Andra sedang dalam perjalanan dinas ketika hujan turun deras dan memaksanya menginap di sebuah hotel tua di pinggiran kota. Hotel itu tampak sepi dan sunyi, dengan karpet kusam dan bau apek menyengat di lorong. Ia diberikan kamar 306 di lantai tiga—lantai yang tampak paling gelap dan lembap.
Kamar itu tampak biasa saja: ranjang ganda, televisi tabung, meja rias… dan sebuah cermin besar yang menggantung tepat di depan tempat tidur. Tapi sejak awal, ada yang aneh. Andra merasa seperti diawasi.
Malamnya, listrik sempat padam dua kali. Dalam remang cahaya lampu emergency, Andra melihat bayangannya di cermin… tersenyum, padahal ia tidak. Tubuhnya membeku. Perlahan, bayangan itu mengangkat tangannya dan mulai menulis di permukaan cermin yang berembun.
A—K—U D—I S—I—N—I.
Andra berbalik cepat. Tak ada siapa pun. Ruangan kosong.
Detik berikutnya, ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal. Saat dijawab, hanya ada suara napas berat… lalu bisikan:
“Kembalikan tubuhku…”
Esok paginya, Andra melapor ke resepsionis. Wanita paruh baya di balik meja menatapnya pucat.
"Maaf, Pak... kamar 306 sudah kami kosongkan sejak setahun lalu. Tamu terakhir yang menginap..." ia menelan ludah, "ditemukan tewas membeku di depan cermin. Senyumnya... tidak pernah hilang dari wajahnya."
Andra tak menunggu lama. Ia langsung pergi—tanpa menengok ke belakang. Tapi saat ia lewat lobi, sebuah bayangan di cermin dekat pintu masuk terlihat berdiri diam… dan tersenyum lebar.