Semua orang di sekolah mengenal Revan. Dia bukan sekadar pintar dan pendiam—dia seperti tak punya emosi. Tidak pernah tampak gugup saat ujian, tidak pernah panik saat tertinggal tugas, bahkan ketika kami semua gemetar ketakutan saat uji nyali di rumah kosong, Revan hanya berdiri santai sambil menatap gelap.
“Apa sih yang kalian takutkan? Mereka bahkan gak nyata,” katanya ringan.
Awalnya kami pikir dia hanya sok berani. Tapi makin lama, makin jelas: Revan memang benar-benar tidak bisa merasakan takut.
Dan itu... justru yang membuatnya hilang.
Revan tak pernah pulang malam itu. Paginya, polisi menemukan tasnya di tepi jalan. Tapi tak ada jejak tubuh, motor, atau jejak kaki.
Sejak itu, cerita mulai beredar—tentang seorang anak kecil yang menangis sendirian di pinggir jalan. Tentang suara lirih yang berkata:
"Kau tidak takut, kan? Maka temani aku..."
***
Malam itu biasa saja. Les tambahan selesai pukul sembilan malam. Aku memilih jalan pintas, seperti biasa—melewati kebun bambu yang katanya "angker". Tapi aku sudah sering lewat sana. Tak pernah terjadi apa-apa.
Lalu aku melihatnya.
Seorang anak kecil berdiri di pinggir jalan, membelakangiku. Baju putihnya kotor, tubuhnya gemetar. Aku bukan tipe yang peduli, tapi anak itu terlalu kecil untuk dibiarkan sendiri di tempat gelap.
"Hei, kamu ngapain di sini? Sendirian?" tanyaku.
Tak ada jawaban.
Aku mendekat. Langkahku pelan. Semakin dekat, aku bisa mendengar suara... tangis? Tapi pelan, hampir seperti bisikan.
Aku meletakkan tangan di bahunya.
Dan saat itu juga, semuanya berubah.
Wajahnya... bukan wajah manusia. Matanya kosong. Mulutnya robek, melengkung sampai ke pipi. Lidahnya panjang, menjulur ke arahku.
Aku mundur. Tapi sekelilingku sudah tak seperti semula. Jalan aspal berubah menjadi tanah hitam, pepohonan menghitam dan melengkung seperti mencengkram langit.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dan anehnya...
Aku merasa dingin. Kosong. Dan... takut.