"Lo yakin ini rumahnya, Rin?"
"Iya, gue udah dua kali ke sini. Yang bener, masuk aja dulu."
"Kok gue ngerasa... aneh, ya?"
"Udahlah, Gung. Keburu malem."
Tiga orang berdiri di depan sebuah rumah tua di ujung Desa Cempaka. Rin, Agung, dan Dio. Mereka datang nyari jawaban atas kejadian aneh yang menimpa teman mereka, Vira.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumussalam..."
Suara perempuan tua terdengar dari dalam. Rambut putihnya dikonde rapi. Dia keluar dengan tatapan tajam.
"Kalian bawa apa dari anak itu?"
Rin buru-buru ngeluarin saputangan kecil. "Ini... sapu tangan Vira. Ada darahnya."
Perempuan tua itu ngelirik tajam. "Masuk."
*******
"Jadi anak ini, sakitnya aneh?"
"Iya, Bu... awalnya demam biasa. Terus suka ketakutan tengah malem, katanya denger suara petir di kamarnya. Padahal langit cerah."
"Terus dia sering jerit sendiri. Matanya kosong... dan..." Dio ngelirik Rin sebentar, "dia pernah bilang ada suara yang nyuruh dia loncat dari balkon."
Perempuan tua itu diem. Tangan keriputnya ngeremas saputangan itu sambil merem.
"Ini ilmu lintar..."
Agung ngangkat alis. "Lintar?"
"Iya. Ilmu kiriman. Santet yang menyerang lewat suara, kilat, dan rasa takut. Korban disiksa batin sampai akhirnya... hilang akal."
"Siapa yang bisa ngelakuin itu ke Vira?" Rin nanya, suaranya mulai bergetar.
Perempuan itu buka mata pelan. "Kalian harus jujur. Siapa yang pernah dia sakiti?"
Mereka saling pandang. Lama.
"Dia... pernah ribut sama Dika," kata Dio pelan. "Tapi... itu udah lama."
"Seberapa lama?"
"Setahun lalu. Vira tolak Dika waktu ditembak. Terus... Dika sempet nyebar fitnah. Tapi abis itu, ya udah, diem-dieman."
Perempuan tua itu berdiri. "Aku perlu lihat anak itu langsung. Malam ini."
******
Di rumah Vira, keadaannya udah makin parah. Dia diem di pojok kamar, matanya ngelirik ke langit-langit sambil komat-kamit sendiri.
"Vi..." Rin coba nyolek pelan. "Ini Bu Sarni... dia mau bantu kamu."
Vira gak nyaut. Tapi badannya gemeteran.
Sarni mulai menaruh mangkuk kecil berisi air, lilin, dan daun sirih. Dia komat-kamit. Tiba-tiba...
DUARRRRRR!!!
Petir menggelegar. Semua lampu mati.
"Anjir!!"
"apaan tuh?!"
Tapi di luar, langit cerah.
"Dia datang..." bisik Bu Sarni. "Pikirannya udah hampir putus..."
Vira mendadak teriak. Suara jeritannya tinggi banget, bukan suara perempuan normal.
Bu Sarni buru-buru tempelin jimat di jidat Vira. Tapi Vira malah nangis keras. "Dia marah... dia bilang kalian semua akan ngerasain juga... DIA MARAH!!!"
Lampu nyala tiba-tiba. Vira pingsan.
******
Besok paginya, mereka ngumpul lagi di warung kopi depan gang.
"Gue gak bisa tidur semalem," kata Agung. "Sumpah, suara petir itu kayak di kuping gue terus."
"Gue juga," Dio jawab. "Padahal langit kayanya cerah."
Rin diem. Tatapannya kosong.
"Lo kenapa, Rin?"
"Gue dapet mimpi aneh..." katanya pelan. "Gue mimpi ada anak kecil ngelihatin aku dari pojokan kamar. Matanya putih semua. Dia bilang... 'giliranmu'."
Mereka semua saling pandang.
"Lo percaya itu dari lintar juga?"
"Gak tau, Gung. Tapi rasanya... makin hari makin deket."
*****
Dua hari kemudian, Dio kecelakaan. Motornya tiba-tiba ngerem mendadak sendiri, dia jatuh ke sawah. Luka di tangan, tapi katanya pas jatuh, dia ngeliat sosok tinggi gelap berdiri di pinggir jalan padahal gak ada siapa-siapa.
Agung mulai ngerasa denger suara orang manggil dari atap rumahnya tiap malam.
Dan Rin... udah mulai tidur bareng Ibu-nya karena gak kuat sendirian.
******
"Ini udah makin parah," kata Bu Sarni waktu mereka dateng lagi. "Lintar yang dikirim bukan buat satu orang. Ini lintar dendam. Semuanya yang dianggap 'dekat' sama target bisa kena."
"Terus kita harus gimana?!" Rin panik. "Kami cuma pengen nolong Vira!"
"Kalian harus cari pusatnya. Si pengirim. Cuma dia yang bisa nyetop ini. Kalau enggak... korban akan terus bertambah."
******
Dio nyoba cari info soal Dika. Katanya dia sekarang kerja di kota, tapi beberapa warga masih inget soal kakeknya Dika, yang dulu dikenal sebagai orang yang main ilmu hitam.
"Lo yakin Dika bisa ngelakuin ini?" tanya Agung.
"Gue gak yakin. Tapi cuma itu satu-satunya jejak yang kita punya."
Mereka nekat ke rumah lama Dika, sekarang kosong. Di dalamnya berdebu, tapi ada satu ruangan yang dikunci.
Dengan susah payah, Agung dobrak. Dan mereka masuk.
"Anjir... ini apa..." Rin nutup mulutnya.
Di dalam, ada boneka dari tanah liat, dikasih rambut asli, dan disusun di atas altar kecil. Di bawahnya ada nama: "VIRA".
Dio jalan ke pojok. Ada satu buku lusuh.
Dia buka perlahan.
"Ini... catatan mantra..." bisiknya. "Bahasanya Jawa Kuno..."
Rin ngeliat. Di salah satu halaman, tertulis:
'Lintar, suara dari langit yang menyiksa jiwa. Dikirim lewat rasa dendam, tak bisa dihentikan kecuali oleh si pengirim, atau oleh darah pengganti.'
"Darah pengganti?"
"Korban atau... pengganti yang rela nerima beban santet itu."
******
Hari berikutnya, mereka balik lagi ke Bu Sarni.
"Gue mau jadi pengganti," kata Rin tiba-tiba.
"Jangan gila, Rin!" Dio langsung protes.
"Kalau enggak gitu, Vira gak akan pernah sembuh!"
"Lo pikir itu sepadan?!"
"Dia sahabat gue dari kecil. Gue gak bisa liat dia kayak gitu terus."
Bu Sarni ngelus kepala Rin pelan. "Tapi kamu harus siap. Sekali kamu jadi pengganti, kamu harus kuatin mental. Lintar gak akan diem... dia bakal uji kamu juga."
*****
Ritual malam itu serem. Rin duduk di lingkaran garam, lilin-lilin mengelilingi dia. Bu Sarni mulai bacain mantra, sementara Agung dan Dio nunggu di luar.
Petir langsung nyambar... DUARRR!!
Rin mulai nangis. "Sakit... kepala gue sakit banget..."
Bu Sarni terus baca.
"Dia masuk... dia udah tau siapa kamu..."
Rin mendadak muntah darah.
Tapi tiba-tiba... sosok bayangan tinggi muncul di belakang Bu Sarni.
Dio ngeliat dari jendela. "BU SARNI!!! DI BELAKANG!!!"
Terlambat. Sosok itu nyerang. Bu Sarni mental, pingsan.
Tapi Rin... berdiri. Matanya merah.
"SELESAIKAN INI!!" dia jerit. "LO GAK BISA NGENDALIKAN GUE!!!"
Bayangan itu bergerak maju. Tapi Rin ambil pisau kecil dari altar.
Dia nekat iris tangannya sendiri, dan teriak:
"AKU GANTIIN DIA! SEKARANG GILIRANKU!"
Semua lilin padam.
Hening.
******
Vira sembuh keesokan paginya, Tapi Rin... koma.
Tiga bulan.
Sampai akhirnya bangun, Tapi berbeda, Dia gak suka keramaian lagi, Gak pernah mau tidur sendirian.
Dan... tiap malam jam 3 pagi, dia selalu duduk sambil berbisik:
"Lintar gak pernah pergi... dia cuma nunggu giliran selanjutnya..."
....