Chapter 1 – Bau yang Mengantar Maut
Pasar Parakan punya julukan yang hanya dibisikkan para pedagang lama; Pasar Mati.
Bukan karena tak ada pembeli, tapi karena tempat itu seperti menyimpan kutuk yang tak kelihatan. Sudah belasan tahun sejak kebakaran misterius melahap tujuh los daging di bagian dalam. Tak ada pelaku, tak ada bukti. Tapi yang mati... ada. Dan mayat-mayat itu tak pernah ditemukan utuh. Sejak saat itu, udara pagi di pasar itu selalu mengandung rasa lain; pahit, lembab, dan entah kenapa, bau dupa kering.
Di lorong keempat, di sisi yang paling dalam dan paling sepi dari pasar itu, berdirilah sebuah warung kecil berwarna hijau pudar. Warung itu tak pernah benar-benar menonjol. Papan namanya sudah hampir copot, dan catnya mengelupas seperti kulit orang tua yang ditinggal waktu. Pemiliknya, seorang perempuan tua bernama Bu Rum, sudah berjualan nasi uduk sejak zaman Orde Baru.
Tak ada yang istimewa dari Bu Rum. Kulitnya gelap terbakar matahari, tubuhnya kecil dan bungkuk, dan ia selalu mengenakan daster batik lusuh serta sandal jepit yang sudah putus sebelah. Tapi dua bulan belakangan, sesuatu berubah.
Pukul tiga pagi, ketika para pedagang masih sibuk menata sayur dan daging, warung Bu Rum sudah menguarkan aroma yang tak bisa dijelaskan.
Bukan cuma harum nasi santan, tapi seperti... bau tubuh hangat yang baru bangun tidur, bercampur aroma tanah basah setelah hujan dan... daging panggang yang meleleh dalam mulut.
Warga sekitar menyebutnya "bau yang menggoda setan".
“Bu Rum tumben banget, bukanya kepagian, Bu?” tanya Pak Darto, tukang ayam yang lapaknya di seberang. Ia menoleh dengan alis terangkat, tapi hidungnya tak bisa berhenti mengendus.
Bu Rum menoleh dengan senyum lebar yang terlalu damai untuk waktu sepagi itu. “Haha Pak,Kalau rejeki sudah di depan pintu, masak mau ditunggu aja, Pak Darto?”
Ia menyendok nasi ke atas daun pisang, lalu menumpahkan semur jengkol dan rendang yang empuk seperti kapas. “Eh ini.. Coba dulu ini. Dagingnya daging muda. Masih perawan,” katanya pelan, nyaris seperti berbisik kepada sesuatu yang tak terlihat.
Pak Darto tertawa. “Wah, ngomongnya serem amat, Bu. Daging apaan sih, sapi?”
“Iya.. Kalau bukan sapi, masa saya jual?” jawabnya kalem, sambil menyodorkan sepiring uduk panas yang berasap wangi.
"Makasih ya bu Rum."
Tapi Rum, matanya...
Mata itu menatap lama. Terlalu lama. Seperti memandangi bagian tubuh Pak Darto yang akan terasa paling empuk jika dimasak semur.
**
Dalam seminggu, warung Bu Rum menjadi pembicaraan seluruh pasar.
Sari, penjual gorengan, mulai kehabisan stok lebih cepat karena semua pelanggannya pindah makan pagi ke nasi uduk Bu Rum. Bahkan tukang parkir, tukang becak, sampai anak-anak SMA yang lewat ikut mampir, walau sekadar beli satu bungkus.
“Nasinya beda banget, Mbak,” kata Yanto, seorang kernet angkot. “Saya tuh makan nasi uduk dari kecil. Tapi yang ini... ini kaya rasa pulang. Kayak nyium bau Emak sebelum tidur. Kaya... Taulah, pokoknya enak banget sampai takut habis.”
Namun bersama pujian itu, mulai muncul cerita-cerita aneh.
Seorang pengamen tua ditemukan tewas di bawah jembatan dekat pasar. Tangannya menggenggam erat bungkusan nasi uduk yang sudah dingin. Mulutnya terbuka lebar, lidahnya terjulur ke luar, matanya putih. Polisi menyebutnya serangan jantung. Tapi warga yang pertama menemukan jenazah bersumpah, dari sela-sela gigi pengamen itu, masih terselip serat daging... menyerupai jari manusia.
Beberapa hari kemudian, seorang remaja penjaga warung air galon tak pernah pulang setelah membeli makan dari warung Bu Rum. Ibunya, Bu Sulastri, menangis berhari-hari. “Dia cuma pamit beli sarapan doang waktu pagi itu. Kenapa sepatu anak saya jadi ada di belakang warung itu?”
Tidak ada yang bisa menjawab.
**
Pak Karno, pedagang sayur yang sudah 20 tahun mangkal di pasar, mulai resah. Ia memang sudah lama curiga dengan Bu Rum. Beberapa kali, ia melihat sosok tinggi kurus berbaju hitam mengantar karung besar ke warung Bu Rum, tepat setelah tengah malam. Karung itu selalu basah. Kadang meneteskan sesuatu seperti air daging. Tapi Bu Rum menyambut sosok itu tanpa suara. Hanya dengan anggukan kecil, seperti orang berutang pada sesuatu yang tak kasat mata.
Suatu malam, Pak Karno mengendap-endap di balik lapaknya. Ia menunggu sampai suara pasar sunyi, lampu padam satu per satu. Lalu ia berjalan pelan menuju belakang warung Bu Rum, dan menemukan celah papan yang bisa mengintip dapurnya.
Apa yang ia lihat membuat jantungnya nyaris berhenti.
Bu Rum berdiri di depan meja sembelih. Di atasnya, terbentang tubuh manusia. Lengan kiri sudah dipotong. Ada semburan darah di tembok kayu. Bu Rum sedang memisahkan daging dari tulang dengan pisau kecil yang tajam dan tenang. Tak ada kegugupan, hanya rutinitas seperti sedang menyiangi ayam. Di sudut dapur, tampak kepala seorang anak ditutupi plastik hitam, rambutnya masih basah.
Uap nasi uduk mengepul di panci besar di sebelahnya.
Bau harum itu ternyata berasal dari kematian.
Pak Karno mundur pelan, tapi kakinya menyandung ember. Suara logam bergema seperti gong di ruang sunyi itu.
Bu Rum berhenti memotong.
Ia menoleh perlahan, dengan senyum yang tak pernah berubah sejak dulu tenang, damai, dan membuat tulang punggung terasa dingin. Tapi kali ini, senyuman itu disertai dengan tatapan mata yang seolah berkata, “Eh Karno! Kalau kamu bicara... kamu sendiri yang akan jadi menu selanjutnya.”
“Pak Karno,” suara Bu Rum serak, berat, dan seolah datang dari balik makam,
“Rejeki itu, kalau datang langsung di terima… jangan ditolak. Tapi juga jangan diceritakan sana sini. Bisa-bisa, nanti hilang loh.”
**
Esoknya, Pak Karno tak buka lapak. Tak juga lusa. Tiga hari kemudian, lapaknya kosong, dan kabarnya ia pulang ke kampung karena "sakit keras". Tapi tidak ada yang benar-benar percaya.
Warung Bu Rum tetap buka. Tetap menguarkan aroma yang membuat siapa pun menelan ludah, meski perut belum lapar.
Tapi bagi mereka yang tahu…
Setiap suap nasi uduk itu bukan hanya mengandung santan dan daun pandan.
Tapi juga serat nyawa yang belum sempat mengucap doa terakhir.
Chapter 2 – Karung, Malam, dan Pengantar Rahasia...
Tak banyak yang tahu dari mana Bu Rum berasal. Ia hanya muncul tiba-tiba di Pasar Parakan lebih dari dua puluh tahun lalu, menyewa los kecil yang sebelumnya terbengkalai. Dalam catatan kelurahan, namanya tercatat sebagai Rumiyati, lahir di Demak tahun 1951, tanpa keluarga, tanpa pasangan, tanpa anak. “Perempuan kuat,” kata sebagian orang. “Perempuan kesepian,” kata yang lain.
Tapi malam-malam di warung Bu Rum tidak pernah sepi.
**
Adalah Dita, seorang mahasiswi jurusan antropologi yang sedang menyusun skripsi tentang "Kepercayaan Mistis Pasar Tradisional di Jawa". Ia mendengar desas-desus tentang pasar Parakan dari pamannya yang menjadi staf kelurahan. Tentang warung nasi uduk yang kabarnya bisa membuat orang ketagihan dan mimpi buruk.
Awalnya, Dita mengira itu hanya urban legend. Tapi sebagai peneliti, ia tahu, cerita rakyat selalu punya akar. Dan saat ia pertama kali mencium aroma nasi uduk Bu Rum tanpa pernah memakannya;ia merasa dadanya terhimpit.
“Bau itu,” katanya dalam rekaman jurnalnya, “seperti bau jasad dalam kantong mayat, yang ditutup dengan lapisan pandan dan minyak kayu putih agar tak tercium. Tapi... masih tembus juga.”
Dita menyamar sebagai pembeli biasa selama dua minggu. Ia membeli nasi uduk Bu Rum setiap pagi, tapi tak pernah memakannya. Ia hanya membawa pulang, membungkusnya rapat, dan menyimpannya di dalam kulkas.
Yang membuatnya bingung adalah ini: nasi itu tidak pernah basi. Bahkan setelah sepuluh hari, semur jengkolnya masih lembut, rendangnya masih utuh. Tak ada jamur, tak ada bau asam. Seolah waktu pun enggan menggerogoti nasi uduk itu.
**
Pada malam ke-empat belas, Dita memutuskan berjaga di pasar. Ia pura-pura tidur di los kosong dekat warung Bu Rum, menyelimuti tubuhnya dengan kain dan menyembunyikan ponsel dalam genggaman. Jam menunjukkan pukul 02.47 ketika suara sepatu karet menyentuh lantai basah pasar.
Suara pelan. Berat.
Dari celah matanya yang terpejam, Dita menangkap siluet seseorang tinggi, kurus, memakai jas hujan hitam kendur hingga menutupi wajah. Sosok itu mendorong troli kecil berkarung biru. Karungnya tampak berat, meneteskan cairan gelap. Bau amis menyengat bercampur wangi pandan dan getah. Sosok itu mengetuk pintu belakang warung tiga kali.
Tok. Tok. Tok.
Pintu terbuka dengan suara pelan. Bu Rum berdiri di sana, dengan daster putih dan rambut digelung ketat. Ia tak mengatakan apa pun. Tapi tangan kirinya memberi isyarat jelas: masuk.
Troli itu digelindingkan masuk. Pintu menutup perlahan.
**
Keesokan harinya, Dita tak bisa tidur. Napasnya masih belum stabil. Ia mencatat semua yang dilihatnya, menggambar troli, bentuk karung, dan bahkan pola langit-langit warung Bu Rum yang sempat terlihat sesaat sebelum pintu ditutup.
Namun malam itu, ada hal baru.
Ketika ia pulang ke rumah kos, ia mendapati ada lima ekor lalat hijau besar yang mengelilingi bungkusan nasi uduk miliknya, yang ia simpan di dalam kulkas tertutup rapat.
Tak mungkin ada lalat bisa masuk.
Tangannya gemetar saat membuang bungkus itu ke tempat sampah luar. Tapi sebelum ia tutup, sesuatu menyembul dari balik nasi dan daun pisang.
Sebuah kuku.
Kuku manusia.
**
Di tempat lain, di sebuah kontrakan reyot di pinggir pasar, Sardi, seorang gelandangan paruh baya yang sesekali membantu bersih-bersih los pasar, sedang menghitung rejekinya malam itu. Tapi sejak dua malam terakhir, Sardi bermimpi aneh—mimpi tentang seorang anak laki-laki dengan kepala retak yang menangis di balik panci besar, memohon untuk dikeluarkan.
“Panas... Pak... saya kepanasan...”
Awalnya ia pikir hanya mimpi buruk karena ia mencuri sepotong semur dari dapur Bu Rum malam itu, saat warung sedang sepi. Tapi sejak itu, Sardi selalu merasa diikuti. Setiap malam, suara denting sendok dan bisikan nyaring menggema di telinganya.
Hingga akhirnya ia didapati mati di emperan pasar.
Mulutnya berbusa.
Lidahnya tergigit.
Dan di dalam perutnya ditemukan daging manusia dalam proses pencernaan.
Satu-satunya petunjuk hanyalah bekas minyak daun pandan yang menempel di ujung kukunya, dan bungkusan nasi uduk kosong di sebelah jenazahnya.
**
Dita merasa harus mengambil risiko. Ia tahu sudah terlalu dalam. Tapi ia tak bisa mundur. Ada pola yang harus dibongkar, ada ritual yang sedang berlangsung. Dan semua itu, ia yakin, bersumber dari warung itu dan sosok berjubah hitam yang datang setiap malam.
Ia menyusun rencana:
Malam Jumat depan, ia akan menyelinap masuk ke warung Bu Rum dari atap los belakang, merekam semua yang terjadi.
Ia tahu taruhannya besar. Tapi ia juga tahu: kebenaran tidak akan pernah terungkap jika hanya dilihat dari luar.
Dan di malam itu, akan ada darah yang tumpah.
Bagian 3 – Jerit Dalam Karung...
Hujan tak turun malam itu, namun hawa Parakan lebih lembap dari biasanya. Jalan-jalan sempit di pinggir pasar lengang, hanya sesekali terdengar bunyi sepeda motor melewati gang-gang kecil.
Dita berdiri di balik tembok setengah runtuh, tubuhnya melekat pada dinginnya malam. Tangannya berkeringat padahal udara begitu pengap. Jam tangannya menunjukkan pukul 01:48. Ini waktunya.
Ia sudah menunggu hampir sebulan. Menyusun potongan-potongan aneh yang ia lihat: wajah-wajah murung yang keluar dari warung nasi uduk Bu Rum, suara aneh dari belakang dapur, dan… bau yang tak masuk akal seperti daging dibakar di dalam peti mati.
Tiga malam lalu, ia hampir masuk, tapi langkahnya terhenti saat seekor kucing kurus berjalan dari arah dapur sambil membawa sesuatu yang mirip jari tangan manusia. Ia tak tidur semalaman.
Kini, ia tak bisa menunggu lagi.
**
Pintu belakang warung itu rapuh, hanya ditahan satu engsel tua. Dita tahu, kunci utamanya ada di karung-karung beras yang ditumpuk tidak wajar di sebelah belakang. Ia menggesernya perlahan, berusaha tidak membunyikan apa pun. Saat celah dinding kayu ditemukan, jantungnya berdetak tak karuan.
Ada pintu kecil. Seperti akses rahasia.
Terbuat dari kayu dan triplek lapuk. Bau amis menyembur keluar begitu dibuka.
Dita mengangkat kameranya, tapi ragu untuk menyalakan lampu kilat. Ia memilih menunduk, lalu merangkak masuk dengan napas tercekat. Ruangan itu sempit, berlantai tanah, dan hanya diterangi satu lampu gantung redup yang berayun pelan.
Dan di tengahnya…
Ada meja. Panjang. Kotor.
Di atasnya tergeletak mayat setengah tubuh, bagian bawah telah dipotong. Kulitnya pucat membiru, dan potongan-potongan daging ditata rapi di nampan logam.
Dita mual. Ia tak pernah melihat tubuh manusia sedekat ini terutama dalam keadaan seperti itu.
**
Bu Rum berdiri di ujung meja. Rambutnya digelung ketat, bajunya penuh noda minyak. Tangannya oh, tangan itu; memegang pisau panjang seperti sembilu. Tapi bukan itu yang membuat Dita menggigil.
Itu karena Bu Rum sedang berbicara sendiri. Dengan suara lembut. Seolah meninabobokan.
“Lapar ya, Sayang? Nanti Bu Rum masakin ya… jangan khawatir… potongan kamu yang ini masih bagus banget, empuk…”
Ia menyentuh bagian tulang rusuk jenazah dengan lembut. Seolah sedang mengusap anaknya sendiri.
“Tadi kamu nangis ya? Iya… Ibu denger loh sayang. Tapi ya gimana… rezeki kan harus dijemput, ya, Sayang...”
Dita terdiam. Keringat dingin mengalir di tengkuk. Ia ingin lari. Tapi suara lain terdengar.
Seseorang… menangis.
**
Dari bawah meja, muncul bunyi lirih. Dita mengendap lebih dekat dan melihat seorang anak. Usianya sekitar delapan tahun. Mulutnya disumpal kain putih penuh bercak darah, tubuhnya terikat tali rafia. Matanya… ya Tuhan…
Matanya berkata: Tolong aku. Aku ingin hidup.
Anak itu menggeliat pelan, tapi sudah lemah. Kakinya berdarah, sebagian kulit robek, dan bajunya compang-camping seperti baru diseret.
“Jangan gerak dong… nanti kamu kecepretan kuah semur,” gumam Bu Rum, sambil menoleh ke belakang.
Ia berjalan ke sisi dapur, membuka panci besar. Aroma daging dan rempah menyeruak keluar, menguar tajam.
“Kamu tahu nggak… orang-orang di pasar itu bilang nasi uduk Ibu enak banget. Tapi mereka nggak tahu rahasianya. Yang penting itu… bumbunya harus dari daging orang yang ngerasa sangat ketakutan…”
Ia tertawa. Tertawa kecil yang terdengar seperti bunyi gigi dipukul sendok.
**
Dita hampir tak sadar ia sudah menangis. Tangannya gemetar.
Ia menoleh, mencari jalan keluar. Tapi celah tempat ia masuk kini tertutup lagi dengan karung-karung beras. Ia bisa saja diam di situ dan selamat… atau menyelamatkan anak itu.
Suaranya tercekat.
Tiba-tiba… pintu belakang terbuka. Seorang pria kurus masuk, matanya merah, seperti belum tidur seminggu.
“Bu… dapet satu lagi. Cewek, kuliahan. Ngaku dari Jogja. Kemarin dia nanya-nanya soal warung ini ke warga…”
Bu Rum menoleh.
“Bawa ke dalam. Tapi jangan bunuh dulu lah, nanti aja. Ibu pengen potong dia pas sadar. Biar kerasa empuknya.”
**
Dita tahu… dirinya yang dimaksud.
Ia panik. Melangkah pelan ke belakang, kakinya menginjak tulang kecil suara krak! terdengar jelas.
Bu Rum berhenti. Menoleh.
Lampu gantung bergoyang pelan.
“Siapa di sana…?”
Dita menahan napas.
“Kalau kamu lapar, kamu tinggal bilang…”
Suara Bu Rum pelan. Datar.
“Ibu bisa masak kamu sekarang juga. Ibu masakin ya, hahaha...”
**
Dita melompat keluar dari celah. Kakinya tersangkut karung, ia terjatuh, lututnya berdarah. Tapi ia tak berhenti. Ia lari keluar gang, menabrak tiang listrik, hampir tak sadarkan diri. Saat tiba di pos ronda, tubuhnya roboh.
Ia dibawa ke rumah sakit.
Polisi dipanggil.
Tapi saat mereka kembali ke lokasi…
Warung Bu Rum tak ada.
Hanya ada puing-puing tembok tua.
Seakan tak pernah ada bangunan di sana.
**
Seminggu setelah itu, Dita memutuskan pulang kampung. Tapi sebelum berangkat, ia mampir ke warung baru di pinggir gang dekat pasar. Di sana, ia mencium aroma yang sama…
Aroma nasi uduk dengan sambal kacang yang manis… dan bau daging yang hangus.
Penjualnya tersenyum. Seorang perempuan tua berkerudung cokelat.
Bukan Bu Rum. Tapi matanya…
Matanya sangat familiar.
“Silakan, Mbak. Coba aja. Ini… bumbu warisan keluarga. Resepnya… dari yang sudah almarhum…”
Dita menggigil.
Tapi tetap mengambil bungkusan nasi uduk itu.
Tangannya tak berhenti gemetar.
Chapter 4 – Daging Terlezat Adalah Ketakutan...
Hujan deras mengguyur Parakan malam itu, seperti bumi ingin membersihkan dosa yang membusuk di balik gang-gang sempit pasar. Tapi bagi Dita, dunia sudah kehilangan maknanya sejak malam ia melihat tubuh manusia dijadikan lauk-pauk.
Ia duduk sendiri di kamar kos, menatap bungkus nasi uduk yang ia bawa dari warung baru. Tak berani dibuka. Tak berani dibuang. Aromanya terus mengepung ruangan: perpaduan wangi daun pisang, sambal kacang… dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan; bau yang menusuk ulu hati dan menumbuhkan rasa bersalah yang mengerikan.
Ia sudah melapor ke polisi. Tapi tak satu pun mau serius menindaklanjuti. Mereka bilang tak ada bangunan di tempat yang ia tunjuk. Tak ada Bu Rum. Tak ada anak kecil.
CCTV sekitar hilang entah kenapa.
Laporan hilang orang? Tak ditemukan.
Seolah dunia diam dengan dosa yang menempel di sudut pasar itu.
**
Hari keempat setelah kejadian, Dita demam tinggi. Halusinasi datang seperti banjir. Ia bermimpi Bu Rum berdiri di pojok kamarnya, memegang centong dan pisau daging, tersenyum tanpa suara.
Dalam mimpi itu, Bu Rum membisikkan sesuatu:
“Daging kamu masih segar sayang… kamu cuma belum siap dimasak aja. Tapi nanti… kamu yang akan datang sendiri ke ibu.”
**
Malam kelima, Dita hilang.
Pemilik kos mengaku Dita pamit keluar untuk beli makan. Setelah itu tak kembali. Ponselnya tertinggal, tasnya masih di kamar. Tapi tubuhnya; tak pernah ditemukan.
Satu-satunya petunjuk hanyalah bungkus nasi uduk yang sudah terbuka, dengan sedikit sambal dan nasi yang tersisa.
Dan di balik daun pisangnya…
Ada sehelai rambut panjang dan sebuah jari kelingking wanita.
**
Seminggu kemudian, warung nasi uduk itu ramai seperti biasa. Lokasinya bergeser ke dalam pasar, menempati kios kecil yang dulunya terbakar.
Pelanggannya makin banyak. Dari tukang becak, ibu-ibu pasar, hingga orang kantoran yang sengaja mampir pagi-pagi demi sepiring nasi uduk hangat dengan semur tahu yang “katanya” luar biasa.
Di balik etalase, perempuan tua berkerudung cokelat itu yang bukan Bu Rum tapi menatap seperti dia; terus menyapa dengan ramah.
“Pagi, Mas. Mau yang pakai daging? Ini yang lagi laris, dagingnya muda dan empuk banget.”
Pria itu tersenyum. “Daging apa, Bu?”
Perempuan tua itu menunduk, lalu tertawa pelan.
“Daging biasa kok, Mas… daging yang ketakutan...”
"Ibu ada-ada aja, mau bu satu."
Dia menyendok semur kental berwarna merah ke atas nasi. Bau semerbak menyambar, membuat pelanggan antre makin tak sabar.
**
Sementara itu, di belakang warung…
Ada ruang rahasia.
Bau darah dan minyak bercampur, seperti luka yang tidak pernah kering.
Di dalamnya tergantung tubuh Dita.
Tanpa kepala.
Tubuh itu dibiarkan tergantung seperti daging sapi di rumah jagal. Kulitnya telah dikelupas sebagian. Dagingnya sudah dipotong dan dimasak sedikit demi sedikit setiap hari.
Dijadikan sambal goreng, semur, juga orek-orek.
Satu-satunya bagian tubuh Dita yang belum tersentuh adalah jantungnya.
Masih utuh. Disimpan dalam stoples kaca berisi cairan bening di rak belakang.
Karena, seperti kata Bu Rum dulu…
“Jantung manusia muda… itu paling pas buat gulai Hari Jumat nanti.”
**
Dan di pojok dapur, anak kecil yang pernah diikat kini sedang duduk. Matanya kosong. Mulutnya dikatup rapat. Di tangannya, ia menggenggam sendok nasi.
Bibirnya gemetar.
Tapi ia makan.
Satu suapan.
Dua suapan.
Tangis tak lagi keluar. Hanya diam.
Karena di tempat itu, yang bertahan hidup bukan yang paling kuat… tapi yang bisa makan tanpa bertanya.
**
Dan nasi uduk itu?
Semakin terkenal.
Orang-orang bilang, “Ada rasa yang beda. Gak bisa dijelasin. Tapi nagih banget.”
Dan jika kamu bertanya pada mereka yang pernah mencobanya…
Tak satu pun bisa berhenti.
Dan suatu pagi, seorang ibu muda datang sambil menggendong balitanya. Wajahnya lelah, tapi senyum tak lepas. Ia menyerahkan uang dengan tangan gemetar, mungkin karena lapar... atau entah apa yang menggeliat di nalurinya.
"Bu, satu nasi uduk. Yang komplit ya, anak saya suka banget sama semurnya," katanya.
Bu Rum tersenyum... senyum yang terlalu tipis untuk disebut ramah, tapi cukup dalam untuk membuat kulit bergidik.
"Anaknya... Ganteng ya," ujarnya sambil memandang si bocah dengan tajam.
"Umurnya... pas."
Ibu itu tertawa canggung. "Haha... iya, Bu. Rava, ayo bilang makasih ke ibu."
Si bocah menatap Bu Rum. Tak bicara. Hanya menatap... lalu senyum.
Senyum aneh, seolah ada sesuatu yang dikenalnya dalam aroma nasi uduk itu.
Saat membungkus nasi, Bu Rum membungkuk mendekat ke telinga bocah itu, dan berbisik dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar oleh sang ibu.
“Daging ini… dari temanmu yang dulu suka lari-lari di pasar.
Tapi sekarang… dia diem banget di dalam mangkok.”
Anak itu tidak menangis.
Ia mengangguk.
Dan tertawa kecil.
Tawa pendek. Kering.
Terdengar seperti tulang yang retak.
Dan pagi itu, pasar tetap ramai.
Warung nasi uduk tetap buka.
Dan perburuan daging manusia yang empuk… terus berjalan.
"Ayo Nasi Uduknya....."
[TAMAT]
By;𝐖𝐚𝐫𝐫𝐞𝐧⃝⃝⨷❌/25-04-2025/19:33