Malam itu, udara terasa berat, seolah-olah langit menghimpit napasnya sendiri. Arin berdiri di tepi jembatan, tangannya menggenggam erat pagar besi yang dingin. Napasnya berasap.
Di bawah, sungai yang gelap mengalir dengan tenang, memantulkan cahaya bulan yang pucat. Dia menutup mata, mencoba mengusir bayangan kecelakaan itu dari pikirannya—teriakan, benturan, dan kemudian, keheningan yang mematikan.
Tapi kali ini, dia tidak di sini untuk melompat. Dia di sini untuk menyelamatkan seseorang. Dari kejauhan, dia melihat sosok wanita muda yang terhuyung-huyung mendekati tepi jembatan, matanya kosong dan penuh keputusasaan. Arin menarik napas dalam-dalam, merasakan energi aneh yang menggeliat di dalam dirinya. Dia harus mengeluarkan kemampuan rahasianya. Meski setiap kali melakukannya, dia akan merasa begitu menderita. Dialah sang pengendali tubuh. Tidak ada waktu lagi untuk menghampiri wanita tersebut.
"Maaf," bisiknya, hampir tidak terdengar. Arin membidik wanita tersebut dengan mengepalkan kedua tangan ke depan, ibu jari saling bertumpu dan jari kelingking saling menempel. Sebelum rasa dingin yang familiar menyebar di seluruh tubuhnya. Dan dalam sekejap, kesadaran Arin telah berpindah ke tubuh wanita yg ingin mengakhiri hidupnya.
Pandangannya berubah, tubuhnya terasa ringan, dan dunia di sekitarnya terasa asing. Dia sekarang berada di dalam tubuh perempuan muda itu, merasakan keputusasaan yang mendalam dan kekacauan emosi yang menguasai pikiran sang perempuan. Arin tahu dia tidak punya banyak waktu.
Dia menggerakkan tangan perempuan itu, memaksanya mundur dari tepi jembatan. Kaki perempuan itu melangkah dengan enggan, seolah-olah melawan keinginan sendiri. Arin merasakan perlawanan—sebuah dorongan kuat untuk kembali ke tepi, untuk mengakhiri semuanya. Tapi Arin tidak menyerah. Dia fokus, mengerahkan seluruh energinya untuk mengendalikan tubuh itu.
"Tidak," bisik Arin melalui bibir perempuan itu, suaranya gemetar. "Kamu tidak boleh melakukan ini."
Perempuan itu berhenti, tubuhnya gemetar hebat. Arin merasakan air mata mengalir di pipi perempuan itu, tapi dia tidak bisa membedakan apakah itu air matanya sendiri atau air mata perempuan itu. Perlahan, dia memandu perempuan itu menjauh dari jembatan, langkah demi langkah, sampai mereka mencapai trotoar yang aman.
Tiba-tiba, Arin merasakan dorongan yang lebih kuat—sebuah kekuatan asing yang mencoba mendorongnya keluar dari tubuh perempuan itu. Dia terkejut. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, dia bisa dengan mudah meninggalkan tubuh yang dia kendalikan, tapi kali ini, ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang gelap dan berat.
"Kamu tidak seharusnya ada di sini," suara itu bergema di dalam pikiran Arin, dalam dan mengancam. Arin mencoba melawan, tapi kekuatan itu terlalu besar. Dia merasa dirinya terseret, seperti terhisap ke dalam lubang hitam yang tak berujung.
Dan kemudian, semuanya berubah.
Arin terbangun di tempat yang sama, tapi suasana sekitarnya berbeda. Jembatan itu masih ada, tapi sekarang terlihat tua dan rusak, seolah-olah telah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Langit berwarna merah tua, dan udara terasa panas dan kering. Dia melihat ke bawah, dan sungai yang tadinya mengalir tenang sekarang menjadi aliran lahar yang mendidih.
"Di mana aku?" Arin bertanya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar.
"Kamu ada di tempat yang seharusnya tidak kamu masuki," jawab suara itu lagi, kali ini lebih dekat. Arin berbalik dan melihat sosok tinggi dengan mata merah menyala, mengenakan jubah hitam yang berkibar-kibar. Sosok itu tersenyum, tapi senyumannya penuh dengan ancaman.
"Kamu telah mengganggu keseimbangan," kata sosok itu. "Dan sekarang, kamu harus membayarnya."
Arin mencoba melarikan diri, tapi kakinya terasa seperti tertanam di tanah. Dia merasakan ketakutan yang mendalam, lebih dari yang pernah dia rasakan sebelumnya. Dia mungkin telah melampaui batas, menggunakan kekuatannya terlalu sering untuk menyelamatkan orang lain. Setiap cahaya yg begitu terang akan menghasilkan bayangan yg sangat gelap. Sesuatu yg misterius, bersiap memangsa.
Tapi sebelum sosok itu bisa mendekat, suara lain terdengar—suara yang lembut dan menenangkan.
"Arin, bangun!"
Arin terkejut, dan tiba-tiba dia kembali di jembatan itu, tubuhnya sendiri lagi. Perempuan muda itu sudah pergi, dan di depannya berdiri seorang pria dengan mata biru yang dalam, memegang tangannya dengan erat.
"Kamu hampir saja terjebak di sana," kata pria itu, suaranya serius. "Kamu harus lebih berhati-hati."
Arin mengangguk, masih gemetar. Dia tahu pria itu benar. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang dia tidak sepenuhnya ia pahami namun sangat mengganggu. Insting Arin merasakan keanehan.
Pria itu, meski mereka tidak terikat tali darah tetapi sudah dianggap Arin sebagai kakaknya sendiri. Berdua mereka melewati kerasnya hidup. Arin bertemu dengannya saat masih kecil di panti asuhan. Purnama, namanya secerah bulan, dan ia selalu melindungi Arin dari apapun itu. Kak Purna bertindak sebagai mentor yang mengajarkan Arin teknik mengendalikan tubuh.
Kak Purna menatapnya dengan tatapan lembut. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.
Arin mengangguk lagi, mencoba tersenyum. "Aku baik, Kak. Cuma... ada sesuatu yg aneh. Seperti ada yang mengawasi kita."
Kak Purna mengerutkan kening. Insting Arin jarang salah. Sejak kecil, Arin selalu bisa merasakan hal-hal yang tidak bisa disadari orang lain.
"Kita harus lebih berhati-hati," kata Kak Purna, suaranya rendah. "Aku tidak ingin kamu terluka lagi."
Arin menghela napas. Dia ingat malam itu, saat dia hampir terbunuh. Jika bukan karena Kak Purna, dia mungkin sudah tidak ada di sini. Tapi kenapa? Siapa yang ingin menyakitinya? Dan yang lebih penting, kenapa sekarang? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arin.
Kak Purna tahu betul dari ekspresi Arin yg tampak kesulitan. "Arin, selalu ada kegelapan di kehidupan ini. Dunia ini begitu luas. Tidak semua orang baik dan ingin menyelamatkan orang lain sepertimu. Ada juga yg menginginkan dunia ini terbakar." Meski dengan nada lembut, kalimatnya begitu tegas.
"Kak," Arin bicara, suaranya sedikit ragu. "Apa kamu pernah merasa... ada yang disembunyikan dariku?"
Kak Purna terdiam sejenak, matanya menghindari tatapan Arin. "Apa maksudmu?" mereka terus berjalan.
"Entahlah mungkin suatu rahasia dari kemampuan ini atau orang-orang jahat yg sering kakak sebutkan. Sesuatu yang kakak tahu, tapi tidak memberitahuku."
Kak Purna menarik napas dalam-dalam. "Arin, banyak hal yang belum waktunya kamu ketahui. Sedikit yg kamu tahu itu justru lebih baik. Tapi percayalah, semua yang aku lakukan adalah untuk melindungimu."
Arin merasa sedikit kesal. Dia sudah cukup dewasa untuk tahu kebenaran. Dia sungguh penasaran. Arin ingin menceritakan sosok aneh yg ia temui setelah melakukan pengambilan tubuh sejenak. Namun Arin mengurungkan niatnya. Baiklah kalau mau main rahasia-rahasiaan.
"Oke," Arin mengangguk anggukkan kepalanya. "Tapi janji padaku satu hal ya, kak."
"Apa itu?" tanya Kak Purna.
"Jika ada bahaya yang mengancam kita, kamu akan memberitahuku. Aku tidak ingin kamu menanggung semuanya sendirian lagi."
Kak Purna tersenyum kecil. "Janji."
Malam itu, setelah Kak Purna pergi ke kamarnya, Arin duduk di tepi jendela, menatap bulan purnama yang bersinar terang. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak terjawab. Kenapa dia memiliki kekuatan ini? Kenapa ada orang yang ingin menyakitinya? Dan yang paling penting, apa hubungan semua ini dengan masa lalunya yang dia tidak ingat sama sekali? Memori arin hanya terhenti di panti asuhan. Bersama anak-anak panti dan kak Purna sebelumnya, ingatan arin benar-benar nihil.
Setibanya di rumah, ketika Arin baru saja beberapa detik meluruskan tubuhnya di kasur, dia mendengar suara langkah kaki di luar. Jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba tenang, tapi rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Langkah kaki itu semakin dekat, dan kemudian, dia mendengar suara ketukan di pintu. Tengah malam dan kos kosan ini banyak kosong karena penghuni lain pulang kampung.
"Arin," suara itu memanggil. Tapi itu bukan suara Kak Purna.
Arin merasakan dingin yang menyebar di seluruh tubuhnya. Dia tahu dia harus membuka pintu, tapi kakinya terasa seperti tertanam di tanah.
"Arin, buka pintu," suara itu memanggil lagi, kali lebih keras.
Dengan gemetar, Arin berjalan ke pintu dan membukanya. Di depannya berdiri seorang wanita dengan mata biru yang dalam, mengenakan jubah hitam. Wanita itu tersenyum, tapi senyumannya penuh dengan ancaman.
"Kami sudah menunggumu lama, Arin," kata wanita itu. "Sudah waktunya kamu kembali ke tempatmu."
Arin mencoba menutup pintu, tapi wanita itu sudah mendorongnya terbuka. "Kak Purna!" teriak Arin, suaranya penuh ketakutan.
Dalam sekejap, Kak Purna sudah ada di sampingnya, kemampuan istimewanya adalah teleportasi. Melindungi Arin dengan tubuhnya. "Pergi dari sini!" perintahnya, suaranya keras dan penuh ancaman.
Wanita itu tertawa. "Kamu tidak bisa melindunginya selamanya, Purnama. Dia milik kami. Cepat atau lambat."
Kak Purna tidak menjawab. Dia langsung menyerang, bergerak dengan cepat dan presisi. Tapi wanita itu juga tidak kalah cepat. Pertarungan sengit terjadi di depan mata Arin, yang hanya bisa berdiri terpaku, ketakutan.
"Arin, lari!" teriak Kak Purna, tapi Arin tidak bisa bergerak. Dia merasa seperti ada yang menahannya, seperti kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Wanita itu tersenyum lagi. "Kamu tidak bisa melarikan diri, Arin. Kekuatanmu dari kami dan ia tahu harus mengabdi pada siapa."
"Bohong Arin, itu tidak benar!" Kak Purna berseru.
Tapi sebelum wanita itu bisa mendekat, tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan memenuhi ruangan. Arin merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir di dalam dirinya, dan tanpa sadar, dia mengangkat tangannya. Wanita itu terlempar ke belakang, terbanting ke dinding.
Kak Purna terkejut. "Arin, apa yang kamu lakukan?"
Arin tidak bisa menjawab. Dia merasa seperti ada yang mengendalikannya, tapi kali ini, dia tidak takut. Dia tahu ini adalah bagian dari dirinya, bagian yang selama ini dia coba sembunyikan.
Wanita itu bangkit, matanya penuh dengan kemarahan. "Kamu tidak bisa menang, Arin. Kami akan kembali."
Dan dengan itu, dia menghilang dalam kegelapan.
Arin jatuh ke lantai, kehabisan energi. Kak Purna langsung berlutut di sampingnya, memegang tangannya dengan erat.
"Arin, kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Arin mengangguk. Ini hanya awal. Jelas ada sesuatu yang lebih besar yang akan terjadi, dan dia harus siap menghadapinya.
"Kak," bisik Arin, suaranya lemah. "Apa yang terjadi padaku?"
Kak Purna menarik napas dalam-dalam. "Semakin sedikit yg kau tahu semakin baik."