“Yang patah akan tetap berdiri, meski tak lagi sama bentuknya. Seperti hatiku, yang masih utuh meski sudah tak kau miliki.”
Jogja, sore ini seperti hatiku—teduh, tapi penuh sesak yang tak bisa dijelaskan. Aku duduk di bangku panjang dekat Titik Nol Kilometer, dikelilingi suara lalu-lalang dan lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Angin membelai pelan wajahku, membawakan aroma rindu yang sulit kuurai.
Aku kembali ke tempat ini, karena di sinilah segalanya pernah terasa hangat. Tempat di mana Adi dan aku duduk berdua, tertawa tanpa memikirkan akhir, dan menatap masa depan seolah ia begitu dekat, begitu mungkin. Tapi kenyataannya, kita terlalu percaya pada kata ‘selamanya’, padahal semesta hanya mengizinkan kita satu tahun.
Aku masih ingat jelas pertemuan pertama kami di kelas filsafat. Dia datang terlambat, duduk di sampingku, dan dengan enteng mengajak bicara soal Nietzsche seolah kami sudah saling kenal. Waktu itu, aku cuma tersenyum kecil, heran sekaligus kagum.
Dan sejak saat itu, aku membiarkan semesta menulis cerita kami.
Adi membuatku merasa dicintai tanpa harus menjadi versi terbaik dari diriku. Dia yang pertama kali mengajakku ke Taman Sari hanya untuk duduk dan membaca puisi. Dia juga yang mengenalkanku pada kopi hitam pahit dan cara menertawakan dunia yang tak selalu adil.
Tapi kebersamaan kami mulai pudar tanpa suara.
Percakapan kami jadi pendek. Pertemuan sering tertunda. Dan aku mulai merasa sendirian, bahkan saat sedang bersamanya. Aku tahu, sesuatu berubah. Tapi aku tak tahu harus memperbaiki dari mana, atau apakah aku masih bisa menyelamatkan yang sudah retak.
Sampai akhirnya dia bilang:
“Aku rasa kita harus berhenti, Sin. Bukan karena aku tak sayang, tapi karena kita sudah tak sejalan.”
Kalimat itu menyayatku dalam-dalam. Tapi aku hanya diam. Mungkin karena bagian dari diriku sudah lebih dulu hancur sebelum dia mengatakannya.
Sejak saat itu, aku sering datang ke tempat-tempat yang pernah kami kunjungi. Bukan untuk mengenang dia, tapi untuk menemukan diriku kembali. Aku menulis puisi-puisi kecil di buku catatan cokelatku, berharap mereka bisa menghapus suara-suara yang terus terngiang.
Sore ini, aku menulis satu lagi:
“Mungkin di kota ini, kamu dan aku pernah menjadi kisah. Tapi Jogja akan tetap berjalan. Aku juga harus.”
Aku menutup bukuku, menatap langit yang mulai kehilangan jingga, dan tersenyum kecil—bukan karena aku telah melupakan, tapi karena aku sudah belajar melepaskan.
Cinta itu tidak selalu indah. Kadang, ia datang untuk mengajarkan bahwa kehilangan adalah bagian dari bertumbuh. Dan meski kisah kami telah *usai*, aku tahu hatiku belum selesai.
Aku akan mencintai lagi. Tapi kali ini, aku akan mencintai diriku lebih dulu.