⛰️⛰️⛰️
Di lereng Gunung Lawu, desa kecil bernama Girimulyo menyimpan cerita tentang dua muda-mudi: Raras dan Bagas. Raras, gadis ayu putri mbok jamu, dikenal ramah dan gemar menari. Sedangkan Bagas, pemuda pembuat wayang kayu, dikenal pendiam, tapi tutur katanya lembut dan penuh tata krama.
Setiap malam Jumat Kliwon, warga desa menggelar tirakatan di pendapa balai desa. Raras selalu menari gambyong, dan Bagas duduk di sudut, matanya tak pernah lepas dari setiap gerakan lenggok gadis itu.
Namun, rasa itu ia simpan rapat. Ia merasa tak pantas. Ayahnya hanya tukang kayu, dan Raras terlalu luhur untuk dipinang dengan tangan kosong.
Suatu sore, saat senja merambat lembut di langit Girimulyo, Raras duduk di tepi sendang, mencuci selendang tari. Bagas yang lewat membawa kayu berhenti.
“Nggih, mbakyu Raras,” sapa Bagas sopan, menunduk.
Raras tersenyum. “Mas Bagas. Saged matur sebentar?”
Bagas gugup. “Monggo…”
Raras menatap matanya. “Kulo ngerti, Mas remen nyawang kulo. Nanging, kulo boten ngertos… nopo Mas namung nyawang, boten tumindak?”
Bagas terkejut. Jantungnya seperti dipukul kendang. Ia menunduk, suaranya lirih, “Kulo isin, Mbak. Kulo namung tukang ukir. Raras pancen luhur…”
Raras tersenyum lirih. “Mas, rasa punika boten madosi drajat. Rasa madosi kelir ing ati. Menawi pancen wonten rasa, entenana. Kulo saged nampi.”
Air sendang tak lagi jernih, sebab air mata Bagas jatuh lebih dulu.
Sejak hari itu, selendang Raras tak hanya menari di panggung. Ia menari di hati Bagas, bersama doa dan harapan. Dan setiap ukiran wayang Bagas kini berisi rasa—rasa yang telah menemukan jalannya.
--