Chapter 1: Prologue — Sampah di Dunia Baru
Seperti biasa aruza azami murid kelas pertama SMA yang selalu di anggap tidak ada dan dia selalu sendirian, suatu hari dia berangkat sekolah dengan beberapa teman kelasnya, dia hanya diam karena takut bila dirinya berisik akan mengganggu mereka dan,tiba-tiba:
Suara rem bus yang mendadak, teriakan, dan benturan keras menjadi suara terakhir yang didengar Aruza Azami di dunia lamanya.
Ketika dia membuka mata, yang terlihat hanyalah langit biru tak berawan dan sosok seorang dewi berambut perak, berdiri megah di depan altar emas. Di sampingnya, teman-teman sekelasnya berdiri, satu per satu menatap ke arah panel cahaya di atas kepalmerekamka — angka, status, dan skill mereka terpampang jelas.
Rank: A — Level: 15
Rank: S — Level: 15
Rank: B — Level: 14
Semua nama terdaftar sebagai Pahlawan Dunia Lain.
Sampai akhirnya, satu suara terdengar dari Dewi Iris.
> "Aruza Azami... Rank: E. Skill: Abnormal. Level: 1."
Keheningan menelan seluruh ruang. Teman-teman yang tadi antusias, kini hanya menatapnya dingin. Beberapa mulai berbisik, beberapa tersenyum sinis.
> "Sampah."
Itulah kata pertama yang menyayat pikirannya.
Dewi pun tidak membuang waktu.
> "Kau tidak berguna. Dunia ini butuh pahlawan sejati, bukan penunjang kelas rendah seperti mu."
Tanpa ampun, dia dipaksa berdiri di atas lingkaran sihir. Dalam sekejap, tubuhnya terlempar ke dalam dunia reruntuhan yang suram dan penuh bau darah — tempat kematian menunggunya.
---
Tubuhnya remuk, kulitnya penuh luka, dan HP di status bar-nya tinggal satu digit.
Saat semua harapan sirna, dalam kepanikan dan keputusasaan, sebuah suara samar berbisik di telinganya.
> [Sistem Abnormal Aktif...] [Sistem... Menyesuaikan...]
Lalu dalam satu hentakan sihir yang tak bisa dijelaskan oleh logika dunia, semua iblis di sekitarnya terbelah dua.
Saat suara notifikasi membanjiri pikirannya...
Level Up! Lv. 1 → Lv. 5,890
HP: 5.000.000
Status: UNKNOWN
Aruza menatap kedua tangannya, darah yang menetes sudah berhenti, tubuhnya dipenuhi kekuatan yang bahkan tidak pernah dia bayangkan.
Di saat semua orang menganggapnya "sampah" — dunia akhirnya melihat, inilah Aruza Azami.
> "Kalian akan menyesal."
---
[To Be Continued...]
---
Chapter 2: Reruntuhan Kematian — Awal Balas Dendam
Kegelapan... bau besi dan darah memenuhi udara.
Aruza Azami berjalan terseok, tubuhnya hampir tak bisa berdiri. HP-nya tersisa 9.
Tubuhnya penuh luka sayatan, sebagian dagingnya koyak — pertanda jelas bahwa dia tak lagi seperti manusia biasa.
> "Hahaha... jadi ini akhirku ya?"
suara tawa lelah keluar dari bibirnya.
Namun di hadapannya, sosok-sosok buas mengelilinginya. Iblis-iblis tingkat tinggi, yang bahkan konon telah membantai sepuluh pahlawan berlevel tinggi di masa lalu, kini mengincarnya.
"Aku... tidak mau mati di tempat sampah seperti ini."
Suara bisikannya lirih, nyaris tenggelam oleh tawa para iblis.
Saat langkah terakhir iblis mendekatinya, notifikasi aneh kembali terdengar di pikirannya.
> [Sistem Abnormal: Mode Survival Aktif]
[Sihir: Overkill Unlock]
Tangan Aruza terangkat sendiri. Tak ada mantra, tak ada jampi, hanya suara lirih dari bibirnya:
> "Hancur."
Dalam sekejap, semua iblis di sekitarnya — ratusan ekor — terbelah. Tubuh mereka hancur menjadi potongan debu, seolah dunia menolak keberadaan mereka.
Level Up! Lv. 5,890 → 9,999... terus meningkat.
HP: 5.000.000
Tubuhnya sembuh perlahan, otot-otot yang robek menutup sendiri. Luka di tubuhnya sirna, yang tersisa hanya... rasa dingin.
Di saat itu, dia tahu, dirinya sudah tidak sama lagi.
---
Empat hari berlalu. Reruntuhan yang awalnya dipenuhi iblis, kini kosong.
Aruza berjalan keluar, langkahnya tenang... hanya sisa HP-nya yang menipis akibat efek pertarungan beruntun.
HP: 5,000
Namun di saat ia menginjakkan kaki di padang luar reruntuhan, suara tawa kasar terdengar.
Beberapa bandit terlihat menyeret seorang gadis — gadis bersenjata, mengenakan armor yang sudah robek, tubuhnya luka-luka.
> "Jangan sentuh aku!"
suara perempuan itu melawan, matanya penuh amarah.
Namun kekuatannya sudah habis.
Aruza mengangkat katana usangnya — satu ayunan cukup untuk mengakhiri segalanya.
SHIIING!
Dalam sekejap, para bandit tumbang. Gadis itu menatap Aruza, napasnya terengah, lalu berbisik:
> "...Siapa kamu?"
Aruza menatap balik, dingin.
> "Cuma pahlawan buangan."
Gadis itu tersenyum tipis, air matanya menetes.
> "Namaku Selena... terima kasih."
---
[To Be Continued...]
---
Chapter 3: Kota Lion Emperor — Sekutu Tak Terduga
Setelah pertarungan itu, langit malam menyelimuti padang rerumputan.
Selena berjalan pelan, tubuhnya goyah, lalu berhenti di samping Aruza yang hanya diam menatap ke depan. Ia membuka kantong kecil dari ikat pinggangnya dan mengeluarkan sebuah botol kaca berisi cairan biru muda yang berkilau.
> "Ini... potion sihir. Obat tingkat tinggi. Pakai ini, atau kau mati karena kelelahan."
Aruza menatap cairan itu tanpa berkata apapun. Ia sadar sisa HP-nya hanya 5,000 — satu serangan kecil bisa menghabisinya. Tanpa banyak kata, ia mengambil botol itu dan meneguknya.
Dalam sekejap:
HP: 5,000 → 10,000
Tubuhnya terasa sedikit ringan. Luka-luka dalam yang belum tertutup sepenuhnya mulai pulih.
> "Kenapa kau bantu aku?"
Aruza bertanya singkat.
Selena menatap ke langit, lalu menjawab lirih:
> "Aku bukan orang kuat seperti yang lain... Aku juga pernah dibuang. Kau menolongku... setidaknya biarkan aku membalasnya."
Malam itu mereka berjalan bersama menuju sebuah negeri besar yang dikenal sebagai Lion Emperor — sebuah kota kekaisaran yang terkenal dengan benteng perangnya.
---
Beberapa hari berlalu...
Di kota itu, Aruza untuk pertama kalinya melihat kehidupan normal. Bangunan megah, pasar yang ramai, dan anak-anak berlari dengan tawa, dunia yang terasa seperti mimpi buruk untuknya... kini perlahan mulai terasa hidup.
Selena menawarkan tempat tinggal kecil untuknya — rumah sederhana di sudut kota. Aruza, yang tak pernah peduli dengan kenyamanan, akhirnya memilih diam tinggal di sana.
Malam demi malam berlalu.
Aruza memanfaatkan waktu itu untuk melatih kendali atas sihir abnormalnya. Menggunakan kemampuannya, ia mulai menciptakan sesuatu... sesuatu yang selama ini tidak ia miliki:
Baju hitam berlapis sihir, dan katana buatan tangan.
Pakaian tempur yang terinspirasi dari bayangan, armor hitam dengan pola samar ungu, dan katana yang tidak bisa patah oleh sihir biasa.
Ketika malam turun, ia mengenakan set tersebut, berdiri di atas atap rumah dan menatap bintang. Tubuhnya kini berubah drastis dari seorang siswa SMA biasa menjadi sosok yang tak lagi bisa disebut manusia biasa.
Selena yang diam-diam memperhatikannya dari balik jendela hanya bisa bergumam pelan.
> "Dia... lebih kuat dari pahlawan mana pun yang pernah kukenal."
---
[To Be Continued...]
---
Chapter 4: Musuh dari Masa Lalu — Orun
Beberapa minggu telah berlalu sejak Aruza dan Selena tinggal di Kota Lion Emperor.
Malam-malam sunyi dipenuhi latihan sihir, siang hari dipenuhi pengamatan... Aruza tak pernah melupakan apa yang terjadi pada dirinya. Pengkhianatan itu, tatapan merendahkan dari sang dewi, dan terutama satu nama yang selalu membuat amarahnya mendidih:
Orun.
---
Suatu hari, Selena yang baru kembali dari guild membawa kabar.
> "Aruza, kau dengar? Ada rombongan pahlawan yang datang dari negeri seberang. Mereka katanya berhasil naik ke level 150. Rank mereka S+, mereka bahkan dikawal langsung oleh para kesatria kerajaan."
Aruza hanya diam. Matanya sedikit menyipit.
> "Apa kau tahu siapa nama ketuanya?"
Selena mengangguk.
> "...Orun."
Detik itu juga udara terasa membeku.
Aruza mengangkat katana buatannya, lalu berbalik, menatap langit sore yang perlahan berubah menjadi jingga.
Nama itu memunculkan kembali kenangan terakhirnya di dalam ruang suci para dewi.
> "Jangan buang-buang waktu, sampah seperti kamu tidak punya hak bicara."
Ucapan Orun yang terukir dalam ingatannya itu seolah menjadi bahan bakar dendam yang tak pernah padam.
> "Akhirnya... waktunya hampir tiba."
---
Di lain tempat, di tengah ruang rapat besar kerajaan...
Orun berdiri tegap, mengenakan armor kelas tinggi, emblem pahlawan berkilau di dadanya. Para bangsawan dan dewi yang hadir menyanjung kekuatannya.
> "Kau akan memimpin pasukan melawan raja iblis, Pahlawan Orun."
Orun tersenyum tipis, arogan, seperti biasa.
Namun, saat kabar muncul bahwa reruntuhan berbahaya — tempat Aruza dulu dibuang — telah bersih total dari iblis, senyum Orun sedikit memudar.
> "...Mustahil. Tidak ada yang bisa selamat dari tempat itu."
Namun dalam hatinya, ia merasa sesuatu yang mengganjal... seseorang yang ia anggap mati, mungkin... masih hidup.
---
[To Be Continued...]
---
---
Chapter 5: Pertemuan Takdir — Bayangan dari Masa Lalu
Langit kota Lion Emperor gelap, badai hitam pekat bergulung di atas cakrawala. Aura mengerikan yang sudah lama tak terasa mulai meliputi seluruh wilayah.
Itu adalah pertanda:
Raja Iblis telah bergerak.
Pasukan pahlawan, termasuk Orun dan teman-teman Aruza dari masa sekolah, berkumpul di luar gerbang kota. Armor mereka mengkilap, status mereka tinggi:
Level 130, 150, 170 — semua berdiri dengan percaya diri.
Namun badai iblis itu tak biasa. Debu hitam menutupi medan pertempuran, membuat penglihatan hampir mustahil.
---
Para pahlawan saling pandang, ragu untuk maju lebih dalam.
Di saat suasana mencekam itu, langkah kaki tenang terdengar dari sisi reruntuhan tembok kota.
Tap... tap... tap...
Sosok itu muncul. Pakaian hitam dengan pola sihir ungu samar berkilau di tengah kabut. Katana terselip di pinggang. Matanya tajam, kosong, dan dingin.
Itu adalah Aruza Azami.
---
Para pahlawan terpaku, sebagian bahkan tidak mengenal wajahnya karena penampilan Aruza yang telah jauh berubah. Tapi Orun... Orun mengenal tatapan itu.
Tatapan penuh kebencian, tatapan yang sama seperti saat Aruza terakhir berdiri di hadapan sang dewi, sebelum dibuang seperti sampah.
> "Kau... masih hidup?"
suara Orun goyah untuk pertama kalinya.
Aruza hanya berjalan melewatinya, tanpa sepatah kata pun. Ketika badai mulai menelan kawanan iblis, tanpa ragu Aruza mencabut katananya.
Satu tebasan.
Ratusan iblis menghilang seperti asap.
Para pahlawan terdiam, tak percaya dengan pemandangan itu. Level mereka tinggi, tapi apa yang mereka lihat di depan mata tak bisa dicerna oleh status biasa.
Orun mengepalkan tangan.
> "Mustahil... levelmu... tidak masuk akal."
Aruza berhenti sejenak, lalu menoleh sedikit. Nada suaranya datar, tapi penuh sindiran.
> "Kau pikir dunia ini adil, Orun?"
---
Pertemuan itu hanya sekejap. Namun, dunia telah berubah. Aruza, yang dulu dibuang seperti sampah, kini berdiri sebagai sosok paling berbahaya di antara mereka. Dan Orun... tahu betul, dendam itu belum selesai.
[To Be Continued...]
---
---
Chapter 6: Rencana Balas Dendam Aruza — Sampah Tak Lagi Diam
Setelah pertemuan dingin itu, malam di Kota Lion Emperor terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.
Aruza berdiri di atap penginapan kecilnya, menatap bulan yang terhalang awan tipis. Di bawahnya, Selena berdiri sambil menyilangkan tangan.
> "Kau kelihatan seperti mau bunuh seseorang."
Aruza tidak menjawab. Matanya tetap menatap langit, namun pikirannya hanya dipenuhi satu nama:
Orun.
---
Beberapa hari berlalu, rumor tentang sosok bertopeng hitam yang mampu menebas ribuan iblis dalam badai mulai menyebar ke seluruh kerajaan.
Orun, yang biasanya selalu percaya diri, kini malah mulai gelisah.
Para pahlawan lain sibuk berdebat siapa yang pantas disebut “penyelamat bayangan” itu, tanpa menyadari fakta paling sederhana:
Sosok itu adalah Aruza Azami — pahlawan yang dulu mereka buang.
---
Sementara itu, Aruza mulai menyiapkan langkah berikutnya.
Bukan sekadar bertahan hidup.
Bukan sekadar membuktikan diri.
Tapi balas dendam.
Dendam pada para dewi, pada Orun, pada dunia yang menginjak harga dirinya.
> "Yang membuangku, akan kuhancurkan satu per satu."
Dengan kemampuan abnormalnya, ia mulai merakit senjata baru, jauh lebih kuat dari katananya sebelumnya. Pedang hitam pekat, yang tak bisa dihancurkan oleh sihir manapun. Setiap guratan di bilahnya terukir nama-nama yang mengkhianatinya.
---
Suatu malam, Selena menghampiri Aruza.
> "Kau berubah sejak ketemu Orun... kau beneran mau bunuh mereka, ya?"
Aruza menatap Selena dalam-dalam, tanpa ragu.
> "Bukan sekadar membunuh. Aku ingin mereka merasakan seperti apa rasanya dibuang hidup-hidup."
---
Di balik senyumnya yang datar, ada satu rencana dingin yang sedang disusun oleh seorang anak SMA... yang tidak lagi mengenal rasa takut, tidak lagi mengenal empati manusia biasa.
Rencana balas dendam telah dimulai.
---
[To Be Continued...]
---
---
Chapter 7: Panggung Darah — Hari Pembalasan
Hari itu, langit kerajaan lebih cerah dari biasanya. Seolah alam sengaja menertawakan mereka yang tidak tahu apa yang akan terjadi.
Di pusat kerajaan, para pahlawan berkumpul. Termasuk Orun dan teman-teman Aruza yang dulu. Mereka semua dipanggil ke istana oleh para dewi.
> "Hari ini... kita akan menyusun strategi akhir untuk menghabisi raja iblis."
Suara dewi Iris terdengar penuh wibawa, tapi di balik senyumannya, ada ketakutan. Aura yang pernah terasa dari reruntuhan berbahaya... kini mulai mendekat lagi.
---
Sementara itu di kejauhan, Aruza berdiri di atas tebing, mengenakan jubah hitam sihirnya.
> "Sudah cukup. Pertunjukan akan dimulai."
Katana hitam pekat di pinggangnya, tangan kirinya menggores udara, menciptakan lingkaran sihir berwarna ungu gelap. Sihir abnormal yang dulu dianggap sampah, kini menjadi senjata pemusnah massal.
---
Di ruang rapat, suasana mendadak mencekam.
Alarm sihir berbunyi.
Getaran keras membuat jendela-jendela retak.
Para pahlawan segera keluar dan menatap ke langit.
Satu ledakan ungu besar meledak di langit, membentuk simbol yang hanya dipahami oleh satu orang:
> 「Aruza Azami」
Orun terdiam. Teman-temannya pucat.
---
Tak butuh waktu lama, bayangan hitam mendarat di tengah kerumunan para pahlawan.
> "Lama tidak berjumpa, pahlawan-pahlawan pilihan para dewi."
Aruza berdiri tegak di sana. Tatapan kosong, penuh kehinaan, menatap wajah-wajah yang dulu meremehkannya.
Orun maju satu langkah, mencoba tetap tenang.
> "Jangan bertingkah sok kuat, Aruza! Kau pikir bisa melawan kami semua?"
Aruza hanya tertawa kecil.
> "Dulu aku dibuang karena dianggap lemah... sekarang kalian semua adalah target latihan pertamaku."
---
Dalam sekejap, Aruza menghunus katana hitamnya. Satu tebasan — ruang di sekitarnya retak seperti kaca, para pahlawan langsung terseret oleh tekanan sihir abnormal.
Panik, Orun dan yang lain mengaktifkan sihir perlindungan, tapi bahkan itu pun mulai retak hanya karena kehadiran Aruza.
> "Kalian akan tahu... apa rasanya dianggap sampah."
---
Pertunjukan balas dendam dimulai.
Dunia yang pernah menginjaknya kini menjadi saksi, betapa berbahayanya membuang sesuatu yang tak mereka mengerti.
[To Be Continued...]
---
---
Chapter 8: Dosa yang Terlambat Disesali
Darah menetes di antara reruntuhan kota, angin malam meniupkan aroma besi yang menusuk hidung. Tubuh para pahlawan terkapar, nafas terengah, wajah mereka berubah jadi campuran ketakutan dan penyesalan.
Orun berdiri terhuyung, HP-nya kini tinggal 32 dari 5000.
> "A-Aruza... cukup... kenapa... sampai sejauh ini...?"
Aruza menatapnya dengan mata kosong, tak ada lagi senyum di wajahnya. Hanya tatapan logis seorang mantan “sampah” yang kini berdiri di puncak rantai makanan.
> "Kenapa? Bukankah kalian yang bilang, sampah sepertiku tak pantas bicara?"
Suara Aruza datar, tapi setiap kata seperti pisau yang menusuk dalam ke hati.
---
Flashback
Di pikirannya, kilasan ingatan muncul:
Waktu pertama kali tiba di dunia lain, bola sihir miliknya bersinar redup.
Dewi Iris mengacuhkan keberadaannya.
Teman-teman yang pernah tertawa bersama... kini menatap jijik saat ia diusir.
Dunia itu menganggapnya tidak berguna.
---
Kembali ke kenyataan, Orun berlutut, tangan gemetar.
> "Kami... cuma ikuti dewi... aku—aku minta maaf..."
Aruza mendekat perlahan, suara langkahnya bergema di antara sunyi.
> "Permintaan maaf? Terlambat."
Katana hitam di tangannya mulai bersinar. Sihir abnormal bergelombang seperti racun yang merayap di udara.
Tepat saat Aruza mengayunkan pedangnya untuk mengakhiri semuanya... Selena muncul, menahan tangan Aruza.
> "Cukup, Aruza. Kau udah menang."
---
Untuk pertama kalinya, tangan Aruza bergetar.
Selena menatap dalam-dalam matanya, seakan berusaha menarik kembali sisa-sisa kemanusiaan yang telah lama terkubur.
> "Kalau kau teruskan... kau akan lebih parah dari mereka."
---
Aruza menarik napas panjang.
Katana itu perlahan ia turunkan.
> "Aku... sudah tidak punya tempat di dunia ini, bahkan rasa kasihan pun tidak tersisa."
Selena:
> "Kalau begitu, aku yang jadi tempatmu. Jadi... berhentilah."
---
Langit mulai cerah.
Para pahlawan yang tersisa hanya bisa terdiam, menatap punggung Aruza yang perlahan pergi bersama Selena.
Mereka sadar...
Dosa mereka terlalu dalam untuk ditebus.
Dan dunia mulai menyebarkan satu nama, bukan lagi sebagai 'sampah', tapi sebagai — “Shadow Hero: Aruza Azami”.
---
[End of Chapter 8]
---
---
Epilog: Bayangan yang Tak Bisa Lari dari Masa Lalu
Hari berganti, dunia perlahan kembali tenang. Tapi nama Aruza Azami mulai terdengar di seluruh penjuru benua.
Bukan sebagai "pahlawan", bukan sebagai "orang buangan" —
melainkan legenda, yang berdiri di atas logika dunia.
---
Di Lion Emperor Kingdom, Selena duduk di sebuah balkon, menatap ke langit senja. Di belakangnya, Aruza berdiri bersandar di dinding, masih dengan wajah dingin.
> "Kau tidak menyesal, kan?"
Selena membuka suara, pelan tapi dalam.
Aruza menatap jauh ke arah pegunungan, tempat reruntuhan berbahaya pernah menelannya hidup-hidup.
> "Menyesal? Dunia yang membuangku, kenapa aku harus peduli?"
Ia menatap tangannya sendiri, bekas luka dari pertarungan melawan Raja Iblis masih tertinggal, seakan jadi pengingat:
Dunia tidak pernah adil.
---
Tapi Selena perlahan berjalan mendekat, lalu dengan senyum tipis menepuk bahunya.
> "Mungkin dunia gak adil. Tapi hidupmu sekarang bukan milik dunia, Aruza... tapi milikmu sendiri."
---
Aruza menoleh, diam sesaat, lalu perlahan mengangguk.
Tak perlu kata manis, tak perlu balasan.
Dendamnya telah selesai, dan yang tersisa hanyalah...
jalan hidup baru sebagai manusia yang bebas.
---
**『ゴミの身分のアルザ・アザミは異世界で最強である』
END -**
---
Pesan moral dari cerita ini:
Jangan menilai seseorang dari apa yang tampak di awal.
Kadang, seseorang yang kamu anggap "lemah" sedang menahan kekuatan besar.
Dunia ini keras, dan tidak adil — tapi yang bertahan bukan yang terkuat, melainkan yang tidak menyerah.