Sejak pertama kali pindah ke SMA Harapan, Aurel merasa ada yang tidak biasa dengan kelas XII IPA 2.
Ruangannya selalu lebih dingin dari kelas lain, bahkan saat AC dimatikan. Setiap pagi, bangku yang ia duduki terasa hangat, seolah baru saja ditinggalkan seseorang.
“Udah biasa, kelas ini emang kayak nyimpen hawa,” kata Dira, temannya.
Tapi Aurel tahu, itu bukan sekadar hawa. Itu seperti… jejak.
---
Suatu siang, saat jam kosong, Aurel membersihkan mejanya. Ia menyapu debu di permukaan kayu, lalu menyelipkan tangan ke dalam laci. Ujung jarinya menyentuh sesuatu-sebuah buku catatan usang. Sampulnya sobek, warnanya pudar.
Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan itu membuatnya terdiam:
"Namaku Ayuni. Dan aku masih di sini."
Aurel menahan napas.
Kreeeek…
Jendela kelas berderit pelan, seolah disentuh angin. Tapi kelas itu tertutup rapat.
Ia membaca lagi.
Tulisan itu menceritakan tentang Ayuni, seorang siswi pendiam yang duduk di bangku yang sama. Ia sering menjadi sasaran ejekan. Diabaikan. Sampai suatu hari… ia menghilang. Tanpa kabar. Tanpa pencarian.
"Aku tidak pergi. Aku di sini. Tapi kalian memilih melupakan. Maka aku menunggu... seseorang yang bisa menggantikan."
Brak!
Papan tulis di depan jatuh dengan suara keras. Aurel tersentak. Dadanya berdegup cepat. Tak ada angin. Tak ada orang lain di kelas itu selain dirinya.
---
Sejak hari itu, Aurel mulai merasa diawasi.
Di kamar mandi sekolah, bayangannya di cermin berlipat dua.
“Aaaaa!!!”
Terdengar jeritan panjang dari bilik sebelah saat ia sendirian di toilet. Tapi ketika diperiksa, tidak ada siapa pun di sana.
Di koridor sekolah, langkah kakinya selalu terasa diikuti.
Tap… tap… tap…
Namun saat menoleh, lorong itu kosong.
Perlahan, Aurel menjadi pendiam. Tatapannya kosong. Teman-temannya mulai menjauh.
“Lu kayak beda, Rel… kayak bukan lu,” ujar Dira suatu hari.
---
Malam itu, Aurel bermimpi. Ia berada di kelas, tapi semua kursi kosong. Lampu redup, hanya satu meja di tengah ruangan.
Di sana duduk seorang gadis dengan rambut panjang menutupi wajah. Seragamnya lusuh, penuh bercak merah.
Aurel melangkah maju. Gadis itu menengadah. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan lehernya... miring, seperti patah.
“Ayuni…”
“Akhirnya kamu ingat,” bisik gadis itu. Suaranya berat, dingin, seperti berasal dari perut bumi.
“Kita pernah ketemu, Kamu ingat aku dijahili, Kamu lihat, Tapi kamu diam.”
Aurel mundur. “Aku... aku nggak tahu…”
“Kamu tahu. Dan kamu membiarkan.”
Gadis itu berdiri. Bibirnya menyunggingkan senyum menyedihkan.
“Sekarang, giliranmu.”
“AAAAAA!!!”
Teriakan Aurel menggema di ruang kosong.
Keesokan harinya, Aurel tidak datang ke sekolah. Tidak juga di hari berikutnya. Bangkunya kosong. Tidak ada yang mencari. Seolah… Aurel tidak pernah ada.
---
Setahun berlalu.
Awal tahun ajaran baru. Wali kelas memperkenalkan murid pindahan.
“Silakan duduk di kursi kosong itu, Naya.”
Naya tersenyum ramah dan duduk di bangku yang terletak di dekat jendela. Saat ia membuka laci meja, tangannya menyentuh sesuatu.
Sebuah buku catatan usang.
Di halaman pertama tertulis:
"Namaku Aurel. Dan aku masih di sini."
Dari luar jendela yang sedikit terbuka, terdengar suara langkah perlahan…
Tap… tap… tap…
Seolah seseorang baru saja meninggalkan tempat duduk itu.