🌿🌿🌿
Senja itu turun dengan malu-malu, diselimuti gerimis yang menggigilkan. Di bawah rindangnya pohon flamboyan di belakang sekolah, Dira berdiri memeluk buku Matematika, matanya gelisah menatap halaman kosong pesan di ponselnya.
Sudah lima belas menit sejak Aldo bilang, “Tunggu aku di belakang sekolah, ya. Ada yang mau aku omongin.” Dan sekarang, yang datang malah hujan.
Dira menghela napas. Mungkin dia terlalu berharap. Aldo bukan siapa-siapanya. Hanya teman sekelas yang sering bertukar lelucon saat belajar kelompok. Tapi senyum Aldo, cara dia menatap Dira saat memberikan jawaban yang benar, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Langkah kaki cepat mendekat. Dira menoleh. Aldo berdiri di sana, basah kuyup, napas tersengal.
"Maaf lama. Hujannya tiba-tiba," katanya, tersenyum.
Dira mengangguk, pura-pura acuh. “Kamu mau ngomong apa?”
Aldo mendekat, mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah kotak kecil, sederhana.
“Aku tahu ini nggak seberapa… tapi aku bikin ini sendiri,” katanya, membuka kotaknya. Di dalamnya, gelang dari benang wol berwarna biru warna favorit Dira.
“Aku nggak pandai ngomong, tapi… aku suka kamu, Dir. Dari pertama kamu marahin aku karena nyontek waktu ulangan. Mau nggak jadi pacarku?”
Dira terdiam. Hujan masih turun, tapi hatinya hangat. Ia tersenyum kecil, menerima gelang itu dan mengikatkannya ke pergelangan tangan.
“Boleh,” jawabnya pelan.
Aldo tertawa lega. “Makasih. Eh, tapi… boleh aku peluk kamu sebentar?”
Dira menggeleng cepat, wajahnya memerah. “Nggak boleh! Tapi… kamu boleh jalan bareng aku pulang, asal pinjemin jaket.”
---