Langit sore itu muram, menggantungkan awan tebal di atas langit SMA Merah Putih. Hujan turun deras, seolah ikut merasakan gelisah di hati Dira yang berdiri di teras sekolah, memeluk tas erat-erat.
Ia menatap gerimis yang menari di ujung sepatu putihnya yang sudah tak begitu putih. Di kejauhan, terdengar suara langkah cepat menghampiri. Dira menoleh, dan di sanalah Reza — si ketua OSIS yang diam-diam selalu menarik perhatiannya sejak semester lalu.
“Enggak bawa payung juga?” tanya Reza, mengusap rambut yang basah karena sempat berlari dari aula ke teras.
Dira hanya menggeleng pelan. Hatinya berdebar. Biasanya Reza hanya menyapa sekilas atau saat ada kegiatan sekolah. Tapi sekarang, hanya mereka berdua di sini. Hujan seperti sengaja menjadi perantara.
Reza tersenyum, lalu membuka payung biru tua dari dalam tasnya. “Kalau kamu enggak keberatan, kita bisa pulang bareng. Rumahmu arah timur, kan? Lewat jalan dekat taman?”
Dira hampir tak percaya Reza tahu arah rumahnya. Ia mengangguk cepat, berusaha menutupi rona merah di pipinya.
Mereka berjalan beriringan di bawah payung yang sempit, membuat bahu mereka sesekali bersentuhan. Sepanjang jalan, suara hujan di atas payung jadi musik latar yang sempurna untuk percakapan mereka — tentang film yang mereka suka, mata pelajaran yang mereka benci, hingga mimpi-mimpi kecil tentang masa depan.
Saat mereka sampai di depan taman yang penuh bunga basah, Reza berhenti. Ia menatap Dira, matanya yang cokelat itu tampak lebih hangat dari biasanya.
“Kamu tahu, aku udah lama mau ngomong ini…” Reza menarik napas. “Aku suka kamu, Dira. Sejak kamu bantu anak-anak kelas sepuluh waktu pelatihan itu. Kamu… beda.”
Dira terpaku. Hujan masih turun, tapi dadanya terasa hangat. Bibirnya melengkungkan senyum kecil.
“Aku juga suka kamu, Reza… dari dulu,” bisiknya, nyaris tak terdengar di antara suara hujan.
Reza tertawa pelan, lega. Mereka berdiri beberapa saat di sana, membiarkan hujan menjadi saksi diam perasaan mereka yang akhirnya terucap. Di bawah payung sempit itu, dunia serasa mengecil, hanya menyisakan mereka berdua.
Senja mungkin tak menampakkan warna jingganya hari itu, tapi bagi Dira, langit sudah cukup indah — karena di ujung hujan, ia menemukan cinta.