tapi mungkin juga, ini bukan soal keberuntungan, tapi soal amanah. Dan sekarang, gue ngerti…
Kalau hidup terlalu ringan, jangan-jangan kita dikasih tugas buat ngebantuin yang lagi berat.
Dan itu yang mulai gue lakukan. Pelan-pelan.
Karena buat apa punya mimpi yang tercapai, kalau gue gak bisa bantu orang lain bangun dari mimpi buruk mereka?