Hujan selalu turun setiap kali Raka datang ke rumah tua itu.
Berlantai kayu, berjendela tinggi, dan dipenuhi aroma kayu lapuk, rumah itu berdiri sunyi di pinggiran kota. Tak ada yang tinggal di sana, tak ada pula yang berani mendekat. Tapi bagi Raka, tempat itu bukan sekadar bangunan kosong. Itu adalah tempat di mana hatinya tertinggal. Tempat ia pertama kali bertemu sosok yang tidak seharusnya bisa ia cintai.
Namanya Auri. Atau setidaknya, itulah nama yang ia dengar dari bisikan lembut di malam pertama ia menginjakkan kaki di sana. Sosoknya samar—berambut panjang, berpakaian putih lusuh, dan kulitnya pucat seperti kabut pagi. Tapi matanya… matanya indah, penuh luka, seolah menyimpan cerita yang telah lama dikubur dalam diam.
Awalnya Raka pikir itu hanya halusinasi. Tapi Auri terus muncul, setiap kali ia datang. Mereka berbicara, tertawa, berbagi kisah—meski dunia seolah menolak hubungan itu. Ia adalah hantu. Raka tahu itu. Tapi entah bagaimana, ia tak pernah merasa lebih hidup daripada saat bersama Auri.
“Aku... sudah lama di sini,” bisik Auri suatu malam. Mereka duduk berdua di balkon, memandang hujan yang membasahi atap.
“Kenapa kau tak pergi?” tanya Raka, menggenggam jemarinya yang dingin seperti embun pagi.
“Aku menunggu seseorang… Tapi ternyata, yang datang malah kamu,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Seiring waktu, Raka jatuh cinta. Bukan cinta yang logis. Bukan pula cinta yang bisa diterima dunia. Tapi cinta yang tumbuh di antara batas hidup dan mati, nyata dan tidak nyata.
Setiap malam ia datang, dan setiap pagi ia pergi dengan hati yang hampa. Ia tahu, Auri bukan bagian dari dunia ini. Ia tahu, ia seharusnya melepaskan.
Namun cinta... tidak pernah mudah untuk dijelaskan.
***
Suatu malam, Auri tidak muncul.
Raka menunggu. Jam demi jam berlalu dalam keheningan yang menggigit. Rumah itu terasa lebih dingin, lebih sepi dari biasanya. Ia memanggil, berbisik, bahkan berteriak. Tapi tidak ada jawaban.
Saat ia hampir putus asa, Auri muncul—dengan mata sembab dan luka di lehernya yang kini tampak jelas.
“Waktuku hampir habis,” katanya lirih.
“Apa maksudmu? Bukankah... kamu sudah mati?”
Auri tersenyum pahit. “Arwah pun bisa terhapus jika tak lagi diingat. Aku hanya bertahan karena kamu... karena ingatanmu, perasaanmu... Tapi manusia akan melupakan. Cepat atau lambat.”
Raka mengguncang tubuhnya, berusaha menyangkal. “Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
“Tapi kamu akan menua... dan aku akan hilang. Aku bukan nyata, Raka.”
Tangis meledak di dadanya. Ia tahu, tak ada cara untuk melawan waktu. Bahkan cinta sekuat apa pun tidak bisa menantang hukum semesta.
“Kalau begitu, biarkan aku bersamamu… Sekali saja. Sepenuhnya,” pinta Raka.
Auri mendekat. Mereka saling memeluk, dan untuk pertama kalinya, tubuh Auri terasa hangat. Malam itu, dua dunia menyatu dalam sunyi. Tak ada kata-kata. Hanya pelukan dalam senyap, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada cinta yang tidak semestinya ada.
Dan saat fajar datang, Auri memudar di pelukan Raka.
Tak ada tangis. Tak ada suara. Hanya udara yang kembali dingin.
***
Bertahun-tahun kemudian, rumah itu runtuh karena usia. Tapi legenda tentang seorang pria muda yang jatuh cinta pada hantu masih diceritakan orang-orang. Tentang bagaimana ia datang setiap malam, berbicara sendiri, tersenyum pada dinding kosong, dan menangis sendirian saat hujan turun.
Dan ketika Raka meninggal—sendirian, di usia senja—orang-orang mengaku melihat bayangan wanita berpakaian putih memeluk tubuhnya dengan senyum penuh kedamaian.
Mereka bilang, cinta tak bisa menyatukan mereka saat hidup.
Tapi kematian... akhirnya menyatukan mereka untuk selamanya.
---