Bowo pulang bukan buat aku. Tapi buat kursi.
Kursi bambu tua yang dulu kita pakai buat duduk diem-diem, waktu dunia rasanya cukup segelas es dawet dan kamu nggandeng tanganku di balik dapur simbah. Waktu belum ada notifikasi yang nyalain rasa curiga, dan “aku kangen” masih cukup diucap lewat coretan di bungkus permen.
Orang bilang, waktu bisa menyembuhkan. Tapi desa kami nggak pernah benar-benar sembuh dari gosip yang terlalu rajin. Dan aku... ya, aku cuma salah satu dari banyak perempuan yang pernah nunggu, lalu pura-pura lupa cara menunggu.
“Sar, Bowo wis bali. Nggoleki kursi sing mbiyen nang pawon kae,” kata Mbah Tuni pagi itu sambil ngunyah rempeyek di depan warung.
Aku yang lagi nyapu halaman cuma ngangguk. Dalam hati, selembar kenangan jatuh ke tanah, berserakan kayak daun jati yang kelamaan nempel di ranting. Kursi itu sekarang ada di dapur. Reot, ganjelan batanya udah mulai miring. Tapi masih kokoh buat duduk sendiri, sambil ngopi dan denger suara radio tua.
Bowo dulu bilang, kalau kursi itu satu-satunya benda yang bisa dengerin kita bertengkar, diam, dan sayang-sayangan, semuanya tanpa komentar.
Sudah sepuluh tahun lebih dia pergi. Katanya mau cari kerja, cari pengalaman, cari “modal”. Tapi yang dia tinggalin cuma kartu nama dan sepotong janji yang luntur kena hujan surat tak dibalas.
Aku nggak nanya banyak. Karena di desa, semakin banyak tanya, semakin panjang jawaban yang nyakitin.
Malam harinya, aku duduk di teras. Langit mendung. Radio tetangga muter lagu campursari lawas. Ada aroma tempe goreng dan kopi item dari dapur.
“Sar...” suara itu pelan, seperti takut mengganggu angin.
Aku menoleh. Dia berdiri di pagar, masih pakai jaket abu-abu yang dulu dia pinjemin waktu nonton wayang semalam suntuk.
“Aku cuma mau liat kursi itu. Katanya di situ aku ninggalin sesuatu.”
“Kursinya masih ada. Tapi udah jadi tempat jemur kerupuk,” jawabku. Datar. Tapi jantungku nggak.
Dia nyengir. Masih senyum yang sama. “Yah... kerupuk penting. Tapi suratku mungkin lebih penting.”
Kami diam. Ada sesuatu yang menggantung. Bukan cuma kenangan, tapi juga kemungkinan.
“Besok pagi... boleh aku ke dapur?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. “Boleh. Tapi jangan lupa bawa ganjelan baru. Yang lama udah nggak kuat.”
Dia tertawa kecil. Aku juga. Lalu malam benar-benar sunyi. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, sunyi itu terasa cukup.
Pagi-pagi sekali, aku sudah di dapur. Bukan karena nungguin dia, tapi karena kerupuk yang dijemur kemarin sudah harus dibalik biar nggak alot.
Tapi jujur, tanganku bolak-balik ngelirik ke arah pintu belakang.
Sekitar jam tujuh, langkah kakinya terdengar. Aku kenal betul langkah itu. Nggak buru-buru, tapi juga nggak pelan-pelan amat. Langkah orang yang berani balik tapi belum siap ditanya.
“Permisi...” suaranya muncul dari balik pintu, kayak anak kecil yang mau minta maaf habis mecahin kendi.
“Masuk aja, Wo. Dapur ini bukan ruang sidang.” Aku nggak menoleh, sibuk ngaduk kopi di cangkir retak.
Dia duduk pelan di kursi bambu yang sudah kuletakkan di tengah dapur. Wajahnya menatap kursi itu seolah sedang ngeliat masa lalu yang belum selesai dikemas.
“Masih keras ya kayunya,” katanya sambil duduk.
“Nggak sekeras hati yang ditinggal.”
Dia ngakak. Aku ikut senyum tipis. Tapi jantungku masih nggak karuan.
“Kamu tahu nggak, Sar... waktu pertama aku ke kota, aku kira bakal jadi orang besar. Tapi yang kutemui malah sepi yang panjang. Kos yang sempit, kerjaan yang bikin lupa Sabtu, dan teman-teman yang ngomongnya cepat tapi hatinya jauh.”
Aku menaruh cangkir di meja. Duduk di bangku kecil dekat kompor.
“Terus kamu kenapa balik?”
Dia menatapku. “Karena satu-satunya tempat yang bisa nerima aku pulang tanpa nanya-nanya macam-macam ya cuma kursi ini. Dan mungkin... kamu.”
Aku terdiam. Udara dapur tiba-tiba padat. Di luar, suara ayam berkokok seperti musik latar dari Tuhan.
Kami ngobrol. Tentang Jakarta, tentang kerupuk, tentang tetangga yang sekarang jualan online. Semuanya ngalir seperti air teh manis yang nggak pernah kehabisan gula.
Lalu, dia buka tasnya. Ngambil satu map plastik. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas, peta desa, dan... foto kami berdua waktu SMA, duduk di kursi yang sama, senyum kayak orang yang belum kenal kecewa.
“Aku mau bikin semacam warung kopi kecil, Sar. Di sini. Di rumah ibu. Tapi aku pengen ada kursi ini di sana. Buat orang-orang yang pengen duduk tanpa ditanya, kayak dulu kita.”
Aku nggak langsung jawab. Tapi dalam hati, sesuatu mulai bergerak. Bukan cuma soal warung kopi. Tapi tentang kemungkinan-kemungkinan baru yang nggak harus buru-buru diputuskan.
“Kursinya boleh kamu bawa. Tapi dengan satu syarat.”
Dia menaikkan alis. “Apa?”
“Kursi itu harus tetap bisa dengerin orang diam. Dan kamu harus tetap inget cara dengerin, bukan cuma ngomong.”
Dia tersenyum. “Aku belajar, Sar. Pelan-pelan. Tapi aku nggak lari lagi.”
Kami diam lagi. Tapi seperti sebelumnya, diam itu cukup. Dan kursi bambu itu... kembali jadi saksi, bukan cuma dari masa lalu, tapi dari awal yang mungkin.
Sejak pagi itu, Bowo jadi lebih sering kelihatan. Kadang duduk di bale desa, kadang di warung kopi dekat lapangan, kadang malah nongkrong sama anak-anak kecil bantuin bikin layangan.
Tapi tiap sore, dia mampir ke rumah. Awalnya alasan klasik: mau liat kursi. Lama-lama alasan itu nggak penting lagi.
Kami mulai ngobrol lebih lama. Tentang hal-hal kecil yang dulu nggak pernah sempat ditanya. Misalnya, kenapa aku nggak pernah pindah dari desa, atau kenapa dia dulu nggak pernah kirim kabar.
“Aku takut kamu marah,” katanya suatu hari. “Dan takut aku malah ganggu kamu buat bahagia.”
Aku menatapnya sambil nyuap nasi megono. “Aku marah. Tapi ya tetap makan tiga kali sehari. Tetap hidup. Marah bukan berarti nggak bisa bahagia, Wo.”
Dia tertawa pelan. “Sari masih suka ngasih jawaban yang bikin aku mikir semalaman.”
Kadang kami duduk di depan rumah, hanya memandangi jalanan yang sepi. Satu dua sepeda motor lewat, suara jangkrik mulai bersahutan, dan dari dapur, bau gorengan Mbah Tuni sering ikut masuk ke hidung.
Suatu malam, listrik padam. Senter di kepala aku hidupkan, dan kami duduk di kursi bambu itu dengan lampu minyak kecil di meja.
“Dulu aku kira kamu bakal nikah sama Pak Lurah,” katanya mendadak.
Aku nyengir. “Pak Lurah nikahnya sama bidan. Aku cuma pernah pinjam motornya waktu SIM-ku mati.”
Dia tertawa keras. Lalu suasana mendadak hening lagi. Tapi hening yang penuh.
“Kalau kita mulai lagi, Sar...” bisiknya. “Menurutmu, apa bakal terlalu aneh?”
Aku menoleh pelan. “Aneh itu kalau kamu ngajak aku nikah langsung minggu depan. Tapi kalau mulai dari ngobrol, nanem cabai bareng, atau bagi gorengan, ya... mungkin nggak terlalu aneh.”
Dia menatapku lama. Matanya nggak lagi canggung. Tapi penuh harapan.
Malam itu, aku nulis di buku catatanku yang udah lama kosong: “Terkadang, yang kita butuhkan bukan cinta baru. Tapi keberanian buat duduk lagi di tempat yang pernah kita tinggalkan, dan belajar bicara dari awal.”
Desa Karang Dowo mulai berubah sejak Bowo pulang. Bukan karena ia membawa uang banyak atau proyek besar, tapi karena ia membawa obrolan-obrolan yang lama hilang. Warga yang biasanya hanya ngobrol soal pupuk dan harga cabai, sekarang mulai bicara tentang mimpi dan masa lalu.
Warung kopi milik Bu Saminah pun jadi lebih rame. Katanya, sejak Bowo mulai bantu-bantu di sana, banyak ibu-ibu yang “kebetulan” mampir buat beli kopi bubuk, padahal jelas-jelas mereka nggak punya alat seduh.
Mbah Tuni tentu tak ketinggalan. Setiap sore, ia duduk di pojok warung sambil nyerocos ke siapa saja yang sudi dengar. Dan tentu, cerita favoritnya adalah soal kursi bambu yang katanya “keramat” itu.
“Kursi kuwi saksi sejarah, lho,” katanya di suatu sore. “Saksi anak muda pacaran, saksi lamaran gagal, saksi gorengan gosong, Lengkap.”
Aku hanya tertawa. Kadang jengkel juga, tapi tak bisa menyangkal: kursi itu memang punya cerita.
Suatu hari, Bowo mengajakku ke rumah ibunya yang sekarang kosong. Rumah itu mungil, dindingnya masih bau kayu tua, dan jendela-jendelanya dibuka lebar-lebar seperti menanti seseorang.
“Aku mau mulai dari sini,” katanya sambil menunjukkan denah kecil warung impiannya.
“Nama warungnya apa?” tanyaku sambil melihat-lihat sekitar.
Dia tersenyum. “Warung Wening.”
Aku mengangguk. “Pakai kursi bambu?”
“Pakai. Kursi itu bakal jadi pojok paling adem. Buat siapa pun yang capek tapi nggak pengen banyak ditanya.”
Kami mulai bersih-bersih. Menyapu halaman, membetulkan genteng bocor, mengecat pagar. Sore-sore, anak-anak kecil sering bantuin dengan semangat, asal dibayar es lilin.
Satu sore, saat mengecat dinding, tanganku kena cipratan cat. Aku refleks nyapuin ke lengan Bowo.
“Eh!” dia protes. Tapi malah bales nyiprat ke pipiku.
Kami tertawa keras. Di tengah tawa itu, ada suara dari belakang: suara motor berhenti dan seseorang memanggil namaku.
“Sari?”
Aku menoleh. Lelaki tinggi, berkulit cerah, berdiri sambil membawa map besar. Matanya menatapku kaget.
“Jadi bener kamu masih di sini...”
Bowo berdiri pelan. Tidak berkata apa-apa. Aku pun terdiam. Lelaki itu adalah Wira, teman kuliah yang dulu sempat dekat. Sempat hampir dilamar. Tapi waktu, seperti biasa, membawa arah yang berbeda.
“Maaf ganggu,” katanya kaku. “Aku cuma mau ngasih undangan nikah. Istriku pengen kamu datang.”
Aku menerima undangan itu. Mataku sekilas melihat namanya berdampingan dengan nama perempuan lain. Rasanya aneh, tapi tidak menyakitkan. Mungkin karena hatiku sudah punya tempat duduk baru.
Setelah Wira pergi, Bowo masih diam. Aku mendekatinya dan duduk di kursi bambu yang kami bawa dari rumahku.
“Gak apa-apa, Sar?”
Aku mengangguk. “Aku nggak pernah benar-benar nunggu dia. Tapi kursi ini... aku simpan karena masih ada yang belum selesai. Dan mungkin, sekarang... sudah waktunya.”
Bowo menggenggam tanganku. “Kalau begitu, boleh aku yang duduk di sebelahmu lebih lama?”
Aku tersenyum. “Boleh. Tapi kamu harus tetap bantu bersihin ayam tetangga kalau kabur ke sini.”
Kami tertawa. Di balik dinding rumah tua itu, masa lalu dan masa depan akhirnya duduk berdampingan.
Hari pembukaan Warung Wening tiba. Langit mendung, tapi hati warga cerah. Ibu-ibu datang pakai daster terbaik, bapak-bapak duduk di tikar sambil nyeruput kopi. Anak-anak lari-lari sambil teriak minta gorengan gratis.
Kursi bambu itu diletakkan di sudut pojok, di bawah jendela lebar yang menghadap sawah. Ada papan kecil di atasnya bertuliskan: “Kalau kamu capek, duduk dulu.”
Bowo pakai kemeja putih. Aku masak singkong goreng dan teh tubruk, dibantu Bu Saminah yang bolak-balik cerita soal masa muda. Semuanya terasa hangat meski angin semilir cukup menusuk kulit.
Waktu pidato kecil dimulai, Bowo berdiri di depan. Suaranya tenang, tapi matanya mencari-cari aku di kerumunan.
“Warung ini bukan hanya tempat jualan kopi. Ini tempat buat siapa pun yang pengen diam tanpa diinterogasi. Tempat buat mereka yang pengen istirahat dari dunia yang ribut. Dan kursi itu... adalah awal dari semua ini.”
Orang-orang bertepuk tangan. Aku menunduk, menahan haru.
Setelah semua tamu pulang, kami berdua duduk di kursi bambu itu. Tak ada lagi ganjelan bata. Sudah diganti kayu baru yang lebih kokoh.
“Hari ini rame banget, ya,” kataku.
“Iya. Tapi yang paling aku tunggu ya saat ini. Saat kita duduk berdua, tanpa siapa-siapa.”
Aku menyandarkan kepala di bahunya. Angin sore membelai pelan. Sawah di depan kami mulai menguning. Hari akan berganti, tapi sore ini... biarlah tinggal sedikit lebih lama.
“Sar,” bisiknya. “Aku nggak minta semuanya langsung jelas. Tapi kalau kamu masih mau... aku ingin kita bangun rumah, bukan hanya warung. Rumah tempat kita bisa duduk, marah, diam, dan saling ngerti, tanpa harus selalu ngerti.”
Aku tak menjawab. Hanya menggenggam tangannya erat.
Di dalam genggaman itu, tak ada janji. Tapi ada keberanian untuk mencoba. Untuk duduk lebih lama. Untuk tidak terburu-buru pulang.
Malamnya, sebelum tidur, aku membuka kembali buku catatan yang lama kusimpan.
Kali ini, aku menulis: “Cinta itu bukan tentang siapa yang datang paling cepat. Tapi siapa yang berani duduk paling lama.”
Beberapa minggu setelah pembukaan warung, hidup kami berjalan dengan irama baru. Tidak heboh, tidak juga datar. Ada percikan-percikan kecil yang membuat tiap hari punya warna.
Setiap pagi, aku bangun lebih awal, nyeduh teh, menyiapkan singkong, dan menyapu halaman. Bowo biasanya datang sambil bawa roti sisa dari Bu Saminah, atau kadang cuma bawa cerita dari pinggir sawah.
“Tadi aku ketemu Pak Giman,” katanya suatu pagi. “Dia bilang warung kita cocok buat tempat pensiunan.”
Aku tertawa. “Warung apa panti jompo?”
“Ya bisa dua-duanya. Asal kopinya tetap kental.”
Hari-hari itu terasa seperti surat yang tak perlu dikirim, cukup dibaca berdua.
Kadang kami diam cukup lama, hanya menatap sawah dan langit yang berubah warna. Dan dalam diam itu, aku sadar, tak semua cinta butuh kalimat panjang.
Suatu siang, datang anak kecil bernama Kirana. Usianya sekitar tujuh tahun, rambutnya dikuncir dua, dan giginya ompong sebelah.
“Bu lik, boleh duduk di kursi bambunya?” tanyanya malu-malu.
“Boleh dong. Tapi kamu harus duduknya pelan, jangan lompat.”
Dia mengangguk. Lalu duduk diam, benar-benar diam. Beberapa menit kemudian, dia bilang, “Aku duduk soalnya mamaku lagi marah. Katanya aku kebanyakan tanya.”
Aku duduk di sebelahnya. “Kadang orang dewasa juga bingung jawabnya. Tapi nanya itu nggak salah.”
Dia tersenyum. “Kalau gitu, boleh aku nanya satu lagi?”
“Boleh.”
“Kalau orang sayang, kenapa harus diem?”
Pertanyaan itu menusuk, lebih dalam dari yang bisa dijawab dalam satu kalimat. Tapi aku tahu, Kirana telah menemukan tempat aman. Dan kursi bambu itu... kembali jadi saksi baru.
Setelah Kirana pulang, aku menulis di papan kecil dekat pintu masuk:
“Di sini, kamu boleh duduk. Boleh nanya. Boleh diem. Asal kamu jujur sama hatimu sendiri.”
Malamnya, Bowo membaca tulisan itu dan memelukku dari belakang. Tak banyak kata. Tapi cukup untuk membuatku percaya: kami sedang membangun sesuatu yang benar.
Sore itu, hujan turun pelan. Tidak deras, hanya gerimis yang cukup untuk membuat atap warung kami menetes dengan irama malas.
Warung sepi. Hanya ada aku, Bowo, dan dua gelas teh yang sudah setengah dingin. Di luar, dedaunan basah dan aroma tanah menguar ke mana-mana.
“Sar,” kata Bowo tiba-tiba, “waktu kamu ulang tahun ke-21, aku sebenernya udah nulis surat. Tapi nggak pernah kukirim.”
Aku menoleh. “Kenapa?”
“Karena aku takut isinya nggak cukup.”
Dia mengeluarkan selembar kertas dari dompetnya. Sudah lusuh, ada noda air dan lipatan di sudut-sudutnya.
Ia membacanya pelan, seolah menyampaikan sesuatu dari Bowo yang dulu ke aku yang sekarang.
“Selamat ulang tahun, Sari. Aku nggak tahu kamu masih inget aku atau nggak. Tapi kalau iya, aku cuma pengen bilang: kamu adalah rumah yang belum sempat ku datangi.”
Aku menarik napas dalam. Suara hujan makin deras. Tapi di dalam dadaku, hujan itu seperti reda.
“Aku inget,” jawabku. “Bahkan sampai bau parfum kamu waktu itu.”
Kami tertawa kecil. Lalu diam. Tapi bukan diam karena canggung. Diam yang sudah sangat nyaman untuk diisi oleh napas dan detak jantung masing-masing.
Beberapa menit kemudian, seorang nenek tua masuk ke warung. Langkahnya pelan, wajahnya penuh kerut yang seperti peta perjalanan hidup.
“Saya lihat tulisan di papan tadi,” katanya sambil menunjuk ke pintu. “Boleh duduk di kursi bambunya?”
“Tentu,” jawabku. “Mau teh hangat juga?”
Ia mengangguk, lalu duduk. Tangannya menggenggam tas kain kecil, matanya menerawang jauh.
“Saya baru dari makam suami saya. Sudah dua tahun, tapi rasanya masih kayak kemarin.”
Tak ada yang menjawab. Tapi kami duduk di dekatnya, hanya mendengar. Kadang yang paling menyembuhkan bukanlah jawaban, tapi telinga yang bersedia diam.
Setelah ia pergi, Bowo menggenggam tanganku lagi. Kali ini lebih erat dari biasanya.
“Warung ini nggak cuma tempat jualan, Sar. Ini tempat kita belajar jadi manusia.”
Aku tersenyum. “Dan kursi bambu itu, mungkin sekarang sudah jadi guru buat banyak orang.”
Hari Jumat datang dengan aroma serabi dari rumah Bu Tumini dan suara kentongan dari Pak RT yang keliling ngajak gotong royong.
Warung Wening hari itu sepi. Mungkin karena semua sibuk bersih-bersih lapangan buat acara tujuh belasan minggu depan.
“Sar, ikut rapat pemuda nggak?” tanya Bowo sambil bawa dua gelas teh dari dapur.
“Lho, aku kan udah gak muda,” jawabku sambil nyengir.
“Masih muda di hati. Lagian katanya kamu dulu ketua seksi konsumsi. Masa sekarang nggak ikut?”
Aku akhirnya ikut, tentu sambil bawa keripik dan teh manis dalam termos. Di balai desa, sudah ada beberapa wajah yang familiar: Pak Lurah, Bu RW, Rian yang sekarang jaga parkir masjid, dan tentu saja... Mbah Tuni.
“Wah, iki Sari! Kowe sing tak tunggu-tunggu. Aku arep usul lomba joget kursi,” kata Mbah Tuni sambil duduk di tikar.
Rapat sore itu kacau tapi menyenangkan. Ada yang usul lomba panjat pinang, ada yang ngotot lomba makeup bapak-bapak. Tapi ketika aku usul lomba menulis surat untuk diri sendiri, ruangan mendadak hening.
“Surat? Untuk diri sendiri?” tanya Rian bingung.
“Iya. Bisa dibacain atau disimpan. Tema bebas. Biar anak-anak muda juga bisa belajar nulis dan ngobrol sama hatinya sendiri.”
Pak Lurah setuju. “Bagus. Kita butuh acara yang nggak cuma rame, tapi juga ninggalin makna.”
Malam harinya, aku dan Bowo duduk di teras warung, menatap langit. Bintang tak begitu banyak, tapi cukup untuk menemani obrolan kecil kami.
“Kamu bakal nulis surat juga?” tanyanya.
“Tentu. Kamu juga harus.”
“Aku bingung mau nulis apa.”
“Tulis aja yang belum sempat kamu bilang ke diri kamu sendiri.”
Dia terdiam. Lalu tiba-tiba berdiri, masuk ke warung, dan keluar lagi bawa satu buku kecil.
“Ini... boleh aku titip di kursi bambu?”
Aku mengangguk. Buku itu ia letakkan pelan di atas dudukan kursi, seolah sedang mempercayakan isi hatinya pada benda yang sudah lama diam tapi selalu mendengar.
Beberapa hari kemudian, ada anak-anak yang iseng duduk di kursi itu dan membuka buku itu. Mereka tidak paham isinya, tapi mereka diam. Sejenak, warung jadi hening. Bahkan gorengan berhenti berdesis.
Aku tahu, kursi bambu itu kini bukan hanya milik kami. Tapi milik semua orang yang sedang belajar bicara dengan orang lain, atau dengan dirinya sendiri.
Pagi-pagi benar, suara kentongan ronda masih menggema ketika aku melihat Bowo sudah menyapu halaman warung.
“Kok rajin amat?” tanyaku sambil membawa termos.
“Katanya biar rezeki nggak salah alamat,” jawabnya dengan senyum lebar.
Kami sarapan bareng. Nasi jagung, ikan asin, dan sambal tomat yang pedasnya bikin ingus lari duluan. Di tengah sarapan, datang Pak Guru Tamin, guru SD paling sabar se-desa.
“Sar, Wo, aku boleh minta izin pake warung buat kumpulan anak-anak besok sore? Mau coba bikin kelas sore sambil ngopi buat orang tuanya,” katanya.
Tanpa pikir panjang, kami mengangguk. Aku tahu betul, Pak Tamin sering jadi satu-satunya alasan anak-anak tetap semangat sekolah.
Besoknya, warung jadi rame bukan karena pembeli, tapi karena tawa anak-anak. Mereka duduk lesehan, buka buku, ada yang gambar, ada yang nulis puisi. Orang tua mereka duduk di kursi bambu atau bangku kayu lainnya, ngobrol pelan sambil minum teh.
Kirana datang lagi. Kali ini bawa gambar besar warna-warni. “Tante Sari, ini kursinya. Aku gambar pakai pelangi biar nggak kelihatan tua.”
Aku tersenyum dan memeluk dia. “Kursi ini nggak tua. Dia cuma banyak cerita.”
Di pojok warung, Bowo terlihat sibuk bantu Pak Tamin menempel hasil gambar ke papan. Lalu matanya mencari aku. Tatapan yang tidak tergesa, tapi penuh percaya.
Sore itu, sebelum pulang, salah satu bapak menghampiriku. Ia pegangan pundak anaknya.
“Saya baru sadar, sudah lama nggak duduk bareng anak saya tanpa suara TV atau HP,” katanya pelan. “Makasih ya, Warung Wening.”
Aku hanya tersenyum. Kata-kata itu cukup membuat hatiku hangat semalaman.
Dan malam itu, sebelum tidur, aku menulis lagi di catatanku:
“Kadang yang dibutuhkan bukan ruang besar. Tapi tempat kecil yang mengizinkan kita diam bersama. Tanpa takut dibilang salah.”
Beberapa hari kemudian, hujan turun nyaris tanpa jeda. Jalanan becek, daun-daun saling bersandar karena berat air, dan warung kami lebih banyak sepi.
Di dalam, kami tetap buka. Tapi tak banyak tamu. Hanya sesekali Pak Tamin mampir beli teh, atau anak-anak datang menumpang tempat baca.
Di sela sepinya warung, muncul suara dari hatiku sendiri. Bukan keraguan yang besar, tapi bisikan kecil yang kadang datang ketika hidup terasa terlalu tenang.
“Wo,” tanyaku saat kami duduk sore itu, “kamu nggak nyesel balik ke desa?”
Dia menoleh. Lalu menggeleng pelan. “Nggak. Tapi kadang aku takut kamu yang nyesel sudah bukain pintu.”
Aku terdiam. Bukan karena tak ada jawaban, tapi karena kalimat itu seperti cermin.
“Aku juga takut, Wo. Takut ternyata kita cuma kangen masa lalu, bukan saling percaya masa depan.”
Dia mengambil tanganku. Hangat, meski di luar hujan masih jatuh deras.
“Sar... hidup kita sekarang nggak sempurna. Tapi aku ngerasa ini pertama kalinya aku bisa duduk lama tanpa mikir harus lari.”
Aku menatapnya. Tak ada janji di matanya, tapi ada keberanian untuk tetap di situ. Dan mungkin... itu lebih penting.
Hari itu kami tidak banyak bicara lagi. Tapi sore yang sunyi itu jadi salah satu yang paling menenangkan.
Di pojok warung, kursi bambu tetap diam. Tapi entah kenapa, aku merasa ia mendengar semua. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sendirian dalam keraguanku.
Hari itu cerah, langit biru bersih, dan suara burung bersautan seperti sedang latihan paduan suara desa.
Bowo muncul dengan sepeda tua yang entah sejak kapan ia miliki. Sepedanya berderit, bunyinya seperti pintu yang belum diminyaki, tapi dia tetap mengayuh penuh semangat.
“Sepeda pinjem siapa?” tanyaku sambil nyapu halaman warung.
“Nggak pinjem. Warisan Paklik. Cuma aku modif joknya pakai bantal bekas.”
Aku tertawa. “Niat banget. Mau keliling kampung jadi tukang pos?”
“Nggak. Aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Tapi naik ini.”
Awalnya kupikir dia bercanda. Tapi lima menit kemudian, aku duduk di boncengan, pegangan erat-erat sambil teriak, “Pelan - pelan, Wo! Ini bukan balapan karung!”
Kami melewati sawah, jembatan kecil, dan jalanan yang dulu sering kami lewati saat remaja. Angin sore masuk ke rambutku, dan tawa kami menyatu dengan suara jangkrik yang mulai muncul.
Di ujung desa, kami berhenti di gubuk tua tempat kami dulu sering sembunyi waktu bolos ngaji.
“Masih inget tempat ini?” tanyanya.
“Inget. Ini tempat pertama kamu bilang aku cantik. Tapi habis itu kamu kabur karena takut ketahuan guru ngaji.”
Kami duduk di batu besar di dekat gubuk. Bowo membuka tas kecil dan mengeluarkan dua potong kue apem dan dua gelas plastik teh.
“Piknik ala-ala,” katanya bangga.
Kami makan apem itu sambil memandangi langit yang mulai jingga.
“Sar, aku tahu hidup di kota ngajarin aku cara bertahan. Tapi kamu ngajarin aku cara pulang.”
Aku menoleh pelan. “Dan kamu ngajarin aku cara diam tanpa merasa ditinggal.”
Kami diam cukup lama. Tapi seperti biasa, itu bukan diam yang kosong.
Sebelum pulang, dia menulis sesuatu di papan dekat gubuk dengan spidol yang ia bawa:
“Kalau kamu kangen, datanglah. Nggak harus ngomong. Duduk aja di sini.”
Aku tersenyum. Mungkin hidup memang sesederhana itu, menemukan tempat untuk kembali, dan seseorang yang mau mendengarkan meski tanpa kata-kata.
Sejak piknik absurd itu, Bowo jadi makin rajin datang ke warung lebih pagi. Kadang bawa gorengan, kadang cuma bawa dirinya sendiri, yang kadang lebih ribet dari pesanan pelanggan.
Pagi ini dia muncul sambil bawa kardus kecil. “Sar, aku punya hadiah buat kursi bambu.”
“Hadiah buat kursi?” tanyaku bingung.
“Iya. Kasihan, dia dudukin banyak orang, tapi nggak pernah dapat bantal.”
Dari kardus itu, dia keluarkan bantal kecil bermotif bunga-bunga jadul. Warnanya agak pudar, tapi benangnya masih kuat.
“Ini bantal peninggalan Ibuk. Aku cuci lagi. Biar empuk buat yang duduk mikir panjang.”
Aku tertawa. “Kursi ini pasti merasa lebih dicintai daripada aku.”
Dia mengedipkan mata. “Kamu juga dapat hadiah. Tapi nanti.”
Hari itu, warung kedatangan tamu dari kota. Sepasang suami istri muda yang katanya sedang keliling Jawa naik motor. Mereka berhenti karena lihat papan kecil di depan warung.
“Warung Wening. Duduk tanpa ditanya,” kata si perempuan sambil tersenyum. “Kami capek, tapi nggak pengen banyak ngobrol.”
Mereka duduk di pojok, memesan teh panas, dan hanya saling memandang. Sesekali tersenyum. Tak banyak kata, tapi terasa penuh.
Saat mereka pamit, si lelaki berkata, “Tempat ini... kayak semacam jeda yang kami butuh tapi nggak tahu gimana nyarinya.”
Aku tersenyum. Bowo membereskan gelas. Dan saat warung mulai sepi, dia menepuk pundakku pelan.
“Hadiah buat kamu,” katanya. Dari sakunya, dia mengeluarkan potongan kertas kecil. Tiket bioskop lama.
“Inget ini?”
Aku membaca tanggal di kertas itu. “Ini... film yang nggak jadi kita tonton karena aku sakit perut waktu itu.”
“Tiketnya tetap kusimpan. Aku pikir... kalau suatu hari kita duduk bareng lagi, kita bisa nonton filmnya atau bikin film kita sendiri.”
Aku menggenggam kertas itu. Hati terasa penuh. Mungkin cinta memang bukan soal kejutan besar, tapi hal-hal kecil yang diingat diam-diam.
Malam itu, aku menulis lagi di catatan:
“Kadang, cinta itu bukan siapa yang paling hebat mencintai. Tapi siapa yang paling sabar menunggu tempat duduk di hatimu tetap kosong untuknya.”
Minggu pagi, warung ramai luar biasa. Ada lomba makan kerupuk, lomba lari kelereng, dan tentu saja... lomba joget kursi ide dari Mbah Tuni.
“Kursi bambumu ikut lomba nggak?” goda Mbah Tuni sambil kibas-kibas topi caping.
“Dia udah terlalu filosofis buat joget, Mbah,” jawabku.
Semua warga tumpah ruah di lapangan. Warung kami jadi tempat transit minum dan numpang duduk. Bahkan Pak Lurah sempat ikut joget dan hampir jatuh nabrak tiang listrik.
Di tengah keramaian itu, aku lihat Bowo bicara dengan seorang perempuan. Wajahnya kukenal samar. Wulan, teman satu angkatan kami dulu, yang sempat dekat dengan Bowo sebelum dia ke Jakarta.
Mereka tertawa. Lalu Wulan menepuk lengan Bowo pelan. Satu gestur kecil yang entah kenapa bikin dadaku sesak.
Aku kembali ke dapur, mencoba sibuk sendiri. Tapi gagal. Perasaan kecil itu datang, perasaan yang tidak ingin diakui tapi susah diabaikan.
Sore hari, warung sepi. Bowo masuk pelan dan duduk di kursi bambu.
“Kamu kenapa diem aja dari tadi?” tanyanya hati-hati.
“Nggak papa,” jawabku. Kalimat paling klasik sekaligus paling dusta.
Dia menghela napas. “Sar... kalau kamu cemburu, bilang aja. Aku nggak bakal marah. Aku malah seneng, berarti kamu takut kehilangan.”
Aku menatapnya. “Aku nggak takut kehilangan kamu, Wo. Aku cuma takut kita kehilangan cara saling percaya.”
Dia menunduk. Lalu berdiri, menarik tanganku, dan membawa ke papan tulis kecil di dekat meja kasir. Di sana, dia menulis:
“Kalau aku ngelucu, itu buat bikin kamu nyaman. Tapi kalau aku diam, itu karena aku takut salah. Aku tetap di sini. Kalau kamu mau duduk lagi.”
Aku membaca tulisan itu lama. Lalu mengambil spidol dan menambahkan di bawahnya:
“Aku duduk. Tapi jangan biarkan aku nunggu sendiri.”
Kami saling pandang. Tak ada penjelasan panjang. Tapi kadang, cinta hanya butuh dua tangan yang saling membuka, dan dua kursi yang tak saling berpaling.
Malam itu angin lebih kencang dari biasanya. Tirai di jendela warung melambai-lambai, dan lampu minyak kami bergoyang pelan seperti sedang berdansa.
Warung sepi. Hanya ada aku dan Bowo, duduk berdampingan. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk merasa hangat.
“Sar,” katanya pelan, “kamu pernah takut nggak... kalau ternyata semua ini cuma fase?”
Aku menoleh. “Fase gimana maksudmu?”
“Ya... kadang aku mikir, gimana kalau kita nyaman karena nggak punya pilihan lain. Karena desa kecil. Karena warung ini. Karena kursi bambu.”
Aku terdiam sejenak, lalu berdiri. Mengambil dua cangkir teh hangat dan duduk kembali di sebelahnya.
“Kalau semua ini cuma fase, Wo... ya kita jalani aja. Tapi kita pilih buat duduk di sini bareng. Bukan karena nggak punya pilihan. Tapi karena kita mutusin buat tetap saling nungguin, meski pelan.”
Dia menatapku. Wajahnya tenang. Lalu mengangguk dan berkata, “Kalau gitu... boleh aku tetap jadi fase kamu yang paling lama?”
Aku tertawa kecil. “Boleh. Tapi kamu harus gantiin aku nyapu warung dua hari sekali.”
Di luar, suara kentongan ronda terdengar samar. Angin membawa bau tanah basah dan suara daun yang bersentuhan. Dan entah kenapa, malam itu terasa seperti pelukan, hangat, tenang, dan tidak terburu-buru.
Sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, Bowo menulis satu kalimat lagi di papan tulis warung:
“Kadang kita nggak butuh jawaban pasti. Kita cuma butuh tempat buat duduk, dan seseorang yang rela duduk bareng kita di situ.”
Aku membaca kalimat itu berkali-kali sebelum akhirnya mematikan lampu dan menutup pintu warung. Malam belum selesai, tapi hatiku sudah cukup.
Beberapa hari kemudian, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Ada dorongan aneh dalam hati untuk duduk di kursi bambu sebelum warung buka, sebelum suara orang, sebelum dunia mulai ramai.
Langit masih biru tua, burung-burung baru mulai berkicau pelan. Aku membawa secangkir kopi dan duduk sendiri di sana. Tak ada siapa-siapa, hanya aku, udara dingin, dan kursi tua yang sudah terlalu sering menyerap cerita.
Lalu Bowo muncul. Bukan dari arah warung, tapi dari jalan kecil di samping rumah. Matanya agak sembab. Tapi dia tersenyum.
“Ibuku muncul di mimpi,” katanya.
Aku hanya mengangguk. Kadang kehilangan tidak butuh dihibur, hanya butuh didengarkan.
“Dia duduk di sini. Di kursi ini. Katanya... “ Bowo, nek awakmu wis iso lungguh lan nyawang langit bareng wong sing iso gawe atimu adem, ojo lungo maneh.”
Air matanya menetes. Bukan histeris, hanya perlahan. Seperti gerimis yang jatuh pelan-pelan tanpa aba-aba.
Aku meraih tangannya. Diam. Tapi penuh.
“Aku kira aku balik ke desa karena gagal di kota. Tapi ternyata aku balik untuk belajar pulang. Belajar duduk. Belajar nggak buru-buru ngelindungi diri.”
Aku memeluknya. Di saat seperti itu, kata-kata terasa terlalu mahal untuk diucapkan. Kami hanya duduk. Menatap langit yang perlahan berubah dari gelap ke jingga.
Bowo mengambil buku catatan kecil dari saku kemejanya, menuliskan satu kalimat lalu menyodorkannya padaku.
“Nanti... kalau kamu capek jadi kuat terus, duduklah. Aku nggak janji bisa bantu apa-apa. Tapi aku janji, aku nggak ninggalin kamu sendirian.”
Aku menatap tulisan itu lama. Rasanya seperti menemukan rumah di halaman yang tak pernah sempat kubuka.
Pagi itu, warung belum buka. Tapi hatiku sudah dibuka lebar-lebar oleh satu hal, cinta yang memilih diam, tapi penuh keberanian.
Satu bulan sejak pembukaan Warung Wening, kami memutuskan untuk mengadakan acara kecil. Bukan perayaan, bukan festival. Hanya malam duduk bersama. Kami menyebutnya “Malam Kursi Sunyi.”
Warga datang bawa camilan sendiri. Tak ada musik, hanya lampu-lampu kecil dan satu panggung kecil di depan warung. Di sana, siapa pun boleh bicara atau tidak bicara sama sekali.
Satu per satu warga maju. Ada yang membacakan puisi, ada yang cerita masa kecil, ada yang hanya duduk dan menatap bintang. Dan semua diterima, semua didengar.
Lalu aku maju. Tangan gemetar sedikit. Tapi mataku mencari satu wajah di kerumunan. Wajah yang kutemukan dengan tenang: Bowo, duduk di kursi bambu, senyum lembut di bibirnya.
“Namaku Sari,” kataku pelan. “Dan aku pernah berpikir, tempat paling nyaman itu rumah. Tapi ternyata, kadang rumah itu bukan bangunan. Rumah itu seseorang yang duduk sabar meski kita belum selesai bicara.”
Hening. Tapi bukan karena canggung. Karena semua tahu, malam itu, kata-kata tidak perlu berteriak untuk sampai ke hati.
Setelah aku turun, Bowo menyusul. Ia berdiri di depan semua orang, lalu membuka kertas kecil dari saku bajunya.
“Ini bukan puisi. Bukan pidato. Ini cuma catatan buat perempuan yang dulu pernah kutinggal, dan kini kusinggahi lagi.”
Ia menatapku. Lalu membaca pelan: “Kalau kamu masih menyisakan satu kursi di hatimu, aku akan duduk di situ. Nggak minta jadi siapa-siapa. Cukup jadi yang nggak pergi.”
Suara tepuk tangan pecah. Tapi yang lebih keras dari itu adalah detak jantungku sendiri.
Malam itu kami duduk berdua. Di kursi bambu yang telah menjadi saksi bukan hanya dari cerita kami, tapi juga dari cerita orang-orang yang menemukan rumah dalam duduk diam.
Aku menyandarkan kepala di pundaknya. Bintang bertaburan. Dan dalam hati, aku tahu satu hal:
Hidup tidak harus ramai untuk terasa penuh. Kadang, cukup satu kursi. Dan dua orang yang bersedia duduk lebih lama dari yang lain.