Sejak kecil, Raka tidak pernah akur dengan ibunya. Ibunya cerewet, suka mengatur, dan terlalu protektif. Ketika remaja, Raka pernah berteriak, “Ibu nggak pernah ngerti aku!” lalu membanting pintu kamar. Sejak saat itu, jarak antara mereka tumbuh diam-diam, tak terucap, tapi terasa.
Setelah lulus kuliah, Raka memilih kerja di luar kota dan jarang pulang. Telepon dari ibunya sering ia abaikan. “Nanti aja,” katanya dalam hati, “aku sibuk.”
Sampai suatu malam, Raka menerima telepon dari tetangga. Ibunya jatuh di dapur.
Raka pulang dengan hati sesak. Rumah itu masih sama—hangat tapi kosong. Di atas meja, ada semangkuk sup ayam. Masih hangat. Ternyata, ibunya sedang memasak ketika jatuh. Sup itu dibuat untuknya. “Ibu tahu kamu pulang malam ini, jadi ibu masak yang kamu suka,” kata tetangga itu lirih.
Raka menatap sup itu dengan mata basah. Aroma jahe dan bawang putih mengingatkannya pada masa kecil—saat ia sakit, saat hujan deras, saat hatinya rapuh. Sup itu selalu hadir.
Malam itu, ia duduk sendiri, memakan sup buatan ibunya perlahan. Rasanya sederhana, tapi penuh arti. Setiap sendok adalah penyesalan, kerinduan, dan rasa sayang yang selama ini tak pernah ia ucapkan.
---