Yang Tak pernah Pergi
Author: Effka Roe
Keluarga;Mind-blowing
Pagi itu, rumah kami tidak dihiasi suara burung atau musik dangdut dari radio tua seperti biasanya. Yang ada hanya suara batuk Ibu yang sudah seperti alarm kematian—keras, parau, dan konsisten, setiap lima menit sekali. Seolah paru-parunya mengetuk pintu dunia, tapi belum juga dijawab.
Aku, Dito, duduk di meja makan yang masih belum dibereskan sejak semalam. Tumpukan piring sisa mie instan Bima, adikku, dan cangkir teh basi milik Ayah seperti artefak dari reruntuhan keluarga yang sedang mencoba tidak bubar.
"Ayo ke rumah sakit," kataku sambil menyodorkan jaket ke Ibu, yang sedang meringkuk di sofa ruang tamu.
"Enggak. Itu cuma masuk angin kelas berat," jawab Ibu, sambil membungkus dirinya pakai selimut batik, seperti burrito dengan trauma medis.
"Masuk angin nggak bikin orang muntah darah, Bu."
"Itu cuma darah lama, numpuk dari zaman muda," sahutnya tanpa ragu.
Aku menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya kami ribut soal kesehatan. Tahun lalu, Ibu menolak ke puskesmas meski kakinya bengkak seperti balon ulang tahun. Katanya, “Nanti juga kempes kalau tidur pakai doa khusus.” Ternyata benar. Tapi karena malam itu, aku yang akhirnya memijit kaki bengkak sambil nahan panik dan amarah.
Dari kamar, Ayah muncul dengan sarung dan peci, seperti biasa. Di tangannya, ponsel yang menayangkan video ceramah dari seorang ustaz dengan kualitas audio seperti disiarkan dari dalam drum. Judulnya: *"Anak Durhaka, Orang Tua Sakit Hati."*
"Yah, bantuin aku bujuk Ibu ke rumah sakit, dong. Ini serius," kataku.
Ayah menjawab tanpa lepas headphone. "Kalau sudah rezekinya sembuh, ya sembuh. Kalau enggak… ya mungkin waktunya dia kembali."
"YAH!" Aku meledak. "Itu IBU, bukan tokoh figuran di sinetron Ramadan!"
Ayah menoleh. "Kamu tuh kurang iman. Terlalu percaya rumah sakit. Mereka itu bisnis. Tahu nggak, orang sehat juga bisa sakit gara-gara disuruh tes ini-itu!"
Aku berdiri. Tanganku gemetar, bukan karena marah—tapi takut. Takut kehilangan Ibu karena dua orang dewasa keras kepala ini hidup dengan teori warisan WhatsApp keluarga.
"Lalu kalau Ibu mati di rumah ini, gara-gara kita biarin… itu disebut iman atau bodoh?"
Ibu langsung duduk tegak. "WOI! Jangan pakai kata *mati-mati*! Belum tentu aku yang pergi duluan. Bisa aja kamu duluan, Dito!"
"BISA AJA AKU JUGA!" teriak Ayah, tidak mau kalah.
Kami semua terdiam. Bahkan Riko, kucing kampung peliharaan kami, berhenti menjilati bulunya dan menatap kami seperti baru sadar dia tinggal bersama orang-orang stres.
Di tengah kekacauan itu, Bima keluar dari kamarnya dengan rambut berantakan dan headset masih menempel di leher. Ia menatap kami satu per satu, lalu berkata datar, "Tadi aku mimpi rumah ini jadi panggung teater. Tapi aktornya nggak ada yang hafal naskah."
Kami semua diam. Bima masuk lagi ke kamar. Sejak pandemi, dia belajar bertahan hidup dengan logika sinis dan humor gelap.
Aku masuk ke dapur, menyeduh teh. Tanganku gemetar saat menuang air panas. Aku tak bisa berhenti memikirkan batuk Ibu yang terdengar lebih dalam dari sebelumnya. Seperti batuk yang bukan lagi sekadar batuk, tapi pesan yang tak berhasil disampaikan dengan kata.
Aku duduk di lantai dapur. Diam-diam, menulis catatan kecil di kertas sobekan buku resep:
*“Kadang yang bikin sakit bukan penyakitnya, tapi perdebatan yang muncul saat kita ingin sembuh. Kadang yang kita lawan bukan virus, tapi keras kepala orang yang kita cintai.”*
Aku lipat kertas itu, simpan di saku celana. Mungkin nanti kubuang. Mungkin juga kubaca lagi kalau keadaan makin parah.
Telepon berdering. Aku berlari, berharap itu dari Bude Sari atau tetangga yang menawarkan bantuan. Tapi ternyata hanya pesan WhatsApp dari grup alumni SMA: meme lucu soal mantan dan vaksin.
Aku ingin tertawa. Tapi suara batuk Ibu terdengar lagi, kali ini disertai lirih “astaghfirullah” yang panjang. Dan di saat itu, aku tahu: ini bukan hari biasa.
Ini adalah hari pertama dari hari-hari yang akan mengubah keluarga kami. Entah menuju lebih baik, atau sebaliknya.
Dan aku belum siap untuk kehilangan.
Siang hari, suasana rumah tidak banyak berubah. Langit mendung, kipas angin berputar malas, dan suara batuk Ibu tetap muncul berkala seperti notifikasi aplikasi yang tidak bisa dimatikan. Aku duduk di ruang tamu, memandangi televisi yang menyala tapi tak ditonton. Acara kuliner, suara pembawa acaranya terlalu ceria untuk rumah yang sedang sesak ini.
Ibu tidur di sofa, napasnya berat, kadang diselingi dengkuran halus. Di meja kecil sebelahnya, ada minyak kayu putih, balsem, madu, air jeruk nipis, dan tentu saja: toples kecil berisi bawang merah yang sudah direndam. “Ramuan penyelamat,” katanya semalam.
Ayah duduk di serambi depan. Ia membaca koran sambil mengeluh soal harga bahan pokok. Tapi aku tahu pikirannya bukan di situ. Sesekali, ia menoleh ke dalam, memandangi Ibu dari kejauhan, lalu buru-buru menunduk lagi seperti takut ketahuan peduli.
Bima keluar dari kamar, kali ini dengan rambut sedikit lebih rapi. Ia menghampiri Ibu, lalu duduk di lantai dekat sofa.
“Bu,” katanya pelan. “Kalau Ibu beneran meninggal gara-gara menolak ke rumah sakit, boleh nggak aku bawa kucing kita buat nemenin ke pemakaman?”
Aku menatapnya tajam. “Bima!”
Tapi Ibu justru tertawa pelan. Batuknya ikut menyusul.
“Kalau Ibu mati, Riko yang pertama nangis. Dia paling setia. Kalian? Belum tentu.”
“Buktinya kami masih di sini, Bu,” kataku sambil duduk di sebelahnya.
Ibu memandangku. Mata yang lelah tapi lembut. “Kamu sayang sama Ibu, Dit?”
“Banget.”
“Kalau begitu, jangan paksa Ibu ke tempat yang Ibu takut. Nenek kamu... meninggal di rumah sakit. Ditinggal sendirian di ruang isolasi. Dulu, Ibu juga disuruh nunggu di luar. Itu rasanya kayak dikhianati dunia.”
Aku diam. Luka itu terlalu dalam untuk dilawan dengan logika. Aku pegang tangannya.
“Kalau Ibu mau, kita cari dokter yang datang ke rumah. Atau kita bareng-bareng ke rumah sakit yang Ibu pilih sendiri. Aku temani. Kita lawan takutnya sama-sama.”
Ibu tidak menjawab. Tapi matanya berkaca. Ia menoleh ke arah Ayah, yang masih duduk di serambi.
“Dengar itu, Yah?” katanya agak lantang.
Ayah bergumam tanpa menoleh, “Dengar. Ayah lagi mikir.”
Bima berdiri, mengangkat kedua tangannya dramatis. “Akhirnya! Rumah ini mulai kayak film indie yang ending-nya harapan.”
Hari menjelang sore. Aku menyeduh teh baru untuk Ibu dan mengantar segelas untuk Ayah. Saat kukasih, Ayah tidak langsung minum. Ia hanya memegang cangkir itu erat-erat, lalu berkata lirih, “Ayah juga takut. Tapi Ayah belum tahu cara bilangnya.”
Aku tersenyum kecil. “Gak apa-apa. Yang penting Ayah nggak diem terus.”
Malam itu, kami makan bersama. Ayah masak nasi goreng. Rasa terlalu asin, tapi kami habiskan sampai habis. Ibu bilang, “Kalau ini nasi terakhirku, setidaknya dimasakin suami sendiri.”
Kami semua tertawa.
Dan saat itu aku tahu, meski belum ada keputusan besar, satu hal sudah berubah: kami mulai bicara.
Dan itu langkah pertama menuju sembuh.
Setelah makan malam yang tidak terlalu enak tapi terasa hangat, kami mengobrol pelan. Tidak lagi tentang rumah sakit, tapi tentang hal-hal kecil yang dulu sering kami abaikan. Tentang tanaman di pekarangan yang mati karena lupa disiram, tentang tetangga yang pelihara burung tapi burungnya sering kabur, dan tentang masa kecil kami—saat Ayah masih kuat lari-lari ke warung, dan Ibu bisa tertawa tanpa batuk.
“Bu, waktu aku kecil, Ibu pernah takut juga nggak? Sama sakit?” tanyaku tiba-tiba.
Ibu terdiam sebentar, lalu menjawab, “Ibu takut waktu kamu demam tinggi dan menggigil tengah malam. Waktu itu Ayah nggak di rumah, Ibu panik. Tapi Ibu juga takut bawa kamu ke rumah sakit. Takut kamu kenapa-kenapa di sana.”
“Lalu Ibu bawa aku?”
“Bawa. Tapi sambil nangis. Dan pas kamu sembuh, Ibu janji nggak mau ke rumah sakit lagi kecuali bener-bener darurat.”
Aku terdiam. Ternyata janji kecil dari masa lalu bisa berakar jadi ketakutan besar yang Ibu bawa sampai sekarang.
Di luar, hujan mulai turun. Riko sudah meringkuk di pojok sofa, Bima asyik main HP sambil pakai headset, dan Ayah… duduk di pojok ruang tamu, membuka buku catatan kecil yang biasa ia isi dengan doa-doa harian dan catatan belanja.
“Ayah nulis apa?” tanyaku sambil mendekat.
“List hal yang harus ditanya ke dokter,” jawabnya, pelan. “Kalau besok Ibumu beneran mau ke rumah sakit.”
Aku tersenyum. “Ayah serius?”
“Serius. Tapi kamu yang nyetir. Ayah males debat sama tukang parkir.”
Kami berdua tertawa.
Ibu menatap kami dari sofa. “Kalau aku nanti mulai panik, bacain surat Al-Fatihah ya. Itu lebih menenangkan dari suara suster.”
“Siap, Bu,” jawabku. “Tapi jangan kaget kalau aku bacain sambil gemeteran.”
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah sudah sunyi. Tapi kali ini, sunyi yang tenang. Bukan sunyi karena kemarahan, tapi karena semua sedang mempersiapkan keberanian.
Aku duduk di meja belajarku, membuka buku catatan. Aku menulis satu kalimat terakhir hari itu:
*“Besok, kami akan pergi ke rumah sakit. Tapi hari ini, rumah kami sudah mulai sembuh. Karena kami sudah mulai mendengarkan.”*
Kukunci buku itu, kupadamkan lampu, dan tidur sambil berharap: semoga besok kami semua bangun masih dengan keberanian yang sama seperti malam ini.
Pagi hari berikutnya, aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Biasanya Ibu yang bangun duluan, menyapu halaman sambil ngobrol sendiri dengan tanaman lidah mertua yang katanya bisa usir energi negatif. Tapi hari ini, semua masih tidur. Bahkan ayam tetangga pun belum berkokok.
Aku duduk di teras. Udara pagi dingin, tapi tidak menggigit. Ada ketenangan yang ganjil, seperti rumah kami sedang menahan napas bersama-sama.
Tak lama kemudian, Ayah muncul dengan jaket lusuh dan secangkir kopi hitam. Ia duduk di sebelahku, menyeruput perlahan, lalu berkata, “Dulu waktu kamu lahir, Ibumu pingsan. Ayah bingung, takut, tapi pura-pura tenang. Padahal jantung Ayah deg-degan kayak genderang perang.”
Aku menoleh padanya. Ia menatap jauh ke halaman. “Sejak itu Ayah sadar, jadi orang tua itu kadang harus pura-pura tahu arah. Padahal nyasar juga.”
Aku hanya bisa tersenyum.
“Sekarang giliran kamu, Dit. Kamu mulai ngerti peran itu. Jadi penopang, jadi penenang. Tapi jangan lupa, kamu juga berhak lelah.”
Aku tidak menjawab. Tapi dalam hati, aku mengucapkan terima kasih.
Di dalam rumah, terdengar suara Ibu batuk pelan. Bima berteriak dari kamar, “Jangan berangkat duluan tanpa aku! Aku yang bawa dokumen BPJS!”
Ayah tertawa. “Kalau dia lupa password akun rumah sakit, kamu aja yang gantiin.”
Kami masuk ke dalam rumah. Aku bantu Ibu mengenakan jilbab. Tangan Ibu gemetar sedikit. Tapi kali ini, tidak ada penolakan. Tidak ada bentakan. Hanya satu bisikan kecil dari Ibu:
“Terima kasih, ya.”
Aku tahu ucapan itu bukan hanya untuk bantu pakai jilbab. Tapi untuk segalanya—untuk bersabar, untuk tidak menyerah, dan untuk tetap tinggal.
Dan saat mobil melaju pelan ke arah rumah sakit, aku menatap kaca spion, melihat refleksi keluargaku.
Kami mungkin tidak sempurna. Tapi kami belajar.
Dan itu sudah cukup untuk hari ini.
Dan mungkin… untuk hidup yang akan datang.
Kami sampai di rumah sakit dengan suasana hati yang aneh. Campuran antara lega, tegang, dan sedikit geli karena Ayah bersikeras membawa bekal berupa nasi goreng dingin di kotak makan plastik. Katanya, “Siapa tahu ngantri lama. Gak mau lapar pas emosi.”
Di loket pendaftaran, Ibu duduk menunggu sambil mengamati orang-orang lewat. Ia tidak banyak bicara, hanya sekali-sekali mencubit ujung jilbabnya. Tangannya bergerak seperti orang yang sedang merapal mantra ketenangan.
“Nomor antrean 34,” kata petugas. “Silakan duduk dulu, nanti dipanggil.”
Ayah langsung celingukan. “Ada colokan nggak? HP Ayah tinggal 12 persen.”
Aku menunjuk sudut ruang tunggu. “Di sana, dekat kipas angin.”
Ayah berjalan cepat seolah itu misi darurat. Bima langsung menyusul dan duduk di sampingnya, membuka tablet, entah untuk main game atau menonton video lucu yang membuatnya tertawa sendiri.
Aku duduk di samping Ibu. Napasnya masih berat, tapi kali ini tidak terselip kecemasan di wajahnya. Hanya lelah.
“Kamu ingat waktu kecil kamu nangis minta dibeliin es krim di depan puskesmas?” tanya Ibu tiba-tiba.
Aku mengangguk. “Ibu marah, terus aku kabur ke warung sebelah dan sembunyi di balik kulkas.”
“Kulkasnya ternyata nyala. Kamu kedinginan sampai batuk-batuk.”
Kami tertawa pelan. Bahkan dalam rumah sakit, cerita masa lalu bisa jadi penghangat.
“Sekarang kamu yang marah-marah ke Ibu supaya berobat,” katanya.
“Karena sekarang aku yang takut kehilangan.”
Ibu menunduk. “Dulu Ibu juga takut kehilangan kamu.”
Antrean berjalan lambat. Di depan kami, seorang anak kecil sedang bermain dengan mainan dinosaurus plastik. Bima bergumam, “Kalau dino itu hidup lagi, kira-kira mereka juga takut rumah sakit gak, ya?”
Ayah mendengus dari jauh. “Yang penting dinosaurusnya jangan sok tahu kayak dokter-dokter zaman sekarang.”
“Iya, Yah. Tapi dinosaurus punah karena gak ada BPJS,” jawab Bima enteng.
Tiba giliran kami masuk ke ruang periksa. Dokternya muda, berkacamata, dan tersenyum hangat. Ibu agak canggung, tapi Ayah lebih sibuk mengeluarkan catatan kecilnya.
“Dok, saya mau tanya beberapa hal. Satu: apakah antibiotik akan merusak ginjal? Dua: kalau pasien saya ini minum air rebusan jahe tiap pagi, apa bisa konflik dengan obat?”
Dokter tertawa kecil, menjawab semua dengan sabar. Aku terkesan. Ibu mulai rileks, dan aku melihat sekelumit rasa hormat tumbuh di mata Ayah. Mungkin, untuk pertama kalinya, Ayah merasa bisa bicara setara dengan orang medis.
Setelah selesai, kami kembali ke ruang tunggu. Ibu bilang ingin duduk sebentar sebelum pulang.
Aku duduk di samping Ayah. Ia masih menggenggam buku catatannya.
“Dulu Ayah gak ngerti cara ngobrol sama dokter,” katanya. “Takut salah, takut diledekin, jadi Ayah pilih diam. Tapi ternyata, kalau kita datang dengan tenang, mereka juga dengerin.”
“Ya,” jawabku pelan. “Dokter juga manusia. Kayak Ayah.”
Kami pulang dengan hati lebih ringan. Ibu memeluk botol obatnya seperti memeluk harapan. Ayah bilang dia ingin belajar lebih banyak soal kesehatan. “Biar gak malu-maluin kalau ditanya orang.”
Dan aku? Aku menatap langit yang mulai mendung, tapi tak terasa menakutkan.
Karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah kami tidak lagi rebutan kendali.
Kami mulai belajar mengemudi bersama. Pelan. Tapi satu arah.
Sore itu, di perjalanan pulang, mobil kami terasa lebih tenang daripada biasanya. Tidak ada debat soal rute tercepat atau siapa yang harus bayar parkir. Hanya suara AC yang pelan dan lagu dari radio yang entah kenapa memutar tembang lawas favorit Ibu.
Ayah memutar setir dengan tenang. “Tadi dokter bilang paru-parunya masih bisa bersih, asal rajin kontrol. Jadi kita bakal balik lagi minggu depan.”
Ibu mengangguk. “Asal yang nganter kamu, Yah. Kalau Dito, suka nyetir ngebut.”
Aku protes. “Nggak ngebut, Bu. Itu mobilnya aja yang tua. Gigi dua kayak gigi tiga.”
“Mobil tua kayak Ayah dong,” celetuk Bima dari belakang.
Tawa pelan mengalir di dalam mobil. Jenis tawa yang tidak keras tapi penuh rasa pulang.
Sesampainya di rumah, Ibu langsung ingin menyapu halaman. Refleks lama yang sulit hilang. Tapi Ayah langsung menarik sapu dari tangannya.
“Udah, sini Ayah aja. Kamu duduk. Minum teh, makan pisang goreng.”
Ibu mengernyit. “Ayah bisa nyapu?”
“Bisa. Asal jangan minta hasilnya kayak taman kota.”
Aku duduk di samping Ibu di teras. Kucing kami, Riko, melompat ke pangkuan Ibu tanpa banyak basa-basi. Seolah tahu bahwa bos utamanya sedang butuh teman diam.
“Bu,” kataku pelan. “Hari ini lumayan hebat, loh. Ibu bisa ngalahin takutnya sendiri.”
Ibu mengangguk. “Masih takut sih. Tapi aku juga capek terus-terusan takut.”
Kami diam sebentar. Lalu Ibu melanjutkan, “Kamu tahu, Dit… aku ini dulu orang yang keras. Tapi ternyata, setelah punya anak, keras kepala berubah bentuk. Jadi bentuk baru dari cinta.”
Aku memandangnya lama. Lalu pelan-pelan menggenggam tangannya.
Ayah selesai menyapu dan duduk di sebelah kami. Ia membawa dua gelas teh dan satu piring berisi pisang goreng yang terlalu cokelat.
“Gosong, Yah,” kata Bima yang baru saja bergabung.
“Gosongnya itu rezeki. Kayak hidup—kadang gosong dulu baru mateng,” jawab Ayah enteng.
Kami semua tertawa. Riko menguap di pangkuan Ibu.
Saat malam tiba, aku kembali ke kamar, membuka catatan harian digital yang biasa kutulis diam-diam. Hari itu, aku menulis:
*“Hari ini, kami pulang dari rumah sakit. Tapi yang lebih penting, kami juga pulang dari ketakutan. Mungkin keluarga kami tidak berubah jadi ideal. Tapi kami sedang mencoba. Dan itu sudah lebih dari cukup.”*
Keesokan harinya, suasana rumah berubah pelan-pelan. Ayah mulai membaca artikel kesehatan di HP-nya. Kadang masih salah paham, tapi niatnya sungguh. Ia pernah tanya apakah ‘paru-paru basah’ bisa dikeringkan dengan kipas angin. Aku hanya tertawa sambil mengoreksi pelan.
Ibu lebih rajin minum obat. Kadang lupa, tapi dengan senyum, dia bilang, “Ingatin Ibu, ya. Tapi jangan kayak nyuruh pasien. Lebih kayak nyuruh orang yang kamu sayang.”
Bima membuat grafik pemulihan Ibu dengan spidol warna-warni. Setiap kali Ibu tidak batuk lebih dari dua jam, dia kasih bintang emas di kertas.
Suatu malam, kami makan malam sambil menonton televisi. Ayah biasanya tak suka nonton bareng. Tapi kali ini, dia ikut. Filmnya soal keluarga juga. Tentang ayah dan anak yang akhirnya saling paham lewat perjalanan panjang.
Aku melirik Ayah. Ia tampak lebih tenang dari biasanya. Bahkan ikut tersenyum saat adegan lucu muncul.
Lalu ia menoleh padaku. “Dito, kamu tahu… kamu anak yang keras juga, ya. Tapi kerasmu nularin semangat. Ayah salut.”
Aku nyaris tersedak nasi. “Ayah muji aku?”
“Cuma hari ini. Besok kita balik debat lagi.”
Kami tertawa keras. Bahkan Ibu ikut menertawakan adegan film meski tidak tahu ceritanya dari awal.
Dan saat itu aku sadar, kendali dalam keluarga bukan soal siapa yang paling keras suara atau paling pintar bicara. Tapi soal siapa yang paling mau mendengar lebih dulu.
Malam itu, sebelum tidur, aku menatap langit-langit kamar dan berkata dalam hati:
*Kami masih rebutan kendali. Tapi sekarang, kami tahu… kadang, cinta harus cukup lembut untuk menyerah sebentar, agar bisa menang bersama nanti.*
Hari-hari berikutnya jadi semacam masa transisi. Rumah kami masih sama, tapi atmosfernya mulai berubah. Bukan tiba-tiba jadi damai dan penuh pelukan seperti iklan sirup lebaran, tapi lebih seperti perahu yang mulai menemukan arah angin.
Ayah mulai lebih sering duduk di ruang tamu sambil membaca, kadang koran, kadang brosur kesehatan yang kami bawa dari rumah sakit. Ia masih sering salah sebut istilah—menyebut “terapi nebulizer” jadi “terapi nebulakan”—tapi kami tahu dia berusaha.
Ibu terlihat lebih tenang. Sekarang kalau batuk, dia tidak lagi menepis tangan kami yang menyodorkan obat. Ia minum sambil mencibir, “Rasanya kayak air got beraroma mint,” tapi tetap ditelan juga.
Suatu pagi, Ayah membuat sarapan. Telur dadar dan teh hangat. “Ini buat ratu rumah tangga kita,” katanya sambil menyodorkan piring ke Ibu.
Ibu mendelik. “Telur gosong gini buat ratu?”
“Karena dia kuat. Kuat makan yang gak sempurna,” jawab Ayah enteng.
Aku duduk di meja, menatap mereka, dan merasa seperti menonton drama keluarga buatan sendiri. Bima bahkan mulai merekam beberapa momen untuk dijadikan video dokumenter.
“Judulnya ‘Keluarga Batuk-Batuk yang Bertahan Hidup’,” katanya sambil mengedit di ponselnya.
“Kamu jangan upload ke TikTok ya, nanti Ayah viral,” kata Ayah.
“Kalau viral, Ayah bisa jadi influencer obat herbal,” timpal Ibu.
Tawa meletus. Ringan. Saling olok tapi dengan kasih.
Malam itu, Ayah mengajak kami semua duduk di ruang tengah. Ia membawa kertas dari rumah sakit—rencana terapi dan jadwal kontrol.
“Mulai sekarang kita bikin sistem,” katanya. “Bukan cuma buat Ibu, tapi buat kita semua. Kesehatan itu tanggung jawab keluarga.”
Kami sepakat. Bima yang bikin tabel. Aku yang koordinasi antar jemput. Ayah yang jaga logistik. Ibu? Cuma satu tugas: sembuh dengan sabar.
Dan di malam yang sepi, saat semua tertidur, aku menulis lagi:
*“Dulu kami rebutan kendali, karena merasa paling tahu yang terbaik. Tapi ternyata, cinta tidak harus memimpin. Kadang cukup hadir. Kadang cukup duduk diam di samping, dan bilang: ‘Aku di sini.’”*
Esoknya, rumah masih penuh dengan rutinitas. Tapi kini tak lagi dipenuhi debat. Kami tidak lagi takut siapa yang paling benar. Karena kami belajar bahwa jadi benar itu penting, tapi jadi bersama itu lebih penting.
Kami masih berjalan pelan. Tapi kini, satu langkah selalu diiringi genggaman.
Beberapa hari kemudian, giliran Ayah yang batuk. Bukan batuk parah, hanya sesekali, tapi cukup membuat Ibu menatapnya tajam dari balik cangkir teh.
“Kamu jangan pura-pura sakit biar ikut minum madu, ya,” kata Ibu.
“Batuk ini batuk cinta,” jawab Ayah sambil pura-pura lemas.
Bima langsung menimpali, “Cinta yang kena debu.”
Kami semua tertawa.
Tapi kemudian Ibu berdiri, mengambil termometer dan mengecek suhu Ayah. Tidak tinggi. Tapi yang mengharukan adalah cara Ibu memperhatikan Ayah, seperti membalas semua kepedulian yang ia terima.
Di situ aku belajar bahwa cinta yang matang bukan yang penuh bunga dan janji manis, tapi yang hadir dalam bentuk perhatian kecil, seperti menyeduh teh, mengingatkan obat, atau membenarkan letak bantal.
Beberapa malam setelah itu, kami mengadakan ‘rapat keluarga’. Bukan acara serius—hanya duduk melingkar di ruang tamu sambil makan keripik dan berbagi cerita satu sama lain.
“Tujuan rapat ini adalah supaya semua orang tahu, kalau ada yang nggak enak badan, langsung bilang,” kataku memulai.
Ayah mengangkat tangan. “Boleh nggak bilang nanti aja kalau batuknya belum keren?”
“Gak ada batuk keren, Yah,” sahut Bima.
Ibu menyeringai. “Kalau Ayah ngeluh baru tiga kali, berarti masih tahap pamer, bukan laporan.”
Tawa meledak lagi. Tapi dari situ kami membuat sistem komunikasi baru—kode batuk. Satu kali: aman. Dua kali: waspada. Tiga kali: ke rumah sakit. Bahkan Riko punya kode: kalau bersin dua kali, berarti butuh digendong.
Dari sistem sederhana itu, aku sadar, kami mulai mempercayai satu sama lain. Tidak hanya soal kesehatan, tapi soal ruang batin yang sebelumnya tertutup rapat.
Malam menjelang, dan aku menulis lagi di buku catatan:
“Rebutan kendali bisa menguras cinta. Tapi saling berbagi tanggung jawab bisa menumbuhkannya. Sekarang kami tak lagi rebutan siapa yang paling tahu. Kami saling menjaga, saling belajar. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, keluarga ini terasa benar-benar utuh.”
Aku tidak langsung pulang ke rumah setelah menjemput obat Ibu dari apotek. Ada sesuatu yang membuat kakiku mengarah ke gang kecil di belakang masjid—jalan menuju rumah Bude Sari.
Rumahnya kecil, dindingnya masih setengah bata merah, tapi selalu rapi dan wangi rempah. Aku mengetuk pintu pelan. Tak lama, Bude muncul dengan celemek penuh tepung dan wajah yang seperti sudah tahu isi hatiku sebelum aku bicara.
“Masuk, Dit. Aku tahu kamu nggak datang cuma buat beli onde-onde.”
Aku tersenyum lemah dan duduk di kursi rotan yang sejak kecil jadi tempat favoritku setiap main ke sini.
Bude membuat teh dan duduk di seberangku.
“Masih soal Emakmu, ya?” tanyanya sambil menuang air panas.
Aku mengangguk. “Sekarang sudah mulai mau minum obat, Bud. Tapi aku belum ngerti… kenapa dulu Ibu segitu takutnya sama rumah sakit.”
Bude menarik napas panjang, lalu bersandar.
“Itu karena kamu belum tahu cerita utuhnya. Tentang waktu Nenek kalian meninggal.”
Aku duduk lebih tegak. Ini cerita yang tidak pernah benar-benar diceritakan Ibu.
“Kejadiannya waktu kamu masih bayi. Nenekmu kena stroke. Dilarikan ke rumah sakit, tapi karena nggak punya surat rujukan dan uang pas-pasan, dia ditolak dulu di bagian depan.”
Aku membeku. “Ditolak?”
“Bukan ditolak terang-terangan. Tapi diulur-ulur. Disuruh nunggu. Dipindah-pindah. Emakmu panik. Dia yang ngurus semua, karena Bapak kalian kerja di luar kota.”
Bude berhenti sebentar, matanya menerawang.
“Akhirnya Nenek dibawa ke UGD. Tapi sudah telat. Dia meninggal, di depan Emakmu. Dan waktu itu, satu-satunya hal yang dia ucapkan ke Emakmu adalah, ‘Maaf, ya, bikin repot.’”
Hatiku mencelos.
“Sejak itu, Emakmu trauma. Dia merasa gagal. Bukan cuma takut rumah sakit, tapi takut harus menghadapi rasa bersalah itu lagi. Takut kalau dia yang sakit, dia akan merepotkan kalian. Jadi lebih baik pura-pura sehat, pura-pura kuat.”
Aku terdiam lama. Teh di gelasku sudah dingin.
“Bud… kenapa Ibu nggak pernah cerita?”
“Karena dia pikir kamu gak perlu tahu. Dia pengen kamu jadi anak yang optimis, bukan warisan luka.”
Air mataku mengambang. “Tapi kalau dia gak cerita, gimana aku bisa ngerti kenapa dia begitu keras kepala?”
Bude tersenyum tipis. “Itulah kenapa kamu di sini. Karena kamu sudah mulai ngerti. Itu tandanya kamu sudah cukup dewasa untuk dengar cerita yang berat.”
Aku menatap meja kayu tua di depan kami, membayangkan Ibu muda duduk di sana, menangis sendiri setelah pulang dari rumah sakit.
“Kalau kamu mau bantu Emakmu sekarang,” lanjut Bude, “kamu gak bisa pakai logika doang. Kamu harus bantu dia berdamai sama masa lalunya. Bukan sekadar minum obat, tapi juga mengampuni dirinya sendiri.”
Aku menutup mata sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap.
Lalu pelan-pelan, aku membuka ponsel. Menulis pesan untuk Ibu:
*Bu, aku tahu kamu dulu pernah jaga Nenek di rumah sakit. Aku gak tahu detailnya, tapi aku tahu itu pasti berat. Terima kasih ya, sudah kuat selama ini. Sekarang, giliran kami yang jaga Ibu. Gak usah takut repotin kami. Gak usah pura-pura kuat. Kami di sini.*
Pesan itu kukirim. Dan meski tidak langsung dibalas, aku merasa seperti beban besar telah dibagikan.
Bude menepuk tanganku. “Kamu anak yang baik, Dit. Sekarang tinggal bantu Emakmu percaya bahwa dia pantas disayangi, bahkan saat dia sedang rapuh.”
Aku pulang dengan hati yang lain. Lebih berat, tapi juga lebih siap.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa siap memeluk luka yang bukan milikku—karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan luka yang ada di rumah.
Sesampainya di rumah, Ibu sedang duduk di teras, mengenakan jaket tipis dan celana panjang yang biasa ia pakai untuk menyapu. Tapi kali ini, ia tidak menyapu. Ia hanya menatap langit yang mulai merah keemasan.
Aku duduk di sebelahnya tanpa banyak kata. Kami diam cukup lama. Lalu Ibu berkata, “Kamu ke rumah Bude?”
Aku mengangguk. “Minum teh. Dengerin cerita.”
“Dia cerita soal Nenek, ya?”
Aku menoleh pelan. Ibu masih menatap langit.
“Iya. Tapi aku senang tahu akhirnya.”
Ibu tersenyum samar. “Itu luka yang lama. Tapi makin ditutup, malah tambah nyeri. Aku cuma gak mau kamu lihat Ibu sebagai orang lemah.”
“Bu,” kataku, “aku gak butuh Ibu kuat setiap saat. Aku cuma butuh Ibu ada.”
Ibu menunduk. Tangannya menggenggam ujung jaketnya sendiri. “Kadang aku ngerasa, kalau aku sakit, aku akan nyusahin semua orang. Kayak Nenek dulu.”
“Kalau Ibu nyusahin, biar kami yang repot. Namanya juga keluarga. Kami bukan cuma buat hari-hari lucu, tapi juga buat hari-hari berat.”
Ibu tidak menjawab, tapi matanya berkaca. Ia mengangguk pelan. Dan aku tahu, untuk pertama kalinya, Ibu mengizinkan dirinya untuk lemah—di depanku.
Malam harinya, suasana rumah lebih tenang. Ayah bahkan tidak memutar ceramah seperti biasa. Ia duduk di ruang tengah, membaca koran lama, lalu tiba-tiba berkata, “Nenekmu itu perempuan paling keras kepala yang pernah Ayah kenal. Sekarang, Emakmu warisin semuanya.”
Kami tertawa. Termasuk Ibu.
“Keras kepala itu perlu kadang-kadang,” kata Ibu. “Biar gak diinjak dunia.”
Ayah mengangguk. “Tapi kadang perlu tahu kapan harus berhenti ngelawan.”
Aku duduk di lantai dekat mereka. Malam itu tidak ada TV menyala. Hanya suara jangkrik dan suara perut Bima yang kelaparan minta makan kedua.
Aku membuka laptop dan mulai menulis—bukan surat, tapi catatan panjang. Aku ingin suatu saat Ibu bisa membacanya. Judulnya: *“Yang Tak Pernah Kamu Ceritakan Tapi Aku Bisa Rasakan.”*
Di dalamnya, kutulis tentang rasa takut Ibu yang dulu kusebut keras kepala. Tentang betapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk menyembunyikan trauma. Dan tentang bagaimana aku, sebagai anak, butuh belajar menerima bahwa orang tuaku juga manusia—bukan pelindung abadi tanpa luka.
Paginya, aku mencetak tulisan itu dan menyelipkannya di rak buku dapur, di antara resep sayur asem dan cara bikin pastel isi bihun.
Ibu tidak langsung menemukan. Tapi aku yakin, suatu hari nanti dia akan baca.
Dan ketika hari itu tiba, aku harap dia tahu: kami tidak butuh Ibu jadi sempurna. Kami hanya ingin dia jadi utuh—apa adanya.
Beberapa hari kemudian, aku menemukan Ibu berdiri lama di depan rak buku dapur. Ia memegang kertas yang kutulis. Tidak berkata apa-apa. Tapi ketika matanya bertemu mataku, ia hanya mengangguk pelan.
“Bacanya pelan-pelan,” katanya.
Aku tahu ia sedang berkata terima kasih, dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang saling memaafkan diam-diam.
Sejak itu, Ibu mulai berubah sedikit demi sedikit. Bukan jadi pribadi baru, bukan juga sepenuhnya sembuh dari ketakutan, tapi ia mulai jujur dengan dirinya sendiri.
Setiap kali kontrol ke rumah sakit, ia tidak lagi mengeluh. Ia tetap membawa minyak kayu putih dan permen jahe, tapi juga membawa senyum, meski kecil.
Ayah mendampingi setiap kali bisa. Ia masih membawa catatan kecil dan suka bertanya hal-hal yang membuat dokter tersenyum bingung. Tapi Ibu kini tidak marah. Ia menggoda Ayah dengan julukan “Detektif Medis,” dan Ayah menyambutnya dengan bangga.
Di rumah, mereka mulai membuka kembali album-album foto lama. Foto pernikahan yang warnanya mulai pudar, foto waktu aku dan Bima masih kecil dan belepotan bubur.
Suatu malam, Ibu menunjuk foto dirinya saat muda, sedang menggendongku di ruang tunggu rumah sakit.
“Kamu tahu? Di foto itu, aku baru saja menangis. Karena kamu demam, dan aku gak tahu harus gimana. Tapi aku pura-pura kuat.”
Aku menatap foto itu lama. “Kalau sekarang gimana?”
Ibu tertawa kecil. “Sekarang? Aku juga masih takut. Tapi bedanya, aku gak pura-pura lagi.”
Malam itu, kami berempat duduk di ruang tengah tanpa suara TV, hanya ditemani lampu temaram dan suara jangkrik dari luar.
Kami tidak bicara banyak. Tapi kami saling hadir. Dalam keheningan itu, kami mulai berdamai dengan luka-luka lama. Bukan karena luka itu hilang, tapi karena kami tidak lagi menyembunyikannya.
Aku tahu perjalanan ini masih panjang. Masih ada hari di mana Ibu mungkin merasa takut lagi, Ayah keras kepala lagi, dan aku kembali frustrasi.
Tapi sekarang, kami sudah tahu cara kembali. Kembali saling dengar. Kembali saling peluk. Dan yang paling penting—kembali saling percaya.
Dan di malam yang sunyi itu, aku kembali menulis satu kalimat di catatanku:
*“Setiap keluarga menyimpan luka. Tapi yang membedakan mereka hanyalah: apakah luka itu dikubur dalam diam, atau dibagikan dalam cinta.”*
Keesokan harinya, Ibu memintaku menemaninya ke pasar tradisional. Sudah lama dia tidak ke sana. Aku mengira dia hanya ingin belanja. Tapi ternyata lebih dari itu.
“Dulu, sebelum Nenek meninggal, aku sering ke pasar sama dia,” ujar Ibu saat kami menyusuri gang sempit penuh aroma ikan asin dan daun pisang.
Ia berhenti di kios rempah dan menunjuk tumpukan lengkuas. “Nenek suka beli yang besar-besar. Katanya biar rasa masakannya nggak malu-malu.”
Aku tertawa kecil. “Masakannya Ibu juga gak malu-malu. Kadang malah berani banget.”
Ibu ikut tertawa. Tapi ada nada haru dalam suaranya.
Kami belanja banyak hari itu. Lebih banyak dari biasanya. Seolah Ibu sedang merayakan sesuatu—mungkin keberaniannya sendiri.
Sore harinya, dapur rumah kami penuh aroma tumisan dan tawa. Ibu memasak, Ayah mencicipi, Bima memotong bawang sambil mengeluh pedas.
“Ini keluarga atau kru dapur restoran?” gumamku sambil mencatat bahan masakan.
“Ayah bagian QC,” kata Ayah sambil mencomot tempe goreng.
“Kalau begitu, aku bagian dokumentasi,” Bima mengangkat kamera HP-nya. “Episode spesial: Koki dengan Luka yang Disembuhkan Rasa.”
Ibu tidak marah. Ia hanya mengusap matanya yang berair, entah karena bawang atau karena lega.
Malam itu, kami makan bersama. Tidak ada topik berat, tidak ada sindiran. Hanya percakapan ringan yang diisi dengan lelucon, cerita masa kecil, dan impian kecil masa depan.
Aku memandang mereka satu per satu, dan merasa… damai.
Setelah selesai makan, aku duduk sendiri di halaman. Langit malam cerah, bintang-bintang seperti menonton kami dari atas.
Aku membuka catatanku untuk terakhir kali malam itu, dan menulis:
*“Luka yang paling sulit disembuhkan adalah yang tidak pernah dibicarakan. Tapi hari ini, kami mulai bicara. Dan meski pelan, kata-kata itu mulai menjadi obat.”*
Aku menutup buku, menarik napas panjang, dan tahu:
Babak baru telah dimulai—dengan luka yang diakui, cinta yang dibagikan, dan keberanian yang diwariskan.
Malam harinya, kami makan malam sederhana. Sup ayam buatan Ayah, yang rasanya masih jauh dari resep Ibu, tapi kali ini tidak ada yang mengeluh. Semua diam, tapi damai.
Bima mengambil dua sendok nasi dan menatap Ibu. “Kalau Ibu udah sembuh nanti, boleh gak aku minta masakin opor ayam tiap Jumat malam?”
Ibu tertawa kecil. “Kamu pikir ini rumah makan?”
“Lebih dari rumah makan,” jawab Bima cepat. “Ini rumah yang bikin orang mau sehat supaya bisa makan bareng.”
Ayah menepuk bahu Bima, lalu memandangku. “Besok kita rapikan kamar atas. Ayah mau taruh alat olahraga ringan. Mulai sekarang, kita jaga kesehatan bareng-bareng.”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ada perasaan baru di dalam dada. Bukan lega, bukan bahagia, tapi sesuatu yang lebih dalam. Rasa bahwa kami sedang tumbuh. Bersama-sama.
Malam itu, Ibu menutup pintu kamar lebih pelan dari biasanya. Sebelum tidur, ia mengucap doa yang bisa kudengar samar.
Dan aku tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, doa itu tidak hanya tentang bertahan.
Tapi tentang sembuh.
Aku membuka buku catatanku dan menulis satu kalimat lagi:
“Kadang, untuk bisa sembuh, yang dibutuhkan bukan dokter atau obat paling hebat. Tapi keberanian untuk berkata, ‘Aku takut.’ Dan seseorang yang menjawab, ‘Aku tahu. Tapi aku di sini.”
Dan di luar kamar, aku mendengar suara langkah Ayah menuju gudang kecil di belakang. Tempat ia menyimpan kenangan dan ketakutannya sendiri.
Besok, aku akan mengajaknya bicara. Bukan sebagai anak, tapi sebagai manusia yang juga pernah takut kehilangan.
Karena aku tahu, giliran Ayah yang harus mengurai luka lamanya.
Dan cerita kami belum selesai.
Pagi-pagi sekali, aku mendengar suara berisik dari gudang kecil di belakang rumah. Suara barang jatuh, pintu lemari dibuka, dan batuk tertahan Ayah yang sudah menjadi bagian dari alarm harian kami.
Aku menghampiri pelan. Ayah sedang duduk di lantai gudang, membuka kotak-kotak lama. Di sebelahnya ada tumpukan kaset lawas, jaket lusuh, dan sebuah foto tua yang sudah mulai memudar.
Aku berdiri di ambang pintu, tidak langsung bicara.
“Ini kamar perangku,” kata Ayah, suaranya pelan tapi padat. “Tempat Ayah lari setiap kali dunia di luar terlalu berisik.”
Aku duduk di dekatnya. Tidak dekat sekali, cukup memberi ruang. Ia mengulurkan foto itu padaku. Foto dua remaja laki-laki sedang berdiri di depan bengkel motor, salah satunya adalah Ayah. Satunya lagi… aku tahu itu pasti Om Haris.
“Waktu Haris meninggal, Ayah gak sempat ngomong apa-apa. Kami sempat ribut. Masalah bodoh. Motor dipinjam, bensin gak diisi. Ayah marah, dia juga.”
Aku menatap foto itu lama.
“Kemudian dia kecelakaan. Malam itu juga. Ayah tahu kabarnya dari tetangga, bukan dari keluarga sendiri.”
Suara Ayah bergetar. “Ayah datang ke rumah sakit, tapi cuma bisa lihat jenazahnya. Setelah itu, Ayah gak pernah lagi masuk rumah sakit. Bahkan waktu Ayah sakit maag parah. Karena tiap masuk, rasanya kayak dosa lama datang lagi.”
Aku menunduk.
“Ayah gak bisa marah ke siapa-siapa. Cuma bisa marah ke diri sendiri. Tapi karena gak tahu caranya maafkan diri, Ayah jadi ngeluarin semua itu ke orang lain.”
“Aku, Ibu…”
“Termasuk kalian,” potong Ayah cepat.
Kami terdiam. Hanya suara tikus kecil yang lari di sudut gudang.
“Ayah sebenarnya gak anti rumah sakit. Ayah cuma takut. Takut kalau masuk ke sana lagi, Ayah akan diingatkan pada semua hal yang tidak Ayah perbaiki.”
Aku menatapnya. “Tapi Ayah sudah mulai, kan? Waktu Ibu ke rumah sakit. Ayah datang, Ayah dengerin dokter…”
Ayah tersenyum kecil. “Itu karena kamu keras kepala. Dan Ayah gak mau kamu tumbuh jadi seperti Ayah—laki-laki yang lari dari hal-hal penting.”
Aku merasa mataku memanas. Aku ingin marah, ingin bilang semua ini harusnya Ayah katakan sejak dulu. Tapi aku juga tahu, beberapa luka butuh waktu untuk diurai. Kadang seumur hidup.
Aku menggenggam lututku. “Yah, aku gak pernah minta Ayah jadi sempurna. Aku cuma pengen Ayah jadi nyata. Yang jujur. Yang hadir.”
Ayah menatapku, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa kami bicara sebagai dua manusia. Bukan ayah dan anak. Tapi dua orang yang pernah kehilangan, dan sedang belajar tidak kehilangan lagi.
Ia berdiri pelan, membersihkan tangannya dari debu.
“Kamu punya waktu nanti sore?” tanyanya.
“Kenapa?”
“Ayah mau kamu temani ke makam Haris.”
Aku tersenyum. “Tentu.”
Dan di dalam gudang itu, tempat yang selama ini menyimpan kenangan dan kesedihan, sebuah pintu kecil terbuka. Pintu yang sudah lama terkunci oleh rasa bersalah dan diam berkepanjangan.
Dan aku tahu, perjalanan kami menuju sembuh baru saja dimulai lagi.
Sore itu, Ayah mengenakan kemeja batik lengan pendek yang sudah agak longgar. Ia menyisir rambut dengan telapak tangan, lalu bertanya padaku, “Kalau aku nangis di sana, kamu jangan rekam-rekam ya.”
Aku nyengir. “Paling aku tulis di cerita.”
Kami berangkat berdua naik motor tua Ayah. Motor yang dulu sering dia pakai antar-jemput aku dan Bima sekolah. Motor yang juga pernah dipakai Haris, sebelum pertengkaran terakhir mereka.
Sepanjang perjalanan ke makam, Ayah banyak diam. Tapi tangannya menggenggam erat setang, seperti menahan sesuatu agar tidak pecah di tengah jalan.
Sesampainya di sana, makam Haris terletak di pojok, dekat pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran. Kami berdiri di depan nisan tanpa kata-kata selama beberapa menit.
“Ayah baru ke sini dua kali sejak Haris meninggal,” katanya akhirnya. “Pertama waktu pemakaman. Kedua, sekarang.”
Aku menatap nisan itu, sederhana dan mulai pudar. Ayah duduk di batu kecil dekat pusara, lalu membuka buku kecil dari sakunya.
“Ayah tulis sesuatu. Dulu. Tapi gak pernah dibaca ke siapa-siapa.”
Ia membuka lembarannya. Suaranya serak.
“Haris, maaf. Kalau kamu bisa dengar ini… maaf karena marah soal motor. Maaf karena gak bilang bahwa Ayah bangga sama kamu, meskipun kita sering bentrok. Maaf karena Ayah cuma tunjukkan sayang lewat omelan. Ayah gak tahu caranya sayang yang lembut.”
Aku tak tahan. Aku berpaling sejenak, pura-pura memeriksa semak. Tapi air mata sudah menggenang.
Ayah menutup bukunya. “Sekarang Ayah paham. Jadi ayah itu bukan soal tegas atau disiplin doang. Tapi soal hadir. Bahkan kalau terlambat.”
Kami duduk cukup lama di sana. Angin sore berhembus pelan. Ayah tidak bicara lagi, hanya sesekali mengusap matanya yang berkaca.
Saat kami kembali ke motor, Ayah berkata pelan, “Makasih udah temenin.”
“Setiap saat, Yah,” jawabku. “Kalau Ayah siap cerita lebih banyak, aku siap dengar.”
Dan aku sungguh-sungguh. Karena saat itu aku sadar, Ayah bukan sosok kuat yang tak tergoyahkan. Dia hanyalah pria yang kehilangan terlalu dini, terlalu sering, dan tidak tahu harus meletakkan rasa sakitnya di mana.
Malamnya di rumah, Ayah duduk lebih lama di ruang tamu. Tidak dengan ponsel, tidak dengan ceramah, tapi dengan foto Haris yang kini sudah ia bingkai dan letakkan di rak.
Ibu menatap foto itu dan tersenyum. “Akhirnya dikeluarin juga.”
Ayah mengangguk. “Sudah saatnya dia jadi bagian dari rumah lagi.”
Kami duduk bersama, menonton berita yang tidak kami pahami, makan kacang goreng, dan tertawa kecil. Tapi kali ini, tanpa beban. Tanpa luka yang ditutup-tutupi.
Dan di tengah malam, aku kembali menulis:
*“Kadang, orang paling keras yang kita kenal bukan karena mereka tidak punya hati. Tapi karena mereka terlalu lama menjaga hati yang patah, dan tak tahu harus memperbaikinya bagaimana.”*
Besok pagi, Ayah bilang ia ingin ikut kontrol Ibu. Tidak untuk bertanya soal obat. Tapi untuk duduk, menunggu, dan menemani.
Itu, untuk kami, adalah bentuk cinta yang baru.
Beberapa hari setelah kunjungan ke makam Haris, aku mulai melihat Ayah dengan cara yang berbeda. Dulu aku sering mengira ia tidak peduli, tidak peka, tidak hadir. Tapi sekarang aku tahu, Ayah hadir dengan caranya sendiri—caranya yang kaku, kikuk, tapi terus mencoba.
Pagi itu, Ayah masuk ke kamarku sambil membawa dua gelas kopi.
“Dulu, waktu kamu kecil, kamu pernah tanya, kenapa Ayah gak pernah peluk kamu,” katanya tanpa aba-aba.
Aku kaget, tapi tidak bicara.
“Ayah gak jawab waktu itu. Tapi sekarang Ayah bisa bilang… karena Ayah gak ngerti gimana caranya peluk anak laki-laki tanpa merasa lemah.”
Aku mengambil kopi itu pelan. “Tapi Ayah tahu sekarang?”
Ayah mengangguk. “Sekarang Ayah tahu, pelukan itu bukan soal lemah atau kuat. Tapi soal hadir.”
Kami diam cukup lama. Dan tanpa banyak kata, Ayah merentangkan tangan, dan aku berdiri.
Kami berpelukan.
Singkat. Canggung. Tapi cukup.
Hari itu Ayah ikut ke rumah sakit bersama Ibu. Di ruang tunggu, ia tidak banyak bertanya seperti dulu. Ia hanya duduk di samping Ibu, menggenggam tangannya pelan. Kadang ia menepuk-nepuk tangan itu, seolah berkata: aku di sini, kamu gak sendiri.
Ibu menatapnya, mata lembut tapi sedikit geli. “Sekarang jadi romantis, nih?”
Ayah mengangkat alis. “Katanya cinta itu tindakan, bukan puisi.”
Bima, yang duduk di dekat vending machine, tertawa. “Tapi kalau Ayah bikin puisi, judulnya pasti ‘Aku, Kamu, dan Nebulizer’.”
Kami semua tertawa.
Dan sore itu, kami pulang dari rumah sakit dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Seperti langit setelah hujan deras—masih mendung, tapi menyimpan sinar.
Di rumah, Ayah meletakkan satu lembar kertas di meja makan. Isinya: daftar hal yang ingin ia lakukan sebelum usianya 70.
“Poin satu: ngajak kalian semua liburan, naik kereta,” katanya.
“Poin dua?” tanya Ibu.
“Nulis surat untuk Haris, dan bacain di ulang tahunnya tahun depan.”
“Dan tiga?” tanya Bima.
Ayah menatap kami satu per satu. “Tiga: jadi lebih terbuka. Supaya gak ada anak Ayah yang tumbuh mikir bapaknya robot.”
Aku menahan air mata, tertawa sekaligus terharu.
Dan malam itu, kami makan malam tanpa televisi. Hanya suara sendok, tawa, dan cerita yang berseliweran dari sudut ke sudut meja.
Sebelum tidur, aku menulis kalimat terakhir hari itu:
*“Ayahku tidak sempurna. Tapi hari ini, dia menjadi lelaki paling berani di dunia. Karena dia mengakui ketakutannya. Dan dari situlah semua keberanian lahir.”*
Besok pagi, Ayah bilang dia mau masak sarapan. Aku tidak berharap banyak soal rasa.
Tapi untuk pertama kalinya, aku percaya… rasanya pasti penuh cinta.
Dan mungkin, di tengah dapur itu nanti, cerita baru kami akan dimulai.
Esok paginya, seperti yang ia janjikan, Ayah sudah di dapur sebelum siapa pun bangun. Aku mengintip dari pintu kamar, melihat punggungnya yang sibuk mengocok telur, membuka kulkas, membolak-balik roti.
“Jangan harap ada keajaiban,” katanya tanpa menoleh. “Tapi kamu bisa nyebut ini sarapan.”
Ibu datang dengan wajah setengah bangun. “Ayah bikin roti bakar?”
Ayah mengangguk. “Roti bakar rasa minta maaf.”
Kami tertawa kecil.
Bima datang paling akhir, lalu langsung duduk di meja makan. “Kalau gitu kopi Ayah harus rasa rindu,” katanya.
Sarapan pagi itu bukan hanya soal makanan. Tapi tentang momen. Tentang waktu yang dulu hilang dan kini perlahan-lahan dikembalikan. Bukan dengan keajaiban besar, tapi dengan niat yang terus-menerus dibangun dari hal kecil.
Ayah duduk dan memandang kami semua.
“Dulu Ayah pikir, jadi kepala keluarga itu harus keras. Harus bisa segalanya. Tapi ternyata... yang dibutuhkan cuma satu: jangan pergi waktu dibutuhkan.”
Ia memandang Ibu lama. “Dan jangan diam saat yang kamu sayangi sedang berjuang sendirian.”
Ibu mengangguk. Tidak ada air mata. Hanya tatapan yang dalam.
Bima mengambil roti kedua. “Kalau gitu aku lulus jadi anak? Udah cukup sabar, belum?”
“Kamu lulus jadi manajer logistik,” kata Ibu.
“Aku lulus jadi anak yang bisa dengerin,” kataku pelan.
Ayah menepuk pundakku. “Kamu lulus jadi penulis keluarga.”
Dan saat itu, aku sadar: luka-luka yang dulu kami simpan, perlahan berubah jadi cerita. Cerita yang kami bagi, bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk mengingatkan bahwa kami bisa sembuh. Bersama.
Aku kembali menulis malam itu:
*“Hari ini, sarapan kami sederhana. Tapi dari meja makan itu, kami belajar cara baru untuk saling hadir. Tanpa bentakan. Tanpa beban. Hanya hati yang akhirnya mau duduk dan saling bicara.”*
Dan ketika aku menutup buku harian, aku tahu, Bab 5 dalam hidup kami akan segera dimulai.
Bukan tanpa rintangan. Tapi kali ini, kami akan melaluinya bersama.
Malam itu, aku membuka lemari tempat kami menyimpan buku dan foto lama. Di pojok, ada album keluarga yang dulu jarang disentuh. Aku membawanya ke ruang tamu, dan kami semua duduk melingkar, membuka lembar demi lembar.
Foto-foto lawas berhamburan: Ayah muda naik sepeda motor, Ibu mengenakan baju pesta warna biru yang katanya dulu pinjaman dari tetangga, aku dan Bima kecil dengan gigi ompong dan kacamata terlalu besar.
Di halaman terakhir, ada satu foto yang membuat semua hening. Foto Haris, berdiri di samping Ayah, tangan mereka saling menggenggam, wajah keduanya tertawa.
Ibu menatap foto itu lama. “Dia mirip kamu ya, Dit. Waktu kamu senyum lebar.”
Aku mengangguk. “Tapi dia lebih berani. Dia pernah bilang ke Ayah bahwa keluarga itu tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri.”
Ayah tertawa kecil. “Dulu Ayah marah. Tapi sekarang Ayah tahu, dia benar.”
Foto itu kami bingkai dan gantung di ruang tamu, di antara lukisan murah dan kalender pasar.
Pagi berikutnya, Ayah menempel catatan kecil di kulkas. Isinya cuma dua baris:
*“Kalau kamu merasa marah, ingat: kadang yang kita lawan adalah kenangan sendiri.”
“Dan keluarga bukan tempat untuk menang. Tapi tempat untuk pulang.”*
Ketika aku membaca itu, aku tahu: Ayah yang dulu keras kepala, kini belajar melembut. Tidak dengan paksaan, tapi dengan keberanian yang tumbuh pelan-pelan—karena cinta.
Dan saat aku menulis catatan terakhir malam itu, aku tersenyum:
*“Lelaki itu tak berubah karena disuruh. Tapi karena ia tahu, ada orang yang tetap tinggal walau dia terlambat berubah.”*
Beberapa hari kemudian, Ayah mulai menulis jurnal kecil di buku saku. Ia bilang itu bukan buku harian, tapi ‘buku pengingat kesalahan dan perbaikan’. Setiap pagi ia tulis satu hal yang ia sesali, dan satu hal yang ia syukuri.
“Kenapa harus dua-duanya?” tanyaku.
“Supaya aku gak lupa, bahwa hidup itu bukan cuma soal belajar dari masa lalu, tapi juga soal melangkah dengan syukur.”
Satu pagi, aku melihat catatannya:
*Menyesal: Pernah membungkam anak-anak saat mereka hanya ingin didengar.*
*Bersyukur: Hari ini aku bangun, dan mereka masih mau duduk di meja makan bersamaku.*
Dan saat aku membacanya, tak ada yang bisa kutambahkan.
Karena aku tahu: lelaki yang pernah menutup diri rapat-rapat itu, kini sedang membuka jendela kecil di dalam hatinya dan membiarkan angin kejujuran masuk perlahan.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Bukan karena suara batuk Ibu—itu sudah mulai jarang. Bukan karena suara TV Ayah atau ketawa Bima yang kadang meledak mendadak karena video lucu. Tapi karena ada sesuatu yang tak bisa kutunjuk letaknya—semacam lubang kecil dalam diriku, yang pelan-pelan terasa semakin dalam.
Aku duduk di meja belajar, menatap layar laptop yang kosong. Aku ingin menulis sesuatu, tapi tak tahu mulai dari mana. Cerita keluarga ini, yang selama ini kutulis sambil lalu, kini terasa berat. Terlalu nyata. Terlalu dekat. Kadang aku merasa seperti narator di luar cerita, tapi di saat yang sama, aku adalah tokoh utamanya—yang kelelahan.
Sejak Ibu mulai sakit dan Ayah mulai membuka diri, hidup kami seperti roller coaster. Ada tawa, ada air mata, ada pertengkaran, ada pelukan. Tapi aku belum pernah bilang satu hal ke siapa pun:
Aku capek.
Capek jadi penengah. Capek jadi orang yang harus dewasa lebih cepat. Capek pura-pura kuat di rumah yang selalu menuntutku jadi jangkar, padahal kadang aku pun ingin hanyut.
Aku menulis di jendela yang berembun:
*Siapa yang jaga penopang, kalau penopangnya retak?*
Lalu aku menertawakan diriku sendiri. Terlalu melodramatis, bahkan buat standar film indie.
Keesokan harinya, aku bangun dengan mata bengkak. Tapi tak ada yang bertanya. Ibu sedang fokus minum obat. Ayah sedang menyapu halaman. Bima sedang mengedit vlog ‘Keluarga Tanpa Filter’-nya. Aku menyelinap ke kamar mandi, mencuci muka, dan memantapkan senyum palsu di depan cermin.
Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi aku merasa seperti hantu—ada, tapi tak terlihat.
Malamnya, aku menulis surat. Surat yang tidak akan kukirim ke siapa pun. Tapi perlu kutulis, supaya aku tidak meledak dari dalam.
*“Buat yang mungkin pernah merasa seperti aku:
Kalau kamu lelah, itu bukan tanda kamu gagal. Itu tanda kamu sudah terlalu lama memikul yang tak dibagi.
Kalau kamu ingin marah, itu bukan tanda kamu tidak sayang. Tapi tanda kamu butuh dipeluk, tanpa perlu diminta.”*
Aku menutup surat itu, menyelipkannya di antara buku harian. Lalu, seperti biasa, aku tidur dalam sunyi yang panjang.
Tapi malam itu, ada ketukan pelan di pintu.
Bima.
“Lo gak tidur?” tanyanya.
Aku geleng. “Gak ngantuk.”
“Gue mau pinjam colokan charger,” katanya, tapi aku tahu itu bukan alasan sebenarnya.
Dia duduk di lantai kamarku, lalu berkata pelan, “Gue tahu lo capek, Dit. Gue gak bodoh.”
Aku menoleh pelan. Bima jarang bicara serius.
“Gue gak tahu cara bantu lo. Tapi gue di sini. Gak banyak, tapi nyata.”
Aku mengangguk. Air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya mengalir pelan. Bima pura-pura gak lihat. Ia nyalakan HP dan memutar lagu lama yang sering kami dengar waktu kecil. Lagu tentang rumah. Tentang pulang. Tentang tempat yang meski kacau, tetap ingin kita jaga.
Malam itu, kami tidur berdua di lantai. Tanpa banyak bicara. Tapi aku tahu, jurang yang kurasa semakin dalam, kini mulai terisi pelan-pelan. Dengan kehadiran. Dengan penerimaan.
Dan besok pagi, aku akan bangun dengan luka yang sama. Tapi dengan semangat baru.
Karena aku tahu, aku tidak sendiri di tengah jurang ini.
Pagi itu, ketika aku turun ke dapur, Ibu sedang membuatkan teh untuk Ayah. Tidak banyak yang berbeda. Tapi aku memperhatikan bahwa caranya mengaduk teh hari ini sedikit lebih pelan. Seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin sedang mengingat seseorang.
“Ada yang aneh?” tanyanya saat melihatku menatap terlalu lama.
“Nggak,” jawabku. “Cuma… Ibu kelihatan lebih tenang hari ini.”
Ibu tersenyum. “Mungkin karena semalam tidur nyenyak. Atau karena tahu, kalian semua di rumah.”
Aku duduk. “Ibu tahu gak, kadang aku iri sama Ibu dan Ayah?”
Ibu terdiam sejenak. “Iri gimana?”
“Karena kalian tahu peran kalian. Ibu jadi pusat. Ayah jadi pelindung. Bima si tukang lawak. Aku? Aku gak tahu siapa aku di rumah ini, selain penengah konflik yang gak dibayar.”
Ibu mendekat, duduk di sebelahku. “Dito… kamu itu jembatan. Yang menyambung semua ujung-ujung retak ini. Tanpa kamu, kita semua mungkin sudah berpisah arah sejak lama.”
“Tapi jembatan juga bisa ambruk, Bu. Kalau terus dilalui tanpa dijaga.”
Ibu menggenggam tanganku. “Makanya sekarang, giliran kami yang jaga kamu.”
Aku nyaris menangis. Tapi suara panci rebusan mengalihkan perhatian kami.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Ayah menyuruhku tidur siang. “Biar gantian. Kamu yang jaga Ibu pagi tadi.”
Aku tertawa. “Ayah gak takut rumah berantakan kalau aku tidur?”
“Justru itu. Kalau kamu rebahan, rumah terasa seimbang.”
Aku tidur siang. Benar-benar tidur siang. Rasanya seperti hadiah kecil yang datang setelah marathon panjang. Dan ketika bangun, aku merasa tubuhku sedikit lebih ringan. Beban itu belum hilang, tapi sudah mulai bisa dibagi.
Sore harinya, Bima mengajakku ke warung. “Mau beli gorengan,” katanya.
Di perjalanan, ia menceritakan tentang tugas sekolah yang sempat ia tinggalkan demi bantu jaga Ibu. “Tapi ternyata aku bisa ngejar. Guruku bilang, ‘Keluarga kadang lebih penting dari nilai.’ Itu pertama kalinya dia ngomong masuk akal.”
Aku tertawa.
Bima lalu berkata pelan, “Kita ini kayak kru kapal yang tadinya mau tenggelam, tapi akhirnya bisa dayung bareng lagi. Meskipun airnya masih masuk ke kapal sedikit-sedikit.”
“Kita belum sampai pelabuhan.”
“Tapi udah gak muter-muter lagi.”
Saat kami kembali ke rumah, matahari sudah condong ke barat. Ibu dan Ayah duduk di teras, berbagi bantal punggung. Mereka tidak bicara, tapi saling bersandar.
Aku berdiri sebentar, memperhatikan mereka dari jauh.
Dan di momen itu, aku tahu: rumah ini tidak sembuh dalam semalam. Tapi setiap hari, ia memperbaiki dirinya sedikit demi sedikit—lewat tawa, lewat teh manis, lewat permintaan maaf yang tak selalu diucap.
Malam itu, aku menulis lagi:
*“Aku tidak lagi hanya berdiri di tengah jurang. Sekarang aku tahu, kami semua sedang membangun jembatan kecil—dengan kayu-kayu rapuh, tapi niat yang kuat.”*
Minggu pagi datang seperti biasanya—matahari pelan-pelan menyusup dari sela tirai, dan aroma nasi goreng dari dapur membangunkan siapa pun yang masih enggan membuka mata. Tapi hari ini berbeda. Ayah memasak sambil menyanyi.
“Tumben,” kataku sambil duduk di meja makan.
Ayah tersenyum. “Lagu lama, supaya nasi gorengnya gak bosan.”
Ibu tertawa pelan sambil mengoleskan mentega ke roti bakar. “Makanan gak bisa bosan, Yah. Manusia bisa.”
“Kalau begitu, kita nyanyi biar gak bosan hidup.”
Bima muncul dengan rambut kusut dan bantal bekas tidur masih menempel di pipi. “Kenapa pagi ini kayak film musikal?”
Aku menatap ketiganya dan tiba-tiba merasa… hangat. Bukan karena teh panas yang sedang kuteguk, tapi karena aku melihat rumah ini hidup. Benar-benar hidup. Dengan keanehannya, kelucuan yang kadang tidak sengaja, dan cinta yang diam-diam tapi tak pernah benar-benar hilang.
Setelah sarapan, kami membersihkan rumah bersama. Aku menyapu, Bima mengepel, Ayah mengganti filter kipas angin, dan Ibu membereskan rak obat. Tidak ada perintah. Semua bergerak seirama. Dan dalam kesibukan itu, aku merasa seperti kembali ke masa kecil—saat tugas rumah jadi alasan untuk main air, dan marah-marah jadi bahan lelucon setelahnya.
Sore itu, aku mengajak keluarga duduk di ruang tengah. Aku membaca satu paragraf dari tulisanku:
*“Menjadi bagian dari keluarga ini bukan tugas yang mudah. Tapi bukan pula beban yang harus kucampakkan. Ini adalah perjalanan yang tidak diminta, tapi kucintai. Dengan segala jerit, tangis, tawa, dan jeda yang kadang terlalu panjang. Tapi aku di sini. Karena aku ingin. Karena aku masih percaya.”*
Tidak ada yang bicara selama beberapa saat. Lalu Ibu mengusap mataku yang mulai berkaca. “Kami juga percaya sama kamu, Dit.”
Bima memukul pundakku pelan. “Kalau kamu capek, gantian ya. Aku juga bisa jaga mereka.”
Ayah tersenyum, memegang tangan Ibu. “Dan kalau kamu hilang arah, rumah ini akan tetap jadi tempatmu pulang.”
Kami duduk lama malam itu, berbagi mimpi kecil: liburan naik kereta, buka warung keluarga, atau sekadar masak bareng tiap akhir pekan.
Dan sebelum tidur, aku kembali menulis:
*“Dulu aku berdiri di tengah jurang. Kini aku berdiri di antara tangan-tangan yang saling menggenggam. Masih goyah. Tapi tak lagi sendiri. Dan itu cukup untuk mulai melangkah.”*
Malam berikutnya, aku duduk di balkon. Angin sedikit dingin, tapi menenangkan. Dari sini, aku bisa melihat cahaya lampu dari rumah-rumah tetangga. Beberapa tampak hangat. Beberapa gelap. Seperti hidup itu sendiri.
Ayah datang membawakan selimut kecil. “Jangan sakit. Kamu satu-satunya navigator kami sekarang.”
Aku menggeleng pelan. “Aku gak mau jadi satu-satunya. Aku mau kita semua jadi kru.”
Ayah duduk di sebelahku. “Kita sedang menuju ke sana.”
Kami duduk lama, hanya menatap langit. Tidak bicara, tapi saling tahu isi kepala masing-masing.
“Kalau kamu bisa ulang satu momen keluarga kita, yang mana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir. “Momen kita berempat tidur bareng waktu mati lampu. Tanpa listrik. Tanpa HP. Tapi paling bahagia.”
Ayah mengangguk. “Aku juga.”
Esok harinya, aku ke kamar Bima dan menemukan dia sedang menggambar komik kecil. “Ini kita,” katanya. “Keluarga yang gak sempurna, tapi pantes dijadiin cerita.”
Gambarnya lucu. Aku terlihat tinggi dan kaku. Ibu pegang termos. Ayah bawa buku doa. Bima pegang kucing. Dan ada judul di atasnya:
**“Tim Rumah Tangga: Edisi Pulih Bersama”**
Aku tertawa, lalu memeluk Bima. Lama. Karena kadang, pelukan itu satu-satunya bahasa yang cukup.
Dan malam itu, sebelum tidur, aku menulis satu paragraf terakhir untuk hari ini:
*“Tuhan tidak menjanjikan keluarga yang sempurna. Tapi Ia mungkin memberikan kita satu rumah kecil, di mana kita belajar mencintai orang-orang yang penuh luka, tapi terus bertahan. Dan kalau itu bukan mukjizat, aku tak tahu lagi apa.”*
Keesokan harinya, aku mengajak Ibu jalan-jalan pagi keliling kompleks. Bukan olahraga berat—sekadar berjalan pelan, menyapa tetangga, menikmati udara pagi.
Ibu awalnya menolak. “Takut masuk angin,” katanya. Tapi aku meyakinkan dengan senyum dan sebotol minyak kayu putih di saku.
Kami berjalan berdua, pelan, di trotoar sempit yang dipenuhi pohon mangga milik warga. Ibu bercerita tentang masa mudanya—tentang sepeda ontel miliknya yang dulu pernah dicuri, dan bagaimana ia mengejar si pencuri pakai sandal jepit sambil teriak, “Itu bukan takdir, itu maling!”
Aku tertawa sampai sakit perut. Ibu ikut tertawa sampai matanya berair.
“Dulu Ibu sering takut kalau kami gak bahagia,” katanya. “Makanya Ibu keras. Ibu pikir, disiplin bisa jamin masa depan.”
“Sekarang?” tanyaku.
“Sekarang Ibu tahu, yang paling penting itu bukan masa depan… tapi siapa yang masih mau duduk bareng kita di masa depan itu.”
Kami berhenti sebentar di bangku taman kecil. Aku membukakan air minum untuknya.
“Dito,” kata Ibu pelan, “kalau suatu saat Ibu gak ada, kamu jangan terus nahan semua sendirian ya.”
Aku menoleh, menatap matanya yang jujur dan terbuka.
“Jangan ngomong gitu, Bu.”
Ibu tersenyum. “Semua orang bakal pergi. Tapi yang penting, waktu masih ada, kita hadir. Kita nyata.”
Aku menggenggam tangannya.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa seluruh kelelahan yang kutulis malam-malam lalu… berubah jadi kekuatan. Karena ternyata, aku tidak hanya diwarisi luka—tapi juga keberanian.
Saat kami kembali ke rumah, Ayah sedang menyiram tanaman. Bima sedang mengedit video baru. Semuanya seperti biasa. Tapi tidak lagi sama.
Karena sekarang aku tahu, aku tidak lagi berdiri di tengah jurang.
Aku berjalan di atas jembatan. Yang perlahan, sedang dibangun… oleh cinta.
Dan hari itu, aku menulis satu paragraf terakhir:
*“Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan seseorang yang merasa sendiri di tengah keluarganya… adalah ketika keluarga itu berhenti menjadi sekadar tempat tinggal. Dan mulai menjadi rumah.”*
Malam harinya, sebelum tidur, aku mengintip ke kamar Ayah dan Ibu. Lampu sudah mati, tapi terdengar suara bisikan pelan mereka. Mungkin tentang cucian yang belum dilipat, atau tentang mimpi yang belum sempat diceritakan.
Aku lalu ke kamar Bima. Ia tertidur dengan tablet menyala, masih memutar video editan terakhirnya. Judulnya: “Rumah Kecil yang Gak Pernah Sempurna Tapi Selalu Dicari.”
Aku senyum sendiri.
Di kamarku, aku duduk di meja tulis. Mengambil pena, bukan keyboard. Menulis di atas kertas putih bersih. Kalimat yang mungkin suatu hari akan kubagikan, atau kubacakan saat semua ini jadi kenangan:
*“Hari ini, aku tidak mencoba jadi kuat. Aku hanya mencoba jujur.
Bahwa mencintai keluarga itu berat. Tapi menyerah padanya jauh lebih menyakitkan.
Dan setiap kali aku hampir jatuh, ada tangan yang memegangku.
Mereka tidak selalu benar. Tapi mereka nyata. Dan itu cukup.”*
Lalu aku tutup bukuku, matikan lampu, dan tidur.
Besok, cerita akan berlanjut. Tapi malam ini, aku tahu:
Aku tidak lagi berdiri di tengah jurang.
Aku sudah melangkah ke seberangnya.
Meja makan kami bukanlah meja besar yang megah seperti di sinetron keluarga kaya. Panjangnya hanya satu meter setengah, dengan permukaan kayu yang mulai mengelupas di pinggir. Tapi entah kenapa, justru di atas meja sederhana itulah seluruh dinamika keluarga kami tersaji.
Di meja makan itulah Ibu biasa menyindir Ayah soal teh manis yang terlalu pahit. Di sanalah Ayah sering pura-pura tidak dengar saat Bima minta tambah uang jajan. Dan di sana jugalah aku, dengan segala upaya, mencoba menjaga agar semua tetap duduk dan tidak pergi.
Pagi itu, sarapan terasa lebih hening dari biasanya. Bukan karena kami sedang marah, tapi karena semua sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ibu mengaduk bubur tanpa selera. Ayah membaca koran sambil bersenandung pelan. Bima, seperti biasa, mencoba memancing komentar.
“Kalau meja ini bisa ngomong, kayaknya dia bakal nulis novel tragedi,” katanya.
Ibu menyeringai. “Bukan tragedi. Drama absurd.”
“Aku rasa komedi situasi,” timpalku.
Ayah melipat koran. “Semua tergantung siapa yang bikin skenarionya. Tuhan, kita, atau… grup WhatsApp keluarga besar.”
Kami tertawa, pelan. Tapi dari tawa itu, aku tahu: masih ada sisa ketegangan yang belum benar-benar reda.
Beberapa hari terakhir ini, kami terlalu sibuk mencoba sembuh. Tapi kami lupa, bahwa proses penyembuhan juga bisa melelahkan. Ada hari-hari di mana kami tak sempat bicara dari hati, karena terlalu sibuk mengurus obat, belanja, dan rutinitas.
Dan pagi itu, aku merasa seperti aktor yang lupa dialog—berdiri di tengah panggung, menunggu aba-aba yang tak kunjung datang.
“Dit, kamu bisa bantu Ibu ke warung?” tanya Ibu akhirnya.
Aku mengangguk.
Kami berjalan berdua tanpa banyak kata. Di tengah jalan, Ibu berkata, “Akhir-akhir ini kamu terlihat lelah.”
Aku menghela napas. “Mungkin karena semua berjalan terlalu cepat. Aku gak sempat berhenti.”
Ibu menggenggam tanganku, hal yang jarang ia lakukan. “Kalau kamu mau istirahat sebentar, gak apa-apa, Dit. Ibu ngerti.”
Aku menatapnya. “Tapi rumah ini rasanya gak bisa jalan kalau aku berhenti.”
Ibu tersenyum. “Dulu aku juga mikir gitu. Tapi ternyata, rumah itu jalan karena kita saling ganti peran. Hari ini kamu yang kuat. Besok, mungkin giliran kami.”
Aku menggenggam tangannya lebih erat.
Dan aku tahu, di atas meja makan kami yang kecil itu, ada satu hal besar yang sedang dibangun: pemahaman.
Dan dari situlah cerita ini akan terus bergulir.
Sore harinya, kami kembali duduk di meja makan. Kali ini bukan untuk makan, tapi untuk menata ulang rak bumbu yang sudah mulai berantakan. Entah ide siapa, tapi seperti biasa, Bima memanfaatkan momen itu untuk menciptakan "kompetisi" dadakan.
“Siapa yang paling cepat atur bumbu berdasarkan alfabet, dapat satu hari bebas tugas cuci piring!” katanya sambil mengangkat botol kecap manis.
“Aku protes!” seru Ayah. “Itu berat sebelah. Aku gak bisa bedain antara oregano dan oregano palsu.”
Ibu menimpali, “Kamu juga gak bisa bedain antara minyak goreng dan minyak rem.”
Aku nyaris tersedak tawa. Bahkan Riko si kucing ikut duduk di bawah meja, seolah menyimak.
Tapi seperti biasanya, tawa hanya bertahan sebentar. Begitu malam tiba, energi kami seperti menyusut. Meja makan menjadi tempat diam. Piring kosong tak segera diangkat. Dan topik pembicaraan tercecer begitu saja.
Aku memberanikan diri membuka topik yang sudah lama kutahan.
“Bu, Yah… apa kita ini benar-benar baik-baik saja?”
Ayah berhenti mengunyah. Ibu menatapku lama.
“Kita berusaha, Dit,” jawab Ayah. “Dan itu yang paling bisa kita lakukan sekarang.”
“Tapi rasanya kayak... kita semua jalan sendiri-sendiri. Saling jaga, iya. Tapi gak saling ngobrol. Kita kayak lagi main drama keluarga, tapi skripnya beda semua.”
Ibu meletakkan sendok. “Kamu ngerasa begitu?”
Aku mengangguk. “Aku cuma takut… kita terlalu sibuk memperbaiki rumah ini, sampai lupa duduk bareng.”
Tiba-tiba, suasana meja makan berubah.
Ayah menyandarkan tubuh. “Aku paham maksudmu. Kita kelelahan karena terus nyoba jadi kuat di depan yang lain.”
Ibu menambahkan, “Kita kelelahan karena nyimpen banyak hal sendiri-sendiri.”
Bima masuk ke ruangan membawa empat es krim. “Kalau gitu kita adakan forum makan malam terbuka. Siapa pun boleh jujur malam ini.”
Kami semua menatapnya.
“Serius,” katanya. “Ini bukan es krim biasa. Ini es krim perdamaian.”
Kami tertawa—tapi kali ini, tawa yang panjang. Lalu satu per satu kami mulai berbicara. Tentang rasa lelah, takut gagal, marah yang tak sempat diungkap, dan harapan-harapan kecil yang tidak pernah dikatakan.
Dan meja makan itu, yang selama ini hanya jadi tempat rutinitas, berubah menjadi ruang pengakuan. Ruang terapi. Ruang tempat kami mulai saling dengar—bukan sekadar mendengar.
Dan malam itu, aku mencatat di kepalaku satu hal penting:
*Kadang meja makan tidak perlu besar. Yang penting adalah seberapa luas hati yang duduk di sekelilingnya.*
Hari-hari setelah ‘forum es krim’ itu terasa sedikit berbeda. Kami tidak serta-merta jadi keluarga sempurna, tentu saja. Masih ada hari-hari ketika Ayah ngomel soal sabun cuci tangan yang terlalu licin, atau Ibu membentak karena remote TV hilang (lagi). Tapi setidaknya sekarang kami bisa menertawakan diri sendiri, setelahnya.
Meja makan, yang dulunya cuma simbol kehadiran fisik, kini berubah menjadi titik temu emosional. Setiap malam, tanpa komando, kami duduk bersama. Kadang untuk makan. Kadang hanya untuk duduk.
Suatu malam, Ayah membawa map plastik berisi tagihan listrik dan air. “Ayo kita belajar bareng. Supaya Bima ngerti kenapa Ayah suka marah kalo AC lupa dimatiin.”
Bima melongo. “Jadi ini kelas ekonomi rumah tangga?”
“Lebih tepatnya: realita setelah wisuda,” sahut Ibu.
Kami tertawa. Tapi dari sesi itu, aku sadar: berbagi beban bukan hanya tentang membagi pekerjaan. Tapi juga membagi pemahaman. Dan meja makan jadi tempat yang aman untuk itu.
Aku mulai menulis jurnal keluarga kecil, isinya catatan harian soal momen-momen di meja makan. Kadang lucu, kadang muram, kadang absurd. Seperti saat Ayah tiba-tiba cerita bahwa dulu ia pernah nyaris buka warung mi ayam karena ditolak kerja.
“Kalau jadi buka, kamu sekarang pasti ahli cuci mangkok,” kata Ayah padaku.
Bima menimpali, “Atau reviewer sambal!”
Tawa kami menyebar seperti lampu malam yang perlahan menyala.
Tapi tidak semua malam begitu terang.
Suatu malam, Ibu tidak datang ke meja makan. Ia mengurung diri di kamar, mengaku pusing. Kami semua diam. Ayah masuk ke kamarnya, dan lama tidak keluar.
Saat akhirnya muncul, ia hanya berkata, “Ibu lelah. Tapi dia ingin sendiri dulu malam ini.”
Kami makan bertiga. Suasana sunyi.
Aku membuka percakapan. “Kalian pernah takut kehilangan, tapi gak tahu harus gimana?”
Ayah menatapku. “Setiap hari.”
Bima hanya mengangguk.
“Kadang aku mikir, gimana kalau besok tiba-tiba salah satu dari kita gak ada. Apa yang terakhir kita katakan cukup baik? Cukup hangat?”
Tak ada yang menjawab. Tapi di kepala kami masing-masing, aku yakin pertanyaan itu terngiang lama.
Esoknya, Ibu kembali ke meja makan. Tidak menjelaskan apa-apa. Tapi membawa sepiring dadar jagung yang sudah lama tidak ia masak. Dan hanya dengan itu, kami tahu: ia kembali.
Malam itu, aku menulis:
*“Di rumah ini, cinta tidak selalu hadir dalam pelukan atau kata-kata. Kadang hadir dalam dadar jagung hangat, disajikan diam-diam di atas meja tua.”*
Malam-malam berikutnya, kami mulai memiliki tradisi kecil yang kami beri nama ‘sesi nasi terakhir’. Itu bukan soal makanan terakhir, tapi momen terakhir sebelum semua membereskan meja dan menuju kamar.
Di sesi itu, siapa pun bisa bicara soal apa pun. Keluhan, kabar baik, cerita aneh, bahkan hal-hal sepele seperti “siapa yang habiskan sabun mandi” atau “kenapa kucing buang air di sepatu Ayah.”
Pada suatu sesi, Ibu berkata, “Aku gak pernah nyangka meja ini akan jadi tempat pengakuan, pelukan, dan tawar-menawar damai.”
Ayah menjawab, “Dan tempat ngitung cicilan.”
Kami tertawa, tapi semua tahu, betapa pentingnya momen itu.
Di salah satu malam, aku bertanya, “Kalau satu hari meja ini bisa bicara, dia bakal bilang apa?”
Bima menjawab duluan, “Akhirnya! Kalian berhenti ngomel dan mulai jujur!”
Ibu menimpali, “Kalau meja bisa menulis, dia pasti udah bikin buku ‘1001 Drama di Atas Meja’.”
Ayah diam sejenak, lalu berkata pelan, “Dia mungkin akan bilang: akhirnya, kalian melihat satu sama lain.”
Kami semua terdiam. Karena itu benar.
Kami mulai menyimpan catatan kecil di bawah taplak meja. Setiap orang bisa menulis sesuatu—tanpa nama, tanpa perlu dibaca keras-keras. Isinya bisa curhat, permintaan maaf, atau harapan kecil. Seperti surat untuk rumah.
Aku menulis satu malam:
*“Aku pernah marah karena merasa tak dilihat. Tapi ternyata, yang lain juga sedang buta oleh beban masing-masing. Sekarang kita saling nyalakan cahaya.”*
Ibu menulis:
*“Kalau aku lelah, jangan pikir aku menyerah. Mungkin aku hanya butuh kalian duduk sebentar, tanpa bicara, cukup temani.”*
Bima menulis:
*“Maaf kalau aku kadang nggak serius. Itu caraku bilang: aku peduli, tapi aku takut bicara.”*
Ayah? Dia menulis:
*“Terima kasih sudah mengizinkan kepala rumah tangga ini belajar dari awal.”*
Dan saat aku membaca semua itu, aku tahu:
Meja ini bukan hanya tempat makan.
Ini adalah altar kecil. Tempat kami meletakkan kejujuran dan luka. Tempat kami belajar jadi keluarga yang tidak selalu utuh, tapi selalu mencoba.
Dan malam itu, sebelum lampu dimatikan, aku menulis di jurnal:
*“Meja makan kita kecil. Tapi hati yang mengelilinginya... kini cukup besar untuk menampung luka, cinta, dan harapan.”*
Beberapa hari setelah tradisi surat-surat kecil di bawah taplak meja dimulai, aku menyadari satu hal: kami semua sedang belajar bahasa baru. Bahasa keluarga. Bukan yang diajarkan di sekolah atau ditulis di buku, tapi yang tumbuh dari kebersamaan yang diam-diam, jujur, dan tidak sempurna.
Sore itu, Ibu meminta kami mengelap meja bersama. Padahal tidak kotor-kotor amat. Tapi aku tahu maksudnya bukan bersih-bersih.
“Kadang meja butuh disentuh,” katanya. “Biar tahu bahwa dia masih dipakai.”
Ayah menimpali, “Sama kayak manusia, ya?”
Kami bertiga tersenyum. Dan di sela-sela tawa ringan itu, ada keheningan yang hangat. Bukan karena tidak ada yang dikatakan, tapi karena semua sudah terwakili dalam tindakan kecil itu.
Saat malam datang, kami berkumpul lagi di meja yang sama. Makan malam kali ini disiapkan bersama. Bima memotong wortel sambil pura-pura jadi chef TV. Ibu mengatur bumbu. Ayah sibuk menyendok nasi dan mengomel kenapa semua panci berbeda tutupnya.
Aku berdiri sejenak dan menatap mereka.
Dan di momen itu aku tahu—semua ini akan jadi bagian dari ingatan yang panjang. Bukan karena menunya istimewa, tapi karena cara kami memandang satu sama lain malam itu… utuh.
Aku duduk, dan kami makan seperti biasa. Tapi kali ini, tanpa perang dingin. Tanpa sindiran. Tanpa jarak.
Setelah makan, Bima menulis catatan kecil dan menyelipkannya di bawah taplak. Ia membacakannya sendiri malam itu.
“Terima kasih sudah nggak menyerah satu sama lain.”
Ibu menambahkan, “Dan maaf kalau kadang kami lupa menunjukkan bahwa kami sayang.”
Ayah berkata, “Kita bukan keluarga hebat. Tapi kita keluarga yang pulang terus, meskipun capek.”
Dan aku… aku hanya menulis di jurnal kecilku:
*“Meja ini akhirnya jadi saksi bahwa cinta tidak selalu butuh kata-kata besar. Kadang cukup dengan duduk, menatap, dan tetap tinggal.”*
Karena aku tahu, selama meja ini ada, kami tak akan ke mana-mana.
Kami sedang tumbuh. Bersama.
sela kami mengelap meja, aku merasakan keheningan yang tidak canggung. Ada ketenangan yang datang karena kami tidak lagi saling menuntut. Kami hanya ada—bersama, di tempat yang sama, dengan cara yang sederhana.
Bima tiba-tiba berkata, “Kalau nanti kita udah gede dan tinggal masing-masing, meja ini masih akan ada, kan?”
Ayah menjawab, “Akan. Dan siapa pun yang pulang, meja ini akan selalu punya ruang.”
Ibu menambahkan, “Dan kalau ada cucu nanti, kita bisa ajari mereka main forum es krim.”
Tawa meledak. Tapi ada haru yang mengendap di dalamnya.
Malam itu, di sesi nasi terakhir, kami menulis surat bersama. Satu paragraf dari setiap orang. Lalu kami tempelkan di bagian bawah meja dengan lakban bening.
Aku menulis:
“Kalau kamu baca ini dan merasa sendiri, tahu lah: kamu pernah duduk di sini, bersama orang-orang yang mencoba, walau tak selalu bisa.”
Bima menulis:
“Kadang kita nggak tahu apa yang bikin kita tetap kuat. Tapi mungkin jawabannya adalah: karena kita pernah duduk bareng dan ketawa, meski habis nangis.”
Ibu menulis:
“Terima kasih sudah tetap duduk meski capek. Duduk itu juga bentuk cinta.”
Ayah menulis:
“Kepala keluarga bukan yang paling tahu arah. Tapi yang paling siap duduk terakhir dan mendengarkan.”
Kami semua diam setelah itu. Tidak ada pelukan. Tidak ada musik latar. Hanya keheningan yang manis.
Dan saat aku naik ke kamar malam itu, aku tahu mungkin ini berakhir, tapi meja makan itu akan terus menulis cerita baru—di setiap sendok, tawa, dan surat yang diam-diam diselipkan.
Dan untuk pertama kalinya, aku menulis tanpa ingin mengubah apa pun.
Karena aku tahu, ini cukup.
Dan cinta… kadang cukup diucapkan lewat siapa yang tetap tinggal di meja.
Dan mendengarkan.
Ada satu sore yang tidak akan kulupakan.
Langit mendung. Angin membawa aroma tanah basah. Dan di tengah halaman belakang, Ayah berdiri menatap pohon jambu yang dulu ia tanam bersama Haris, kakaknya yang telah tiada. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dari cara tubuhnya sedikit condong, aku tahu ia sedang bicara dengan kenangan.
Aku duduk di tangga dapur, mengamati dari jauh. Rasanya seperti menonton adegan film yang terlalu dalam untuk diucapkan, tapi terlalu penting untuk dilewatkan.
“Ibu bilang kamu sering duduk di sini waktu muda,” kataku pelan.
Ayah menoleh sebentar. “Dulu ini tempat Haris ngerokok diam-diam. Aku pura-pura nggak tahu.”
Aku tersenyum. “Sekarang jadi tempat Ayah menyendiri?”
“Bukan menyendiri,” jawabnya. “Mengingat.”
Kami diam cukup lama.
“Ayah,” kataku, “kenapa orang-orang sering merasa harus pergi dulu, baru bisa merasa pulang?”
Ayah mengangkat alis. “Karena kadang rumah nggak kelihatan saat kita tinggal terlalu lama di dalamnya.”
Kalimat itu menancap dalam.
Dan sejak hari itu, aku mulai melihat rumah ini dengan mata baru. Bukan hanya tembok dan genteng, tapi napas, jejak kaki, kursi yang bunyinya selalu sama saat ditarik, dan suara detak jam tua di ruang tengah.
Rumah ini tidak sempurna. Dindingnya retak di pojok. Atapnya bocor di musim hujan. Tapi rumah ini menyimpan tawa, tangis, dan kata-kata yang tak pernah selesai diucapkan.
Dan aku mulai bertanya-tanya: kalau suatu hari kami harus benar-benar pergi, siapa yang akan menjaga cerita-cerita kecil ini?
Aku membuka lemari tua di kamar Ibu. Di dalamnya, ada album foto, surat dari zaman kuliah, dan secarik kertas berisi tulisan tangan Ayah—catatan belanja tahun 1998.
“Garam, cabai, gula. Jangan lupa: sabar.”
Aku tertawa pelan. Rumah ini menyimpan semuanya. Bahkan pesan-pesan yang tidak pernah dikirim.
Dan pelan-pelan aku mulai menulis, bukan hanya jurnal harian, tapi sesuatu yang lebih panjang. Sebuah catatan untuk siapa pun yang pernah merasa rumahnya terlalu kecil, terlalu bising, terlalu berantakan—tapi tetap mereka jaga.
Karena rumah, sesederhana apa pun, tetap rumah.
Dan kalau kita cukup diam dan duduk di tengahnya, kita akan dengar: rumah sedang bicara.
Hari-hari selanjutnya, aku mulai memotret hal-hal kecil di rumah: gagang pintu yang goyah, gelas favorit Ibu yang retaknya disembunyikan dengan stiker, sandal jepit Ayah yang cuma tinggal sebelah tapi tetap dia simpan.
“Apa kamu bikin museum?” tanya Bima suatu pagi saat melihatku menaruh kamera di atas meja makan.
“Dokumentasi,” jawabku. “Buat ingat kalau suatu hari nanti, rumah ini berubah.”
Bima duduk dan menatapku. “Aku kadang takut. Kalau nanti kita udah besar, kerja jauh, menikah… rumah ini cuma jadi foto.”
Aku menatap wajah adikku yang jarang bicara seperti ini.
“Aku juga takut,” kataku. “Makanya aku tulis semuanya. Supaya kalau rumah ini hilang, ceritanya masih bisa kita pulangin.”
Hari itu aku mulai mewawancarai keluargaku. Bukan resmi seperti wartawan. Tapi dengan pertanyaan kecil saat mereka sedang tidak siap. Hasilnya? Lebih jujur dari yang kuduga.
Aku tanya ke Ibu, “Kalau bisa hidup ulang, Ibu mau jadi siapa?”
Ibu menjawab, “Aku tetap ingin jadi Ibu kalian. Tapi dengan lebih banyak waktu untuk memeluk kalian waktu kecil.”
Aku tanya ke Ayah, “Hal paling Ayah sesali?”
Ayah berpikir sebentar, lalu berkata, “Pernah lupa bilang ‘terima kasih’ ke Haris sebelum dia pergi.”
Lalu aku tanya Bima, “Apa kamu pernah ngerasa nggak dianggap di rumah ini?”
Bima menjawab, “Sering. Tapi aku tahu, itu bukan karena kalian nggak sayang. Kadang cinta itu diem-diem.”
Aku menuliskan semua itu dalam satu bab khusus di jurnal: “Keluarga, Versi Mereka.”
Dan dari setiap kutipan kecil itu, aku sadar: kita memang tidak selalu pandai mencintai. Tapi kita selalu mencoba.
Malamnya, aku membacakan sebagian catatan itu di ruang tengah. Ibu menangis pelan. Ayah memeluk bahuku sebentar. Dan Bima, dengan wajah sok cuek, hanya berkata, “Jangan posting ya. Malu.”
Tapi aku tahu: malam itu, rumah ini sedikit lebih utuh. Karena kami akhirnya bicara tanpa saling menuntut.
Kami hanya jadi diri sendiri.
Dan meja itu, lantai itu, tembok-tembok penuh noda, menyaksikan semuanya.
Karena begitulah rumah bekerja: ia diam, tapi selalu mencatat.
Dan aku? Aku hanya ingin jadi penulis kecil yang setia mencatat sebelum semua berubah.
Beberapa hari kemudian, kami menemukan album foto lama di rak buku yang jarang dibuka. Sampulnya lusuh, berwarna hijau pudar, dan isinya foto-foto hitam putih yang sudah mulai menguning. Aku duduk di tengah ruang tamu, bersama Ibu, Ayah, dan Bima.
“Ini waktu Ayah baru lulus SMA,” kata Ayah menunjuk foto dirinya berdiri di depan tiang listrik.
“Kenapa Ayah nggak senyum?” tanya Bima.
“Karena habis disuruh ganti sekring sama kakekmu,” jawabnya.
Kami tertawa.
Ibu membuka halaman lain dan menunjuk foto dapur lama. “Dulu kita masak pakai tungku. Pernah masak nasi tapi lupa nyalain apinya.”
Aku merekam cerita-cerita itu di ponselku. Bukan untuk konten, tapi untuk kenangan. Karena aku tahu, suatu hari nanti, suara-suara ini akan jadi harta yang tak tergantikan.
Malamnya, aku duduk sendirian di tangga depan rumah. Angin berembus pelan. Rumah ini tak besar, tak baru, tapi terasa penuh. Penuh oleh cerita yang tumbuh bersama waktu.
Ayah duduk di sampingku tanpa banyak suara.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “aku dulu nggak pernah ngerti kenapa orang bisa menangis waktu ninggalin rumah. Tapi sekarang aku mulai paham.”
Aku menoleh. “Karena rumah bukan tempat, tapi perasaan.”
Ayah mengangguk. “Dan kamu bikin kami semua sadar, betapa pentingnya mencatat perasaan itu.”
Aku tersenyum. “Aku juga cuma nulis karena takut lupa.”
“Justru karena itu penting,” katanya. “Karena kamu peduli.”
Keesokan harinya, aku mencetak semua catatanku. Kujilid jadi buku sederhana. Sampulnya kuberi judul: “Rumah yang Tidak Pindah ke Mana-Mana.”
Bima tertawa saat membacanya. “Ini buku paling banyak air matanya.”
Ibu memelukku. “Terima kasih karena sudah membuat rumah ini punya suara.”
Dan saat aku melihat ke sekeliling ruang tamu—dinding yang penuh coretan kecil, karpet yang sudah mulai usang, lampu yang kadang kedip-kedip—aku sadar: aku tidak ingin ke mana-mana dulu.
Karena rumah ini belum selesai bercerita.
Malam itu, sebelum tidur, aku menulis satu catatan terakhir untuk halaman belakang buku:
“Rumah ini tidak besar. Tapi di sinilah aku belajar, bahwa cinta bukan soal hadiah, bukan soal pujian. Tapi soal siapa yang tetap duduk bersamamu, bahkan di tengah kebosanan.”
Pagi berikutnya, kami memasang tali lampu hias di halaman. Tanpa alasan. Bima menyebutnya “proyek estetika keluarga.” Ayah ikut membantu sambil bersungut, “Buat apa lampu siang-siang?”
Ibu menyambung, “Biar kamu kelihatan lebih muda di bawah cahaya.”
Semua tertawa. Dan di bawah sinar matahari pagi itu, kami berdiri bersama, memandangi rumah kecil yang semakin terasa hidup.
Aku mulai mencatat hal-hal yang dulu tak kuperhatikan: suara pintu yang selalu mengeluarkan bunyi “ngik” saat dibuka, caranya Ibu selalu mengatur piring berdasarkan warna, cara Ayah batuk kecil sebelum memulai bicara serius.
Semua itu adalah nyawa rumah. Dan aku ingin mengabadikannya.
Beberapa hari kemudian, kami mengadakan makan malam kecil di luar. Pakai tikar, lilin seadanya, dan menu sederhana: nasi goreng, tempe goreng, dan teh manis hangat.
“Kenapa kita nggak bikin ini dari dulu?” tanya Ibu.
“Karena dulu kita sibuk cari alasan untuk pergi,” jawab Ayah.
Aku menatap langit. Malam itu, bintang tidak terlalu banyak. Tapi satu saja cukup untuk mengingatkan bahwa kita tidak sendirian.
Bima berkata pelan, “Kalau nanti rumah ini dijual, aku pengen simpen satu kursinya.”
Ibu menjawab, “Kursinya bisa dibawa. Tapi cerita-ceritanya tetap tinggal.”
Dan aku menulis malam itu:
“Tidak semua rumah punya taman. Tidak semua rumah punya jendela besar. Tapi setiap rumah bisa punya cerita—kalau kita mau diam sebentar, mendengarkan, dan tinggal lebih lama.”
Dan ketika semua tertidur, aku duduk sendirian di ruang tengah. Memandang sekeliling. Menyentuh meja. Meraba dinding. Lalu menutup buku catatanku perlahan.
Karena aku tahu, rumah ini telah bicara cukup malam ini.
Dan aku sudah mendengarkan.
Beberapa minggu kemudian, rumah kami mulai ramai oleh tamu-tamu kecil: teman-teman Bima, tetangga yang dulu jarang menyapa, bahkan tukang sayur yang tiba-tiba betah duduk di teras sambil menyeruput kopi.
“Rumah kalian sekarang beda ya,” ujar Bu Jamilah, tetangga depan yang terkenal suka ngomel. “Hawanya adem, bukan cuma karena kipas.”
Aku tertawa. “Mungkin karena sekarang kami lebih sering ketawa.”
“Dan kurang ribut?” tanya Bima tiba-tiba dari belakang.
“Kurang ribut, tapi lebih jujur,” jawab Ayah yang baru keluar bawa piring cucian.
Ibu menyodorkan kue bolu ke tamu. “Hidup itu jangan terlalu dibikin repot. Duduk bareng aja dulu, urusan lainnya nyusul.”
Semua tertawa, kecuali Ayah yang masih pura-pura kesal. Tapi kami tahu, di balik itu ia senang. Karena kini rumah ini tak hanya terasa penuh, tapi juga terbuka.
Di malam minggu itu, kami mengadakan ‘acara duduk rame-rame’. Tidak ada rencana. Tidak ada rundown. Hanya tikar, lampu gantung sederhana, dan semua yang mau datang boleh duduk. Anak-anak kecil main lari-larian. Para ibu ngobrol soal resep dan harga cabai. Para bapak tertawa soal cerita zaman muda mereka.
Dan kami, duduk di tengah itu semua—menatap, mendengar, ikut tersenyum.
“Lihat rumah kita,” bisik Ibu padaku. “Dulu cuma kita yang isi. Sekarang penuh tawa.”
“Dulu rumah ini kayak tempat ngungsi,” kata Ayah. “Sekarang, kayak tempat orang nyari damai.”
Aku menatap ke arah dapur. Suara panci, bau bawang goreng, suara sandal Bima yang nyeret di lantai. Semuanya terdengar seperti simfoni sederhana yang selalu ingin kudengar lagi dan lagi.
Malam semakin larut. Satu per satu tamu pulang. Anak-anak mulai mengantuk, dan lampu-lampu kecil mulai diredupkan. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang ingin buru-buru tidur.
“Besok kita ulang lagi ya?” tanya Bima.
“Kamu pikir ini warung lesehan?” balas Ayah.
“Kalau iya, Ibu jadi chef-nya,” kataku.
Ibu tersenyum lebar. “Kalau kalian terus duduk bareng, Ibu rela masak tiap minggu.”
Dan di tengah malam itu, aku menulis satu kalimat terakhir:
“Rumah ini tidak pindah ke mana-mana. Tapi pelan-pelan, kami semua pulang ke sini—dengan cara yang berbeda, tapi dengan cinta yang sama.”
Dan mungkin, itu yang disebut pulang sungguhan.
Beberapa hari setelah acara kecil itu, rumah kembali sepi. Tapi kali ini, sepi yang tidak sunyi. Sepi yang tenang, sepi yang terasa cukup.
Aku duduk di ruang tengah, memutar ulang rekaman video dari malam itu. Suara tawa, sendok beradu, tangisan kecil anak tetangga yang rebutan sendal. Semua terasa begitu hidup.
Ayah masuk membawa dua gelas teh.
“Untuk jurnalis rumah kita,” katanya sambil menyodorkan satu gelas padaku.
Aku tertawa. “Aku nulis bukan buat terkenal, Yah.”
“Tapi kamu bikin kami diingat,” katanya. “Dan itu jauh lebih penting.”
Kami duduk lama. Ibu lewat sambil mengelap meja. Bima melirik dari kamar sambil berkata, “Kalau kamu udah nulis bab akhir, jangan tutup bukunya dulu.”
Aku bingung. “Maksudnya?”
“Karena rumah ini belum selesai cerita.”
Aku senyum. Lalu membuka laptopku lagi.
Dan menulis paragraf ini:
“Rumah ini tidak pernah menunggu kita sempurna. Ia hanya menunggu kita duduk. Memandang. Dan mengakui bahwa kita tidak sendirian.”
Dan tepat saat aku mengetik titik terakhir, angin dari jendela menggerakkan tirai perlahan.
Seolah rumah ini tahu, ceritanya akan terus hidup.
Selama kita bersedia mendengarkannya.
Malam berikutnya, kami duduk lagi di meja makan. Tidak ada acara, tidak ada tamu. Hanya kami berempat.
Ibu menyajikan sup hangat. Ayah membacakan satu artikel yang katanya lucu tapi ujungnya malah bikin kami semua diam.
“Di Jepang, rumah yang kosong lebih dari dua tahun dianggap ‘rumah yang kehilangan suara,’” kata Ayah sambil menatap kami satu-satu.
“Apa itu artinya kita harus tetap ramai?” tanya Bima.
“Bukan ramai,” jawab Ibu. “Tapi hidup.”
Aku menatap wajah mereka satu per satu. Tiga manusia yang pernah saling menjauh, kini duduk dalam lingkaran yang utuh.
Lalu aku berkata pelan, “Aku ingin rumah ini nggak kehilangan suara. Bahkan kalau nanti kita nggak tinggal di sini lagi.”
Ayah tersenyum. “Kalau rumah ini kehilangan suara, tulis saja.”
Bima menimpali, “Atau rekam. Biar bisa diputar ulang saat rindu.”
Ibu menatapku. “Kamu sudah buat rumah ini bicara. Sekarang, tinggal bagaimana kita menjaga suaranya tetap hidup.”
Dan malam itu, aku menulis satu catatan:
“Rumah tidak bicara dengan suara keras. Ia bicara dalam gesekan kursi, desah napas, tawa kecil, dan tangis malam. Tapi bila kita duduk cukup lama, kita akan dengar: rumah sedang memeluk kita.”
Dan aku tahu—cerita ini belum selesai.
Tapi untuk malam ini, cukup.
Karena aku sedang duduk di tengah suara yang selama ini kucari.
Ada pagi yang tak biasa. Bukan karena hujan turun terlalu deras, atau ayam tetangga berhenti berkokok. Tapi karena Ibu duduk di teras lebih awal dari siapa pun.
Biasanya Ibu baru keluar setelah kami semua sibuk. Tapi pagi itu, ia sudah di sana, mengenakan cardigan rajut dan sendal rumah, memegang segelas teh yang masih mengepul.
Aku menyusul, duduk di sampingnya tanpa suara.
“Dulu aku benci pagi,” katanya tanpa menoleh.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena pagi artinya harus kuat lagi. Harus pura-pura baik-baik saja, padahal belum selesai nangis semalam.”
Aku menoleh ke arahnya. Mata Ibu tidak sembab. Tapi cara ia menatap langit yang sendu itu berkata banyak.
“Sekarang masih benci?” tanyaku lagi.
Ibu tersenyum pelan. “Sekarang... aku belajar menyukai pagi, bukan karena dia indah, tapi karena dia janji baru. Walaupun capek, pagi selalu datang. Dan itu artinya aku belum kalah.”
Kami duduk lama. Hanya suara burung, angin kecil, dan sesekali derit pagar berkarat.
Lalu Ibu berkata pelan, “Aku mau cerita sesuatu. Tapi kamu jangan nangis.”
Aku tertawa kecil. “Ibu duluan yang sering nangis, kok.”
“Aku pernah mau pergi dari rumah ini,” katanya.
Kata-kata itu menggantung di udara.
“Waktu kapan?” tanyaku pelan.
“Waktu kamu kelas dua SMA. Waktu aku merasa rumah ini terlalu berat. Waktu aku pikir, mungkin lebih baik aku kasih ruang ke kalian semua.”
Aku tidak tahu harus jawab apa.
“Tapi malam itu, kamu pulang dan tanpa sadar nyebut ‘Ibu, aku kangen pelukannya’. Padahal kamu ngomong sambil merem, setengah tidur.”
Aku terdiam.
“Itu nyelamatin aku, Dit,” katanya pelan. “Kalimat kecil itu nyelamatin aku dari pergi.”
Aku menggenggam tangan Ibu.
“Dan sekarang kamu tahu, kenapa aku selalu ingin kamu sarapan. Kenapa aku cerewet soal vitamin. Karena kamu yang pernah nyelametin aku, dan aku nggak mau gagal nyelametin kamu balik.”
Aku tidak tahan. Air mata tumpah tanpa aba-aba.
Tapi Ibu hanya tersenyum. “Tenang, ini pagi. Kita boleh nangis. Tapi habis itu, hidup lagi ya?”
Aku mengangguk.
Dan pagi itu, aku tahu: luka memang tidak hilang. Tapi dari luka yang dalam, sesuatu bisa tumbuh—cinta, keikhlasan, bahkan tawa baru.
Asal kita mau duduk, diam, dan mendengarnya.
Hari itu, sepanjang pagi, aku menatap Ibu dengan cara berbeda. Tidak lagi hanya sebagai sosok yang kuat dan tegas, tapi sebagai manusia yang pernah nyaris patah, tapi tetap memilih tinggal.
Saat siang tiba, Bima pulang dari sekolah dan langsung duduk di lantai sambil membuka bungkus gorengan.
“Ada apa? Kok suasana kayak habis nonton film sedih,” katanya sambil menggigit tempe.
Ibu hanya tertawa pelan. “Kami tadi ngobrol soal hal-hal yang nggak pernah diceritain.”
Bima menoleh ke arahku. “Cerita kayak apa?”
“Cerita yang bikin kamu mungkin bakal berhenti ngemil,” jawabku.
Dia mendelik. “Tapi nggak mungkin aku berhenti ngemil.”
Kami tertawa. Tapi setelah itu, suasana jadi lebih lembut. Ada keheningan yang tidak canggung. Hening yang justru terasa penuh.
Sore itu, Ayah pulang lebih cepat. Bukan karena ada urusan mendadak, tapi karena, katanya, “ingin duduk bareng sebelum matahari habis.”
Kami duduk berempat di ruang tamu. Tidak ada TV, tidak ada ponsel. Hanya kami, dan cahaya oranye dari luar jendela.
“Aku pengen minta maaf,” kata Ayah tiba-tiba.
Kami semua menoleh.
“Aku pernah terlalu sibuk jadi kepala rumah tangga sampai lupa jadi teman bicara.”
Ibu menggenggam tangannya. “Kamu nggak sendirian.”
Bima menambahkan, “Yah, kamu masih sering nyebelin. Tapi sekarang nyebelinnya lucu.”
Kami tertawa. Ayah pun ikut tertawa, lalu menghela napas panjang.
“Dulu aku pikir kalau aku terlihat lemah, anak-anak nggak akan hormat,” katanya. “Tapi sekarang aku sadar, kalian justru lebih kuat karena kalian tahu aku juga manusia.”
Malam itu, kami membuat teh jahe bersama. Ibu menyuruh kami mengupas jahenya sendiri-sendiri. “Biar lebih terasa kalau disajikan hasil kerja sendiri,” katanya.
Saat teh sudah matang, kami duduk kembali. Lalu Bima mengambil buku kecil dari tasnya dan berkata, “Aku juga nulis sekarang. Gara-gara Dito.”
Aku kaget. “Serius?”
“Iya. Judul bab pertamaku: ‘Bertahan di Antara Dua Orang Tua dan Kakak yang Sering Sok Bijak’.”
Kami semua tertawa. Tapi aku juga terharu. Karena pelan-pelan, bukan hanya aku yang mencatat. Kini semua mulai menulis versi mereka sendiri.
Dan aku tahu, ini bukan akhir. Ini adalah masa di mana luka mulai tumbuh sesuatu.
Sesuatu yang belum selesai. Tapi sudah cukup untuk membuat kami semua bertahan.
Beberapa malam kemudian, hujan turun deras. Petir sesekali menyambar, membuat rumah sedikit berguncang. Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari kami yang terlihat gelisah.
Kami justru duduk bersama di ruang tengah, menyelimuti kaki dengan selimut tipis, dan memegang cangkir masing-masing.
“Ini malam paling sunyi yang nyaman,” ujar Ibu.
“Karena semua udah selesai saling memendam,” jawab Ayah sambil menyeruput teh.
Bima memeluk bantalnya. “Gue suka hujan. Suara rintiknya kayak kalimat jujur yang nggak bikin malu.”
Aku menoleh padanya. “Kamu belajar puitis dari mana?”
“Dari kalian semua,” sahutnya cepat.
Kami tertawa. Tapi ada kesadaran baru malam itu: kami semua berubah. Tidak menjadi orang baru, tapi menjadi lebih nyata. Lebih terbuka.
Ayah lalu mengambil map dari rak. “Aku nyimpan ini lama. Tapi kayaknya sekarang saatnya dikasih lihat.”
Ia membuka map itu dan mengeluarkan selembar kertas berwarna kekuningan—surat dari kakek yang sudah lama meninggal.
“Ayahmu pernah kirim ini sebelum dia sakit. Isinya cuma satu paragraf.”
Ayah mulai membaca:
“Kalau suatu hari kamu merasa rumahmu terlalu ribut, terlalu repot, terlalu berat... itu artinya rumahmu hidup. Jangan tinggalkan. Dengarkan, dan tetap duduk di dalamnya.”
Tidak ada yang bicara sesudah itu.
Ibu menutup matanya. “Bapaknya kamu memang nggak banyak ngomong. Tapi kalau ngomong, kena langsung ke jantung.”
Bima menyeka matanya diam-diam.
Dan aku? Aku mencatatnya diam-diam di buku harian:
“Kalimat dari orang yang sudah tiada kadang justru menjadi penuntun paling tajam. Karena datangnya bukan untuk menang, tapi untuk mendekap.”
Esok harinya, kami menempelkan kutipan itu di dinding ruang makan. Tulis tangan, di atas kertas putih yang kami bingkai seadanya.
“Biar rumah ini ingat dari mana dia tumbuh,” kata Ayah.
Dan aku tahu, luka yang dulu menyekat kami… kini jadi tanah tempat tumbuhnya pohon-pohon kecil—penuh dedaunan baru.
Kami belum sembuh total. Tapi kami belajar menyiram luka itu setiap hari.
Dengan tawa. Dengan jujur. Dengan duduk yang tidak buru-buru pergi.
Beberapa hari kemudian, Ibu mengusulkan sesuatu yang mengejutkan.
“Kita tanam pohon,” katanya pagi-pagi sambil membawa bibit mangga kecil.
“Di mana?” tanya Ayah.
“Di halaman belakang. Dekat tempat Haris dulu sering duduk.”
Aku dan Bima saling pandang.
“Kenapa sekarang?” tanyaku pelan.
Ibu tersenyum. “Karena sekarang kita semua tahu, sesuatu bisa tumbuh dari luka.”
Pagi itu kami bertiga menggali tanah. Ayah mencangkul, aku menahan akar kecil yang mengganggu, Bima sok jadi supervisor sambil membawa air minum.
Saat pohon itu akhirnya berdiri tegak, walau masih kurus dan ringkih, kami semua menatapnya lama.
“Aku pengen nanti kalau pohon ini besar, cucu kita bisa duduk di bawahnya,” kata Ayah.
“Dan mereka bisa dengar cerita tentang rumah ini,” tambah Ibu.
Bima menyahut, “Dan tentang pohon yang ditanam bukan karena estetika, tapi karena cinta.”
Kami tertawa.
Dan di tengah hari yang hangat itu, aku merasa seluruh bagian hidup kami terwakili dalam satu momen kecil: tangan yang kotor oleh tanah, mata yang hangat oleh kenangan, dan kaki yang berdiri di atas rumah yang tidak pernah benar-benar runtuh.
Malamnya, aku menulis:
“Dulu, aku takut rumah ini hanya menyimpan luka. Tapi ternyata, rumah ini menyimpan lebih dari itu. Ia menyimpan akar—yang menahan kami tetap di sini, meski badai datang.”
Dan saat aku menutup buku harianku, aku mendengar suara Ibu dari dapur:
“Besok kita tanam bunga ya, Dit?”
Aku menjawab sambil senyum, “Boleh, Bu. Biar rumah ini makin bicara.”
Karena sekarang aku tahu, rumah tidak pernah diam.
Rumah selalu bicara—kalau kita cukup sabar mendengarkan.
Minggu pagi, Ayah tiba-tiba membawa ember cat dan kuas.
“Kita cat ulang pagar,” katanya. “Warnanya biru langit.”
“Tumben,” kata Bima. “Biasanya Ayah alergi warna selain abu-abu.”
Ayah terkekeh. “Aku pikir, rumah ini butuh napas baru. Biar warna baru bisa menampung cerita baru.”
Kami ikut membantu. Ibu menyapu daun kering di halaman. Aku mengecat sisi kiri pagar, Bima bertugas ‘mengawasi ketebalan cat’. Satu jam pertama penuh dengan lelucon dan cipratan warna. Tapi semakin lama, kami semua diam. Fokus.
“Pernah kepikiran,” kata Ayah sambil mengecat, “kalau kita ini kayak pagar?”
“Pagar?” tanya Ibu.
“Iya. Kita berdiri di pinggir, kelihatan biasa, tapi yang jaga isi rumah. Pagar bisa bolong, bisa berkarat, tapi selama masih berdiri, dia tetap pelindung.”
Kami terdiam sesaat.
“Kalau gitu aku pagar belakang deh,” kata Bima. “Yang kadang suka dilupakan, tapi tetap penting.”
Aku menambahkan, “Aku bagian yang suka bunyi waktu dibuka.”
“Dan Ibu?” tanya Ayah.
“Ibu... mungkin kuncinya. Yang bikin pagar bisa dibuka dengan aman.”
Kami semua tertawa. Tapi kami tahu, pembicaraan itu lebih dari sekadar soal pagar.
Siangnya, kami makan bareng lagi di teras. Di bawah pohon mangga yang baru saja ditanam. Belum berbuah, belum besar. Tapi cukup memberi rasa teduh yang pelan-pelan tumbuh.
“Dit,” kata Ibu, “kalau nanti kamu pergi, kamu akan bawa cerita ini ke mana?”
Aku tersenyum. “Ke mana pun aku pergi, cerita ini akan ikut. Karena yang kutulis bukan rumah, tapi kita.”
Ayah menepuk bahuku. “Kalau bisa, ajak ceritanya pulang sesekali.”
“Pasti,” jawabku.
Dan saat senja turun perlahan, kami semua duduk tanpa suara. Hanya suara angin, suara halaman yang bernafas, dan rasa syukur yang tak perlu diucap dengan mulut.
Aku menutup jurnal malam itu dengan satu kalimat:
“Luka itu tidak menghilang. Tapi di rumah ini, kami belajar menumbuhkan taman kecil di atasnya.”
Dan taman itu, seperti cinta, tidak butuh sempurna.
Hanya butuh dirawat.
Beberapa malam kemudian, listrik padam. Gelap total. Hanya suara jangkrik dan rintik hujan di luar. Kami duduk bersama di ruang tengah, menyalakan lilin seadanya.
“Kayak zaman dulu,” kata Ayah sambil menyalakan korek.
“Kayak waktu mati lampu terus kita main bayangan tangan di dinding,” tambah Bima.
Ibu mengangguk. “Dulu, setiap mati lampu, kita malah jadi lebih dekat. Karena nggak ada TV, nggak ada HP. Cuma kita dan cerita.”
Aku tersenyum. “Mau ulang itu malam?”
“Mulai duluan, Kak. Cerita bebas,” tantang Bima.
Aku berpikir sejenak, lalu mulai bercerita tentang mimpi kecilku waktu kelas tiga SD—ingin jadi tukang parkir karena kagum melihat peluit dan gerakan tangan mereka.
Mereka tertawa keras. Ibu hampir tersedak tawa, Ayah sampai melepas kacamatanya.
“Gara-gara itu, kamu minta peluit ke Ibu, kan?” ujar Ibu.
“Dan akhirnya dipakai main kejar-kejaran sama ayam,” timpal Ayah.
Kami tertawa sampai perut pegal. Tapi di sela-sela tawa itu, ada hangat yang tidak bisa dijelaskan. Lilin kecil itu menyinari wajah-wajah yang pernah saling diam, pernah saling salah paham, tapi kini saling memahami.
Setelah tawa mereda, Bima berkata pelan, “Aku takut satu hari kita semua lupa malam kayak gini.”
Aku menoleh. “Kita nggak akan lupa. Karena malam kayak gini nempel di hati.”
Ibu menyandarkan kepala ke bahu Ayah. “Yang bikin rumah ini tetap hangat bukan listrik. Tapi kalian.”
Ayah hanya tersenyum. Dan malam itu, kami semua duduk lebih dekat. Tanpa cahaya lampu. Tapi dengan cahaya lain—yang tidak bisa dipadamkan oleh padam apa pun.
Dan saat akhirnya listrik menyala kembali, kami tidak langsung beranjak.
Kami tetap duduk. Masih ingin tinggal sedikit lebih lama.
Karena kami tahu, malam seperti ini—yang sederhana, yang jujur, yang tidak direncanakan—adalah malam yang membangun fondasi rumah.
Dan malam itu, aku menulis:
“Di rumah ini, luka tidak membuat kami pergi. Justru dari luka, kami belajar mencintai lebih tenang.”
Dan dengan itu, aku menutup bab hari itu.
Sambil percaya: yang tumbuh dari luka, kalau dijaga... bisa jadi taman.
Keesokan harinya, kami bangun dengan langit yang cerah. Sinar matahari menyelinap melalui jendela-jendela kecil, menyapa lantai yang dingin dan meja makan yang masih berantakan oleh sisa semalam.
Aku turun lebih dulu, lalu disusul Ayah dengan rambut acak-acakan dan langkah malas.
“Pagi,” sapaku.
“Pagi,” jawabnya. “Aku mimpi aneh. Rumah ini pindah ke atas awan.”
Aku tertawa. “Jadi rumah dongeng?”
“Enggak,” katanya. “Cuma... rasanya ringan. Kayak semua yang berat udah ditinggalin.”
Tak lama, Ibu dan Bima bergabung. Kami sarapan seadanya, tapi seperti biasa, percakapannya jauh dari biasa.
“Kalau rumah ini bisa terbang,” kata Bima, “aku harap dia nggak lupa kembali.”
“Rumah nggak pernah lupa,” jawab Ibu. “Yang suka lupa itu kita.”
Dan aku menulis:
“Yang tumbuh dari luka adalah kesadaran. Bahwa kita bisa saja terluka di rumah, tapi juga bisa pulih di rumah yang sama—kalau semua yang tinggal di dalamnya memilih untuk tetap melihat, tetap mendengar, dan tetap tinggal.”
Ada sore yang dimulai dengan aroma semur jengkol dan berakhir dengan adu suara di ruang makan.
Padahal kami semua pikir, hari itu akan berjalan biasa saja. Ibu memasak lebih awal, Ayah menyiram halaman, Bima baru pulang dari sekolah dan masih mengenakan seragam penuh lipatan. Aku sendiri sedang menyusun daftar belanja bulanan sambil mendengarkan radio pelan-pelan.
“Kenapa kita nggak beli beras sekalian dua karung?” tanya Ayah tiba-tiba.
“Karena kita bukan warung, Yah,” jawabku.
Ibu menimpali, “Beras dua karung bisa muat di mana? Lumbung nenek?”
“Logika ekonomi rumah tangga,” bela Ayah. “Beli banyak, irit ongkos.”
Bima duduk sambil membuka keripik. “Tapi kalau busuk, siapa yang ngabisin?”
“Bukan busuk, lembap,” jawab Ayah cepat. “Dan itu beda!”
Percikan pertama dari sore itu bermula dari perdebatan kecil tentang belanja.
Lalu seperti efek domino, bahasan bergeser ke banyak hal lain: tagihan listrik, kenapa AC sering menyala padahal jendela terbuka, dan—seperti biasa—siapa yang terakhir kali menaruh remote TV entah ke mana.
“Ini bukan soal siapa salah,” kata Ayah, suaranya mulai meninggi. “Tapi soal keteraturan!”
“Kalau begitu, kita bikin sistem!” seru Ibu. “Jadwal, pembagian tugas, semuanya tercatat!”
“Gue setuju,” Bima angkat tangan. “Asal tugas gue jangan bagian ngelap lantai. Sakit pinggang!”
Aku hanya duduk. Mendengarkan. Mencatat.
Karena yang terjadi sore itu bukan sekadar pertengkaran. Tapi percakapan keras antara orang-orang yang terlalu lama menahan. Dan sore itu, akhirnya, semuanya tumpah.
Tapi di tengah suara meninggi, aku berkata pelan:
“Boleh nggak, kita tunda marahnya... dan mulai dari kenapa kita bisa marah?”
Semua diam. Lalu Ayah menatapku.
“Kamu pikir ini marah yang salah?”
“Bukan,” jawabku. “Tapi mungkin marah yang belum sempat disusun.”
Dan begitulah, sore yang penuh semur jengkol itu berubah jadi ruang diskusi keluarga. Tidak nyaman. Tapi perlu.
Setelah suasana sedikit tenang, kami mulai menyusun ulang sistem rumah yang selama ini lebih mengandalkan feeling daripada aturan.
“Aku bikin jadwal mingguan,” kata Ibu, membawa papan tulis kecil. “Senin bersih-bersih, Selasa belanja, Rabu laundry…”
Bima memotong, “Kamis tidur, Jumat rebahan, Sabtu healing.”
Ibu menatapnya tajam. “Minggu kamu nyuci piring dua kali.”
Bima langsung diam.
Ayah mulai menyusun daftar pengeluaran bulan lalu di kertas HVS. “Ternyata, biaya kita paling besar itu listrik dan jajan.”
Aku menambahkan, “Dan kuota internet. Empat HP, dua laptop, belum Netflix.”
“Netflix siapa?” tanya Ayah.
Semua saling pandang.
“Ehem. Numpang, Yah,” kata Bima pelan.
Kami tertawa, meski tawa itu masih dibalut ketegangan kecil.
Lalu diskusi berlanjut ke urusan keputusan keluarga.
“Kita terlalu sering ambil keputusan mendadak,” kataku. “Kayak beli blender baru padahal yang lama masih bisa dipukul dulu biar nyala.”
“Itu karena kita semua susah diajak diskusi waktu tenang,” ujar Ibu. “Pas lagi enak nonton, pas lagi di toilet, pas ngupil…”
“Ibu!” seru Bima.
“Apa? Nyatanya begitu!”
Kami semua tertawa lagi, lebih lepas.
Di malam harinya, kami duduk di ruang tengah tanpa gadget. Bima membawa kertas bertuliskan “Forum Keluarga, Edisi Rukun Tapi Tegas.”
“Setiap orang boleh kasih usul, keluhan, atau apresiasi,” katanya. “Tapi nggak boleh nyela. Kalau mau bantah, wajib pake kata ‘menarik, tapi...’.”
Aku mulai duluan.
“Menarik, tapi aku usul agar ada jadwal tukar posisi duduk waktu makan. Biar dapet perspektif baru.”
Ayah mengangguk. “Menarik, tapi... aku mau ada jam bebas TV. Jadi nggak rebutan remote.”
Ibu mengangkat tangan. “Menarik, tapi... siapa pun yang nyalain TV, dia yang matiin juga!”
Bima menutup forum dengan tepuk tangan ala presentasi.
Dan malam itu, tidak ada keputusan mutlak. Tapi ada ruang. Ruang yang selama ini tidak kami sadari penting—ruang untuk tidak setuju, tapi tetap satu meja.
Aku menulis:
“Yang membuat rumah menjadi tempat pulang bukan kesepakatan, tapi kemauan untuk tetap duduk bersama bahkan saat tidak sepakat.”
Dan dari situ, kami tahu: rukun itu bukan berarti selalu sama. Tapi berani beda tanpa saling menjauh.
Keesokan paginya, Ayah datang ke meja makan dengan membawa gulungan kertas bekas kalender. Di atasnya, tertulis besar: “PETA EMOSI KELUARGA.”
“Apaan ini, Yah?” tanya Bima sambil mengunyah roti.
“Kita mulai kenalin emosi masing-masing,” jawab Ayah. “Biar nggak salah tangkap.”
Aku mendekat. Di dalam kertas itu, ada kotak-kotak warna: merah untuk marah, biru untuk sedih, kuning untuk senang, hijau untuk tenang.
“Setiap pagi, kita tempel stiker warna sesuai perasaan hari itu,” kata Ayah bangga.
Ibu mengangguk. “Ide bagus. Soalnya kadang kita marah bukan karena salah orang lain, tapi karena capek sendiri.”
Hari itu kami mulai. Aku pilih hijau, Bima pilih kuning, Ibu biru, dan Ayah—dengan pelan—menempel merah.
“Lelah,” katanya singkat.
Kami tak banyak tanya. Tapi hari itu, kami lebih hati-hati bicara. Lebih banyak senyum. Lebih banyak bertanya “Kamu capek ya?” alih-alih langsung berdebat.
Malamnya, Ayah duduk di ruang tengah sambil menulis.
“Kamu bikin jurnal juga?” tanyaku.
“Bukan jurnal. Ini surat yang nggak bakal dikirim.”
Aku terdiam. Lalu bertanya, “Boleh dibaca?”
Ayah menyerahkan kertas itu. Isinya:
“Anak-anakku, aku pernah berpikir bahwa menjadi ayah artinya menjadi batu karang. Tapi sekarang aku tahu, menjadi ayah artinya menjadi tanah. Tempat kalian tumbuh. Dan kadang, tanah juga perlu disiram.”
Aku memeluknya. Pelan.
Dan malam itu, kami tidak butuh obrolan panjang. Hanya lilin kecil dan satu surat yang dibaca bersama. Itu cukup untuk membuat rumah ini terasa penuh.
Beberapa hari kemudian, forum keluarga berlanjut. Kali ini dengan tema: “Hal-hal yang belum sempat disampaikan.”
Bima membuka forum. “Aku kadang iri sama Kak Dito.”
Aku kaget. “Kenapa?”
“Soalnya kamu selalu bisa ngomong. Sementara aku, kadang bingung mulai dari mana.”
Aku terdiam. Tapi Ibu menyentuh tangan Bima. “Yang penting, kamu tetap berani bicara sekarang.”
Lalu Ibu sendiri angkat bicara. “Aku pernah takut jadi ibu yang gagal. Tapi ternyata, kalian lebih kuat dari yang aku sangka.”
Ayah menambahkan, “Aku nyesel pernah terlalu sering bilang ‘nanti’. Karena banyak ‘nanti’ yang ternyata nggak sempat.”
Aku mencatat semuanya. Bukan hanya untuk disimpan, tapi untuk dibagikan nanti—pada masa yang mungkin butuh cerita dari masa ini.
Dan malam itu, aku menulis:
“Rumah adalah tempat di mana kalimat yang tertunda akhirnya menemukan waktunya.”
Suatu malam, kami mendengar suara ribut dari rumah sebelah. Teriakan, bentakan, lalu keheningan yang menyesakkan. Kami semua berhenti bergerak. Tak ada yang bicara. Hanya saling menatap.
Bima, pelan-pelan, berkata, “Aku takut kalau itu kita, lima tahun lalu.”
Ayah mengangguk. “Aku juga. Tapi sekarang, kita sudah tahu cara bicara, meski nggak selalu sepakat.”
“Kita tahu cara diam yang bukan saling membuang,” tambah Ibu.
Aku mendekap lututku. “Dan kita tahu, perbedaan bukan ancaman. Tapi undangan.”
“Undangan?” tanya Bima.
“Untuk mengenal satu sama lain lebih dalam.”
Keesokan paginya, Ibu menyeduh kopi untuk Ayah dan teh untuk kami. Di tengah keheningan pagi, ia berkata, “Aku pikir, kita sudah belajar satu hal penting dari semua ini.”
“Apa?” tanya Ayah.
“Bahwa rumah bukan tempat bebas konflik. Tapi tempat paling aman untuk berbeda.”
Ayah tersenyum. “Dan tempat pertama untuk belajar minta maaf.”
Bima menimpali, “Dan tempat pertama buat belajar bilang ‘aku nggak ngerti, tapi aku dengerin’.”
Kami mengangguk. Setiap kalimat terasa seperti pelajaran yang diramu dari puluhan malam panjang, dari puluhan makan malam yang tak selesai sempurna, dan dari detik-detik hening yang kami biarkan berbicara sendiri.
Di forum keluarga minggu itu, kami menulis masing-masing satu kalimat harapan.
Ayah menulis: “Semoga rumah ini cukup hangat untuk kamu yang ingin pulang, dan cukup kuat untuk kamu yang ingin berjuang.”
Ibu menulis: “Kalau nanti kalian pergi, bawa pulang kebiasaan kita duduk dan dengar.”
Bima menulis: “Rumah ini tetap norak, tapi nyaman. Kayak sweater kesayangan yang jelek tapi lo nggak mau buang.”
Aku menulis: “Semoga nanti kalau aku punya rumah sendiri, aku ingat bahwa tempat pulang bukan bangunan, tapi hati yang saling menampung.”
Kami menempel semua harapan itu di pintu lemari es. Tempat yang setiap hari kami buka, bahkan saat sedang malas bicara.
Dan malam itu, saat Ibu menutup jendela dan mematikan lampu, ia berkata pelan, “Terima kasih sudah memilih tetap tinggal, bahkan saat kita saling lelah.”
Aku menjawab, “Terima kasih sudah menciptakan rumah yang membuat lelah tetap ingin pulang.”
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak hanya menulis.
Aku bersyukur.
Karena kini aku tahu, rumah tidak harus sempurna. Cukup jadi tempat di mana kita bisa saling jujur, dan tetap dicintai.
Bahkan saat kita tidak sepakat.
Beberapa hari kemudian, rumah kami kedatangan tamu: sepupu dari luar kota yang baru saja bercerai.
Ia duduk di ruang tamu, matanya sembap, mulutnya enggan bicara.
Ibu menyeduh teh manis dan meletakkannya di meja. “Kalau nggak mau cerita, nggak apa-apa. Tapi di sini, kamu boleh diam tanpa ditanya-tanya.”
Sepupuku menatap kami. Lalu air matanya tumpah. “Aku cuma pengen duduk bareng orang-orang yang nggak saling menyakiti.”
Ayah menatapku, lalu berkata pelan, “Di sini, kita saling belajar. Bukan karena udah paham semua. Tapi karena pengen ngerti satu sama lain.”
Sepupuku tinggal tiga hari. Selama itu, kami tidak banyak bicara. Tapi ia selalu duduk saat makan, ikut tertawa saat Bima melawak, ikut diam saat Ayah membaca koran keras-keras sambil protes soal iklim politik.
Dan saat ia pulang, ia memeluk Ibu lama sekali. “Aku pengen bikin rumah yang kayak gini juga.”
Malam itu, Ibu berkata, “Ternyata, rumah kita bukan cuma tempat tinggal. Tapi bisa jadi tempat meneduh sementara orang lain pulang.”
Aku mencatatnya:
“Rumah yang sehat bukan rumah tanpa pertengkaran. Tapi rumah yang setelah bertengkar, tetap sedia ruang duduk.”
Dan pagi esoknya, saat aku membuka jendela dan melihat matahari menyentuh lantai keramik ruang tengah, aku tahu—tanpa perlu dialog:
Kami belum selesai belajar.
Tapi kami sudah cukup untuk jadi tempat belajar bagi orang lain.
Dan mungkin, itu makna keluarga sebenarnya.
Bukan hanya yang tinggal di bawah satu atap.
Tapi yang memilih tetap bicara, tetap duduk, dan tetap mendengar.
Meskipun tidak selalu sepakat.
Beberapa minggu kemudian, kami menyelenggarakan “Malam Cerita” di rumah. Semua boleh hadir—tetangga, teman Bima, ibu-ibu arisan, bahkan Pak RT.
Di halaman belakang, kami gelar tikar. Lampu hias menyala redup. Makanan sederhana: singkong goreng, teh panas, dan kerupuk.
“Boleh cerita apa aja,” kata Bima saat membuka acara. “Lucu, sedih, atau yang belum pernah kalian ceritain ke siapa-siapa.”
Seorang anak kecil maju dan cerita soal mimpinya ketemu dinosaurus. Disusul tetangga yang curhat soal kucingnya yang kabur tiga hari. Lalu seorang bapak yang mengaku pernah hampir cerai, tapi batal karena istrinya lupa bawa koper saat kabur.
Tawa pecah. Tapi di antara tawa itu, ada kesadaran yang tumbuh pelan-pelan: setiap orang menyimpan sesuatu. Dan rumah, dengan segala kekurangannya, bisa jadi tempat cerita itu tumbuh dan terdengar.
Saat giliran kami, Ibu berdiri.
“Aku nggak pernah nyangka rumah ini bisa seramai ini. Dulu aku takut kami nggak bisa bertahan. Tapi ternyata... luka yang kami punya justru membuat rumah ini lebih luas.”
Ayah menambahkan, “Kami nggak sempurna. Tapi kami belajar satu hal: rumah bukan tempat untuk benar. Tapi tempat untuk jadi manusia.”
Dan malam itu, di bawah lampu yang mulai redup dan angin yang pelan, aku menatap semua yang hadir—dan merasa:
Kami pernah pecah. Tapi sekarang kami utuh.
Dan aku menulis paragraf terakhir untuk bab ini:
“Yang membuat rumah jadi rumah bukan jumlah ruangannya, bukan siapa yang membangunnya. Tapi siapa yang tetap tinggal, meski pernah saling melukai. Dan tetap memilih duduk—meski tidak selalu sepakat.”
Lalu aku tutup jurnalku.
Dan membuka hati lebih lebar.
Karena perjalanan keluarga kami belum selesai.
Tapi malam itu, kami tahu satu hal pasti:
Kami akan terus bicara. Terus mendengar.
Dan terus pulang.
Keesokan paginya, halaman rumah masih penuh jejak tikar, cangkir plastik, dan tawa semalam yang belum benar-benar hilang dari udara.
Bima keluar sambil menguap lebar. “Malam kemarin kayak festival.”
Aku mengangguk. “Tapi yang lebih penting, itu malam di mana kita benar-benar jadi keluarga.”
Ayah duduk di kursi rotan, menyesap kopi pelan. “Aku nggak tahu ternyata diam kita dulu bisa berubah jadi cerita yang dibagikan bareng-bareng.”
Ibu menatap kami semua. “Dulu rumah ini hanya tempat pulang. Sekarang, rumah ini jadi tempat semua orang merasa boleh bicara.”
Kami kembali menyusun meja makan, mengganti taplak yang sempat terkena saus, menata kursi, dan membersihkan sisa kertas catatan.
Dan saat semua selesai, kami duduk lagi.
Tidak ada acara.
Tidak ada forum.
Hanya duduk.
Dan tahu, tanpa perlu kata-kata:
Kami sampai di titik ini bukan karena kami sepakat dalam segalanya.
Tapi karena kami belajar untuk tetap duduk, bahkan ketika kami tidak sependapat.
Dan aku menulis:
“Kadang yang dibutuhkan rumah bukan solusi. Tapi ruang. Untuk diam. Untuk bicara. Untuk beda. Tapi tetap satu meja.”
Lalu aku menutup bukuku.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama...
Aku merasa damai.
Ada hari-hari yang datang dengan pelan.
Tidak dengan dentuman, tidak dengan kejutan. Tapi masuk seperti angin pagi—lembut, tapi mengubah seluruh suhu rumah.
Hari itu, Ibu batuk lebih keras dari biasanya.
Bima yang pertama kali dengar, langsung masuk ke kamar dan memanggilku. “Kayaknya Ibu harus dicek. Bukan batuk biasa.”
Aku bangun tergesa, langsung menghampiri. Ibu sedang duduk di ranjang, memegang dadanya sambil tersenyum lemah.
“Enggak apa-apa, Dit. Cuma masuk angin,” katanya.
Tapi wajahnya pucat. Tangannya dingin.
“Bu, kita ke puskesmas sekarang, ya?”
Ibu menggeleng. “Nanti sore saja. Sekarang masih banyak cucian.”
Ayah muncul dari dapur, melihat kami semua dalam kamar, dan bertanya, “Ada apa?”
“Ibu nggak enak badan,” jawabku. “Tapi nggak mau ke dokter.”
Ayah duduk di sisi ranjang. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menggenggam tangan Ibu. Lama. Sampai Ibu pelan-pelan menunduk dan mengangguk.
“Baik. Sore ini kita periksa.”
Pagi itu berubah menjadi siang yang hening. Kami semua berjalan dengan langkah pelan. Tidak ingin menambah kegelisahan.
Dan ketika sore datang, kami pergi bersama. Bukan dengan sirine, bukan dengan panik. Tapi dengan pelan. Seperti cara kami belajar mencintai akhir-akhir ini: tenang, tapi penuh perhatian.
Aku tidak tahu hasilnya apa.
Tapi saat kami pulang, aku merasa seperti pulang dari tempat yang menguji: seberapa siap kami untuk benar-benar menyembuhkan?
Dan malam itu, kami duduk lagi di ruang tengah.
Ibu berkata pelan, “Aku nggak takut sakit. Aku cuma takut nggak sempat pamit.”
Ayah menggenggam lebih erat. “Kita akan pastikan, semua pamitmu tersampaikan—dengan peluk.”
Dan aku tahu, malam itu kami tidak sedang meratap.
Kami sedang menyembuhkan. Pelan-pelan.
Dengan kata. Dengan kehadiran.
Dengan duduk yang tidak buru-buru pergi.
Hari-hari setelah kunjungan ke puskesmas berubah jadi rutinitas baru. Kami mulai mencatat jadwal obat, giliran antar kontrol, dan kapan terakhir Ibu cukup istirahat.
“Aku bikin chart vitamin,” kata Bima dengan bangga. “Setiap minum, kita centang. Kalau sampai penuh satu minggu, Ibu dapat hadiah.”
“Hadiah apa?” tanya Ibu tertawa kecil.
“Dipeluk lebih lama,” jawab Bima.
Ayah menyusun ulang jadwal pekerjaannya. “Dua hari dalam seminggu aku kerja dari rumah. Jadi bisa jagain Ibu dan tetap koordinasi.”
Aku, tanpa diminta, mulai menyiapkan makanan hangat setiap pagi. Nasi lembut, sup ayam, kadang teh jahe yang rasanya terlalu kuat tapi katanya bagus buat stamina.
Dan di antara semua perubahan itu, tidak ada yang merasa terbebani. Karena kami tahu: ini bukan soal kewajiban. Ini soal kesempatan.
Kesempatan untuk hadir sebelum kehilangan.
Suatu malam, Ibu meminta kami duduk bersama di kamar.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti,” katanya. “Tapi aku ingin kalian tahu, aku bahagia.”
Kami semua diam.
“Aku bahagia bukan karena aku nggak sakit. Tapi karena aku nggak sendiri.”
Ayah menggenggam tangan Ibu. “Kamu nggak akan pernah sendiri.”
Bima meletakkan kepalanya di paha Ibu. “Aku belum siap, Bu. Tapi aku mau belajar siap. Asal bareng-bareng.”
Aku menulis malam itu:
“Penyembuhan kadang bukan soal hilangnya rasa sakit. Tapi tentang siapa yang tetap duduk di sisimu saat sakit itu datang.”
Dan malam-malam berikutnya, kami tidak lagi berbicara soal gejala. Tapi soal mimpi. Ibu ingin suatu hari nanti punya kebun kecil. Ayah ingin menulis memoar. Bima ingin buat film pendek tentang keluarga absurd.
Dan aku… aku ingin merekam semuanya.
Bukan dengan kamera.
Tapi dengan kata-kata.
Karena aku tahu, tidak semua cerita bisa ditangkap lensa. Tapi bisa tinggal lama dalam kalimat yang ditulis dengan hati.
Beberapa hari kemudian, Ibu mulai menulis di buku kecil.
“Aku ikut-ikutan nulis kayak kalian,” katanya sambil tersenyum. “Tapi ini bukan buat dibaca siapa-siapa. Ini buatku.”
Tapi suatu malam, buku itu tertinggal di meja. Dan kami semua membacanya—dengan izin, tentu saja.
Halaman pertama berbunyi:
“Aku bukan ibu yang sempurna. Aku sering marah, sering lupa, sering cerewet. Tapi setiap malam sebelum tidur, aku berdoa semoga anak-anakku tahu: aku mencintai mereka sepenuh-penuhnya, walau aku tak selalu bisa menunjukkannya dengan tepat.”
Aku membaca sambil menggenggam tangan Ibu. “Kami tahu, Bu. Dan kami tetap sayang.”
Ibu hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Ayah memutuskan untuk mulai memasak seminggu sekali. “Biar kamu istirahat total. Dan biar aku tahu susahnya masak tanpa MSG.”
Hari pertama hasilnya mengejutkan: nasi agak keras, ayam terlalu asin, tapi kami semua makan dengan lahap.
“Ini bukan masakan,” kata Bima. “Ini adalah bentuk cinta yang belum matang.”
Kami tertawa, dan Ayah juga ikut tertawa. Ibu hanya berkata, “Masakanmu membuatku ingat awal pernikahan kita. Gagal total, tapi manis.”
Dan malam itu, kami berkumpul di ruang tengah, hanya untuk saling bacakan catatan kecil.
Bima membaca: “Kalau Ibu capek, biar aku yang nyapu. Tapi aku minta snack tambahan.”
Aku membaca: “Aku akan menulis tentang kita. Supaya dunia tahu, rumah juga bisa sembuh pelan-pelan.”
Ayah membaca: “Keluarga adalah doa panjang yang tak pernah selesai diucapkan.”
Dan Ibu membaca: “Terima kasih karena tak membiarkanku sembuh sendirian.”
Malam itu, tidak ada pelukan. Tapi kami tahu: kami sedang saling memeluk.
Dengan hadir. Dengan duduk.
Dan dengan tidak buru-buru membenarkan.
Seminggu kemudian, rumah terasa lebih hidup dari biasanya. Bukan karena suara yang lebih ramai, tapi karena semua mulai bergerak dengan hati.
Bima belajar memasak dari video daring. Hari itu ia mencoba bikin bubur kacang hijau.
“Kalau ini enak, aku ganti cita-cita. Jadi chef,” katanya.
Saat kami cicipi hasilnya, kami semua diam. Manisnya terlalu kuat, dan kacangnya masih agak keras.
“Tapi niatmu lembut,” kata Ibu.
Kami tertawa. Dan aku menulis:
“Kadang yang menyembuhkan bukan hasilnya, tapi usahanya.”
Ibu mulai bisa berjalan ke halaman lagi. Kami bantu taruh kursi lipat di bawah pohon mangga yang mulai tumbuh daunnya.
“Di sini enak,” katanya. “Aku bisa lihat rumah kita dari sudut lain.”
Kami duduk menemani. Ayah dengan buku, aku dengan jurnal, Bima membawa semangka dingin. Tak banyak kata. Tapi rasanya cukup.
Lalu Ibu berkata, “Kalau nanti aku sembuh, aku pengen nulis buku tentang rumah ini. Bukan kisah sempurna, tapi kisah bertahan.”
Aku tersenyum. “Aku bisa bantu sunting, Bu.”
“Dan aku ilustrasinya!” seru Bima.
“Aku sponsornya,” ujar Ayah. “Dengan syarat, jangan tulis soal ayam gosong minggu lalu.”
Mereka tertawa. Aku hanya menatap mereka, lalu menunduk dan menulis di jurnal:
“Kami menyembuhkan bukan karena kami tahu caranya. Tapi karena kami percaya—setiap luka bisa jadi akar, kalau disirami cinta.”
Dan sore itu, di bawah pohon yang kami tanam bersama, kami belajar: pelan-pelan juga bisa sampai.
Asal tidak sendirian.
Pada malam Jumat, kami berkumpul untuk pertama kalinya tanpa agenda. Hanya duduk. Karena ingin. Bukan karena perlu.
Ayah membawa permainan papan usang yang dulu sering kami mainkan waktu kecil.
“Masih ingat?” tanyanya.
Bima mengangguk, “Ini papan yang bikin aku nangis karena kalah terus.”
“Dan aku yang selalu menang karena curang,” kata Ayah bangga.
Kami tertawa. Tapi tawa itu bukan dari lelucon—melainkan dari ingatan. Dari rasa yang masih tinggal meski waktu sudah jauh lewat.
Kami main satu putaran. Bima menang. Ibu tertawa sampai matanya berair. Dan aku hanya duduk memandangi mereka.
Malam itu, langit cerah. Bintang banyak.
“Kalau Ibu boleh minta satu hal dari langit malam ini,” katanya, “aku mau waktu berhenti sebentar.”
“Biar kita bisa duduk lebih lama?” tanyaku.
“Biar aku bisa lebih lama jadi bagian dari ini,” jawabnya.
Kami semua diam.
Aku menggenggam tangannya. “Ibu nggak akan pergi ke mana-mana.”
Ia menatapku. “Aku tahu, tapi tubuh manusia nggak bisa janji.”
Ayah mendekat. “Tapi cinta kita bisa. Cinta kita nggak akan ninggalin siapa pun di rumah ini.”
Dan malam itu, aku menulis:
“Cinta yang paling kuat bukan yang bersuara paling keras. Tapi yang tetap duduk bahkan saat semua lampu padam.”
Dan aku tahu, kami mungkin tidak bisa menyembuhkan semua. Tapi kami bisa membuat satu sama lain merasa cukup.
Dan itu, kadang, lebih menyembuhkan dari apa pun.
Keesokan harinya, kami menemukan Ibu duduk di dapur lebih pagi dari biasanya. Ia sedang memegang mug yang biasa ia pakai saat sedang banyak pikiran.
“Pagi, Bu,” sapa Ayah.
“Pagi,” jawabnya. “Aku cuma lagi mikir. Bukan sedih.”
Kami duduk di sekelilingnya.
“Aku mikir,” katanya pelan, “dulu kita bisa sekamar sempit berlima waktu masih susah. Tapi justru waktu itu rasanya lebih dekat.”
Bima mengangguk. “Soalnya waktu itu, kalau ada yang batuk, semua dengar.”
Kami tertawa. Tapi kami tahu, Ibu sedang bicara tentang hal yang lebih dalam.
“Sekarang kita punya lebih banyak ruang. Tapi jangan sampai hati kita jadi jauh,” katanya.
“Makanya kita duduk bareng kayak gini,” jawab Ayah. “Biar jarak nggak cuma soal meter, tapi juga rasa.”
Hari itu, kami sepakat memulai satu kebiasaan baru: duduk lima menit setiap hari, tanpa ponsel, tanpa gangguan.
Kadang kami tidak bicara.
Kadang hanya menatap.
Kadang hanya saling genggam.
Tapi lima menit itu cukup untuk mengingatkan bahwa kami hadir. Bahwa kami mendengar, meski tidak selalu menjawab.
Dan ketika malam tiba, kami tidak menyalakan TV. Kami hanya duduk, dan Bima mulai bermain gitar pelan.
Ibu menyenandungkan lagu lama. Ayah mengikuti dengan suara yang sumbunya khas. Aku menutup mata. Dan kami semua hanyut.
Dan malam itu, aku menulis:
“Kami belum sembuh sepenuhnya. Tapi kami tidak lagi takut sakit. Karena kami tahu, selama kami saling duduk, saling dengar, dan saling peluk dalam bentuk apa pun—kami sedang menyembuhkan, pelan-pelan.”
Dan dari pelan-pelan itulah, rumah kami bertahan.
Dengan cara yang tidak sempurna.
Tapi penuh cinta.