Namaku Alya, mahasiswi semester dua dari Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. Menjadi mahasiswa adalah impian sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Saat teman-teman kecilku bercita-cita menjadi dokter atau pilot, aku selalu mengatakan, “Aku ingin kuliah di universitas.” Bagiku, menempuh pendidikan tinggi bukan sekadar gelar, tapi sebuah perjalanan untuk menemukan jati diri dan menjadi pribadi yang lebih berarti. Kini, ketika aku benar-benar menjalani hari-hari sebagai mahasiswi, aku merasa mimpi itu mulai membentuk kenyataan.
Hari-hariku di kampus selalu dimulai dengan langkah sederhana—bangun pagi, bersiap, dan berjalan kaki atau naik motor menuju fakultas. Kosku tidak terlalu jauh dari kampus, tapi cukup memberi waktu untuk memikirkan agenda hari itu. Di sepanjang jalan, aku sering memandangi pepohonan yang rindang dan meresapi sejuknya udara pagi. Sesekali, aku melihat mahasiswa lain yang juga sedang terburu-buru ke kelas, wajah mereka mencerminkan semangat yang sama.
Fakultas Pertanian adalah rumah kedua bagiku. Di sinilah aku belajar mengenal tanah, tumbuhan, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pertanian. Ruang-ruang kelas kami mungkin tidak selalu nyaman—kadang kipas angin mati atau proyektor bermasalah—tapi semangat belajar tak pernah padam. Salah satu dosen favoritku, Ibu Nurmi, selalu punya cara menarik menyampaikan materi. Beliau sering menyelipkan cerita lucu atau kisah dari pengalaman lapangannya yang membuat kami tertawa dan betah mendengarkan.
Salah satu mata kuliah favoritku adalah Ilmu Tanah. Praktikumnya selalu membuatku merasa seperti ilmuwan kecil. Kami pernah ke Desa Mpanau untuk melakukan analisis tanah secara langsung. Saat itu, aku dan kelompokku—terdiri dari Dinda, Nanda, dan Rian—menggali tanah dengan cangkul, lalu mengamati tekstur, warna, dan kelembapannya. Rian, seperti biasa, menjadi sumber kekacauan karena saat mencangkul dia malah menyipratkan tanah ke muka Dinda, membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal di tengah panas terik. Walaupun tangan kami kotor dan baju berdebu, semua terasa menyenangkan. Kami belajar membedakan tanah lempung, pasir, dan liat. Aku jadi tahu bahwa tanah bukan sekadar tempat berpijak, tapi media kehidupan yang kompleks.
Selain perkuliahan, dunia kampus juga memperkenalkanku pada kehidupan organisasi. Awalnya aku ragu ikut kegiatan di luar akademik karena merasa tidak percaya diri. Tapi dorongan dari Dinda dan kakak tingkatku, Kak Icha, membuatku mencoba bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan. Di organisasi ini, aku mulai belajar menyusun proposal, berbicara di forum, mengatur acara, bahkan memimpin rapat. Kami pernah mengadakan seminar nasional tentang pertanian berkelanjutan, dan aku menjadi panitia konsumsi. Aku ingat betul malam sebelum seminar, kami sampai tidur di sekretariat demi menyiapkan konsumsi. Mie instan, kopi sachet, dan canda-tawa jadi bekal kami. Walaupun hanya bagian logistik, aku merasa bangga bisa berkontribusi.
Namun hidup di kampus tidak selalu manis. Ada saat-saat aku merasa tertekan, terutama ketika tugas menumpuk dan deadline berdekatan. Belum lagi tekanan dari dalam diri—ingin membanggakan orang tua, ingin dapat IPK tinggi, ingin cepat lulus. Pernah suatu malam aku menangis karena nilai ujian Ilmu Tanah tidak sesuai harapan. Tapi aku belajar untuk tidak menyerah. Aku mencoba memperbaiki cara belajar, mencari teman diskusi, dan lebih aktif bertanya pada dosen. Di balik semua kesulitan, selalu ada pelajaran yang membuatku tumbuh.
Teman-teman kampusku juga punya peran penting dalam perjalanan ini. Kami belajar bersama, saling membantu saat kesulitan, dan kadang saling menghibur dengan candaan sederhana. Di sela-sela kuliah, kami suka duduk di taman kampus sambil berbagi cerita. Dinda sering bercerita tentang keluarganya di Banggai, Nanda suka membahas drama Korea yang sedang populer, dan Rian... ya, Rian selalu punya cerita absurd entah tentang ayam kampus atau hal-hal receh lainnya. Tapi semua itu membuat kami merasa dekat, seperti keluarga kecil yang saling menopang.
Di fakultas, aku juga aktif mengikuti pelatihan-pelatihan, seperti pelatihan hidroponik dan pembuatan pupuk organik cair. Aku pernah mengikuti lomba karya tulis ilmiah tentang teknologi pertanian sederhana untuk petani desa. Meskipun belum menang, pengalaman menulis dan mempresentasikan ide itu sangat berkesan. Aku jadi lebih percaya diri dan ingin terus belajar.
Kampus juga memberiku kesempatan untuk mengenal dunia luar. Lewat program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sedang aku persiapkan, aku berharap bisa terjun langsung ke masyarakat dan menerapkan ilmu yang telah kupelajari. Aku ingin suatu hari bisa menyampaikan penyuluhan tentang teknik pertanian modern, mengajarkan petani cara merawat tanah agar tetap subur, atau membantu mereka memahami manfaat pupuk organik. Meskipun belum terjadi sekarang, aku percaya langkah-langkah kecil dari kampus ini akan membawaku ke sana.
Tak bisa dipungkiri, kampus telah mengubah cara pandangku terhadap masa depan. Dulu aku hanya berpikir bahwa kuliah itu untuk cari kerja. Sekarang aku paham, kuliah itu tentang membuka wawasan, membangun relasi, dan mempersiapkan diri menjadi manusia yang berguna. Aku ingin menjadi ahli pertanian yang tidak hanya paham teori, tapi juga peduli pada petani kecil, lingkungan, dan keberlanjutan alam.
Masa kuliah memang penuh warna. Kadang terang, kadang kelabu. Tapi semua warna itu membuat perjalanan ini bermakna. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari Universitas Tadulako, belajar di tengah orang-orang hebat, dan menapaki jalan menuju impian. Setiap hari di kampus adalah peluang untuk tumbuh, belajar, dan memperbaiki diri. Aku tahu perjalanan ini belum selesai, tapi aku siap melanjutkannya dengan penuh semangat.
Dunia kampusku bukan hanya tempat belajar, tapi tempat aku menemukan tujuan hidup. Di sinilah aku belajar bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya tentang IPK, tapi juga tentang menjadi manusia yang peduli dan tangguh. Dan selama aku masih di sini, aku akan terus menanam ilmu, merawat harapan, dan menuai masa depan.