"Bersatu adalah awal, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerja bersama adalah kesuksesan"
- Henry Ford
Masuk ke dalam sebuah ruangan dan duduk di dalamnya dengan keadaan cahaya yang
tidak begitu gelap, tetapi juga tidak begitu terang, merupakan salah satu caraku untuk
mendapatkan sebuah ketenangan dalam menulis catatan yang aku miliki. Ruangan yang
diterangi oleh lampu redup ini telah menjadi tempat di mana hampir semua memento moriku
ditulis dan disimpan di dalam sebuah buku. Buku yang memiliki sampul bergambarkan gaya
seni lukis graffiti. Buku ini sudah menjadi sebuah album kecil yang telah merekam cukup
banyak peristiwa, mulai dari yang aku alami sendiri, maupun yang terjadi di dalam
lingkungan sekitarku. Mungkin kalian mempunyai pertanyaan seperti “Mengapa sampulnya
harus bergaya graffiti?” atau mungkin pertanyaan lain yang berhubungan dengan buku
catatan ini. Sampul graffiti ini…memiliki sebuah memori tersembunyi di dalamnya, memori
yang akan sulit untuk dilupakan dan mungkin akan menjadi ingatan yang bersifat kekal
kepadaku. Juga…gambar ini aku replika lagi sesuai dengan hasil aslinya untuk mengenang
kejadian yang sangat-sangat kacau, kalian pun tak akan pernah mau melihat kejadian itu
secara langsung dengan mata dan kepala kalian. Ya, benar sekali. Gambar yang ada di atas
sampul buku ini hanyalah sebuah replika dari karya aslinya. Bagaimana aku bisa yakin bahwa
gambar ini hanyalah replika? Itu dikarenakan aku salah seorang yang terlibat dalam
pembuatan gambar yang asli itu. Dengan kata lain, akulah sang maestro di balik pembuatan
lukisan tersebut. Ingat! Aku hanya salah seorang dari penciptanya, satunya lagi ialah rekan
kerja paruh waktu dan juga teman masa kecil ku. Dia bernama Isma. Kami berdua sudah
saling mengenali satu sama lain semenjak kami duduk di bangku sekolah dasar. Hal pertama
yang perlu kalian ketahui tentang Isma adalah dia bukanlah manusia. Maksudku dia bukan
keturunan dari ras manusia seperti diriku, akan tetapi dia merupakan keturunan dari bangsa
elf. Kota ini memanglah sangat unik, tempat ini sudah menjadi rumah yang aman untuk
menjalani kehidupan dengan berbagai ras. Selain ras manusia dan elf, kota ini memiliki ras
dari bangsa lain, seperti bangsa peri, werewolf, vampir, alien, orc, dan masih banyak lagi.
Salah satu hal yang membuat begitu unik dari pertemanan kami adalah kepribadian kami
saling bertolak belakang antara satu sama lain. Jika aku merupakan perwujudan dari sosok
Fatalis yang agung dan ganas, maka dia adalah seorang penakluk yang dapat menenangkan
dan menjinakkan amarahku. Meskipun begitu, kami memiliki satu kesamaan, yaitu kami
berdua merupakan penggemar terhadap karya seni. Lalu, pada saat usia kami sudah mulai
menduduki bangku sekolah menengah atas, kami sudah jarang sekali bertemu antar satu sama
lain, tetapi kami masih berteman baik. Mungkin kami hanya dapat berbincang pada saat di
restoran untuk bekerja paruh waktu. Semua yang telah aku jelaskan dari awal tadi hanyalah
berupa gambaran sekilas tentang kedua orang yang menciptakan gambar graffiti yang ada di
sampul ini, tak lupa beserta dengan kota tempat mereka lahir dan tinggal. Supaya kalian lebih
mengetahui makna dari sampul catatan ini, aku akan membawa kalian menyelam lebih dalam
ke masa di mana kami berdua membuat lukisan ini. Halo semuanya, perkenalkan namaku
Zakariyya, atau teman-temanku biasa memanggil dengan sebutan Zak. Ini adalah catatan
graffiti ku, dan aku ucapkan selamat datang di Kota Uto, enam belas tahun yang lalu.
Kota Uto merupakan sebuah kota yang besar, meskipun ini adalah kota besar, situasi
di dalam kota ini menurutku tidak begitu padat. Bangunan seperti gedung-gedung,
perumahan, taman-taman, dan semua infrastruktur yang ada di dalam kota ini disusun dengan
begitu sempurna. Orang-orang banyak sekali berdatangan kemari untuk beradu nasib dan
mengejar impian mereka. Fakta lain terkait kota ini adalah tempat ini dibangun oleh beberapa
ras yang berbeda dan dibangun selang bertahun-tahun setelah perang besar antar ras. Maka
tak perlu merasa keheranan kepada diriku yang dapat hidup berdampingan dengan ras lain di
sekitarku. Semuanya saling bahu-membahu, membentuk rasa persatuan untuk memberi
kehidupan yang layak di dalam sini. Begitu indah dan terlihat sangat fana sekali bukan?
Namun, semua itu hanyalah kisah lama yang dapat diceritakan seperti halnya sebuah dongeng
kanak-kanak. Seiring berjalannya waktu, nampaknya kota ini mulai terkena percikan api kecil
yang dihasilkan dari gesekan antara bebatuan rijang dengan sebuah besi. Entah bagaimana
cerita pastinya, namun kota yang memiliki suasana damai ini, secara tiba-tiba menciptakan
suasana tegang di dalamnya. Semua kelompok ras yang awalnya hidup berdampingan dengan
baik, merubah semua sikap dan cara pandangnya menjadi merasa paling superior. Mereka
semua mulai sering saling berdebat mengenai ras manakah yang paling hebat dan paling
sempurna di seluruh penjuru Kota Uto. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak
begitu mengetahui penyebab awal suasana tegang nan suram ini bisa bangkit dan
menyelimuti kota yang indah ini. Tetapi, aku pernah mendengarkan sebuah rumor yang
beredar terkait dengan lahirnya suasana suram ini. Mereka mengatakan bahwa pada suatu hari terdapat perselisihan di sebuah tempat yang melibatkan antara beberapa ras yang berbeda
dan sayangnya perselisihan itu tak dapat ditangani dengan baik. Hal yang membuatku
semakin keheranan, sekaligus jengkel adalah dikatakannya perselisihan itu diawali dengan
sebuah masalah yang sepele.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari, perselisihan
tersebut kini perlahan berubah menjadi sebuah konflik yang berkepanjangan. Konflik yang
membuat berbagai ras yang awalnya damai itu membentuk kubu atau sekutu mereka
masing-masing dan memisahkan Kota Uto menjadi dua bagian berbeda. Jika kalian tahu
dengan sejarah mengenai Tembok Berlin, Kota ini pernah mengalami hal yang serupa dengan
peristiwa itu, hanya saja ini jauh lebih buruk menurutku. Kota yang pada awalnya dibangun
menjadi sebuah kesatuan, kini terbelah menjadi dua, dan tiap-tiap bagian dikuasai oleh
kelompok-kelompok yang berbeda. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memilih di
antara dua kubu tersebut? Beberapa dari mereka memutuskan untuk pergi ke tempat yang
lebih aman demi kehidupan keluarga mereka. Sementara yang lain memutuskan untuk tinggal
dalam bayangan kota dan membentuk kelompok pergerakan bawah tanah. Perbedaan antara
kubu-kubu yang menguasai kota dengan kelompok-kelompok ini adalah terletak pada jenis
ras anggota dan tujuan mereka. Contohnya, seperti Kota Uto bagian Timur itu dikuasai oleh
ras seperti manusia, elf, peri, dan lain sebagainya. Sementara, kota bagian Barat dikuasai oleh
ras seperti orc, penyihir, goblin, dan lain sebagainya. Namun, itu semua tak berlaku pada
kelompok bawah tanah ini, mereka terbentuk menjadi satu dan bertujuan membangkitkan
kembali kesatuan beserta kedamaian di Kota Uto. Tidak peduli kau terlahir sebagai ras dan
bangsa mana, selama kau ingin mengembalikan lagi Kota Uto seperti semua semula, kau
dapat bergabung dengan mereka. Ada banyak sekali kelompok bawah tanah yang bergerak
selama peristiwa itu terjadi, mereka pun memiliki metode masing-masing dalam
menyampaikan tujuan mereka. Beberapa di antaranya memilih untuk melakukan cara yang
keras dan bahkan ekstrem, sementara yang lainnya menyuarakan rasa persatuan dengan cara
yang pasif, seperti membuat sebuah graffiti. Meskipun hal itu termasuk ke dalam vandalisme,
namun pada kenyataannya aku bersama Isma pernah menjadi bagian kelompok pembuat
graffiti itu. Kelompok pembuat graffiti itu memiliki nama dan dikenal oleh masyarakat kota
dengan sebutan “Untitled Crew” kami menyebut diri kami sebagai para pelukis yang akan
membawa Kota Uto kembali bercahaya terang seperti sediakala. Meskipun begitu, pada
kenyataannya kami diberitakan sebagai sekelompok berandalan yang suka mencorat-coret
tembok properti milik orang asing.
Aku akan mengatakan hal yang sejujurnya, meskipun beberapa di antara kalian
mungkin akan tidak percaya apa yang akan aku katakan. Aku sebenarnya cukup setuju
dengan statement yang dikeluarkan oleh mulut media-media itu. Meskipun Untitled Crew
memiliki tujuan yang baik, namun pada akhirnya kelompok ini tidak lebih hanyalah
sekelompok berandalan yang memiliki kemampuan untuk melukis. Jika saja...jika saja ini
bukan karena Isma, aku mungkin tidak akan memiliki alasan lain untuk bergabung ke dalam
kelompok ini. Sejujurnya pun aku tidak pernah mau dan tidak peduli akan nasib sebuah kota
yang telah terpecah belah seperti sebuah vas yang telah jatuh. Aku juga akan mengakui
kepada kalian semua, bahwa aku sama sekali tidak paham yang dimaksud dengan persatuan
dan kesatuan. Satu-satunya alasan terbesar yang aku memiliki untuk bergabung hanyalah
ingin menjaga teman baikku. Itu bukan berarti aku membenci Kota Uto, tentu saja aku
mencintai kota ini, di sinilah aku lahir dan tumbuh besar, kota ini adalah rumahku. Aku akan
menjelaskan alasan kenapa aku tidak peduli terkait nasib kota ini nanti. Lalu, alasanku sangat
begitu ingin menjaga Isma karena hanya dialah yang kuanggap masih dapat berpikir secara
rasional dalam situasi seperti ini. Baiklah, aku akan berusaha berhenti membicarakan omong
kosong tentang Isma, karena harus kuakui, aku cukup menyukainya. Bagaimana?! Apakah
kalian merasa terpuaskan?! TERTAWALAH SEKERAS MUNGKIN SAMPAI AKAN
KUCABUT PITA SUARA KALIAN!!! Ngomong-ngomong...mari kita lanjutkan cerita ini.
Aku masih ingat sekali pada malam itu aku dan Isma telah selesai bekerja dan sudah
waktunya kami akan menutup toko. Kami pun membersihkan restoran dengan berlatarkan
suasana malam yang begitu tenang, serta diiringi hawa sejuk dari turunnya hujan. Seusai
membersihkan toko, Isma tiba-tiba memanggil serta menghampiriku dengan sebuah tas di
tangan kanannya.
“Hei, Zak!” Ucap Isma sambil menghampiriku.
“Iya? Ada apa kau tiba-tiba memanggilku?” Aku pun bertanya dengan posisi
membalikkan badanku agar dapat menghadapnya.
“Kau mau ikut untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan?” Isma menjulurkan
tangannya dan memperlihatkan isi tas yang dia bawa.
Dari dalam tas itu aku dapat melihat beberapa kaleng cat semprot, itu menandakan
bahwa dia mau aku ikut dalam menjalankan aksinya membuat graffiti. Aku pun seketika
dilanda oleh kebingungan, aku perlu mengikuti ajakannya atau aku perlu menolaknya? Isi
hatiku mengatakan bahwa aku harus menolak, namun di sisi yang berlawanan aku sadar, aku
tak dapat membiarkannya pergi sendiri di tengah situasi yang kacau seperti ini. Aku pun
melontarkan sebuah pertanyaan untuk memastikan apakah dia yakin dengan tindakannya itu.
“Kau sedang bercanda denganku, kan?”
“Apa maksudmu? Itu tidak terdengar seperti kau.” Dia bertanya dengan begitu
keheranan, tidak sadar kalau aku sedang mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
“Apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?! Maksudku lihatlah situasi
sekelilingmu.” Dengan nada yang sedikit kesal, aku mencoba menyadarkannya akan situasi
yang sedang terjadi di sekitar.
"Dan apakah kau sadar, kau sendirilah yang mengajukan diri untuk bergabung?!”
Aku sempat dibuat terdiam sejenak dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Isma.
Ini bukan tentang alasanku untuk bergabung dengan Untitled Crew seperti apa yang dia
katakan. Tidak, bukan itu, namun aku tak percaya kalau Isma akan membalas perkataanku
dengan cukup keras.
“Aku berani melakukan ini dikarenakan aku ingin melihat suasana rumahku yang
dulu , Zak”
“Kau pikir dengan kita melakukan semua omong kosong ini dapat mengembalikan
Kota Uto yang kita kenal?”
“Tentu tidak! Tetapi setidaknya ini salah satu cara supaya kita menyadarkan
masyarakat arti penting dari kesatuan.”
Melihat Isma yang semakin bersih keras, aku dengan sangat terpaksa untuk
menaikkan nada bicaraku. Aku tahu cara yang aku pilih ini dapat dikatakan cukup beresiko,
karena bisa saja dia akan kesal dengan tindakanku itu, namun aku tak memiliki pilihan lain.
Aku pun menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya.
“Isma, beritahu aku apa yang dimaksud dengan kesatuan?!”
Dia pun hanya bisa terdiam ketika mendengarkan pertanyaan itu. Dia terjebak dan
tenggelam dalam kebingungan, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Akhirnya dia hanya
bisa membalas pertanyaanku dengan berkata.
“Jika kau memang tidak mau ikut itu tidak masalah! aku bisa melakukan ini
sendirian.” Seusai mengatakan itu, Isma pun langsung berbalik arah dan akan berjalan keluar
ke arah pintu toko.
Melihat dia yang mencoba nekat untuk pergi sendirian, dengan cepat aku memegang
tangannya, mencoba untuk menahan dirinya agar tak bertindak ceroboh. Melihat tindakanku
barusan dia hanya bisa tersenyum kepadaku, dia tahu aku tak akan meninggalkannya
sendirian. Pada akhirnya aku terpaksa mengikuti rencana bodoh yang akan dilakukan oleh
temanku ini.
Awan-awan malam masih meneteskan air hujan pada saat itu, mengingat kami pergi
melakukan aksi ini beberapa menit setelah restoran tutup. Berjalan di antara gelapnya malam
dengan menggunakan jas hujan sudah cukup membuatku merasa seperti seorang pencuri.
Aku benar-benar tak mau melakukan ini, tetapi sayangnya aku tidak memiliki pilihan lain
kecuali mengikutinya. Kami terus menyusuri pinggiran kota mencari spot yang cocok supaya
gambar yang akan dibuat nanti dapat dilihat oleh orang-orang. Singkatnya setelah berjalan
luntang-lantung dan berputar-putar tanpa arah, akhirnya kami menemukan tempat yang cocok
untuk membuat graffiti. Meskipun tempat itu sangatlah tinggi, tetapi kami berhasil
memanjatnya dan bahkan sempat beristirahat sejenak di sana. Lokasi kami untuk
menggambar graffiti itu berada di sekitar area tembok perbatasan, tembok pemisah antara
kubu timur dan barat. Lalu, kami pun segera mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan
untuk mengeksekusi rencana kami. Isma memulainya dengan membuat sebuah bentuk pola
yang pada awalnya akan terkesan asal, akan tetapi lama-kelamaan akan membentuk sebuah
gambar yang jelas. Aku pun ikut serta membantu pekerjaannya, aku mengikuti semua arahan
yang dia berikan kepadaku. Singkat cerita, lukisan itu pada akhirnya selesai, lukisan yang ada
di sampul buku. Isma menamai lukisannya itu dengan sebutan “Apakah Kita
Memahaminya?” nama yang sungguh aneh diberikan untuk sebuah lukisan, tetapi aku tahu
apa maksudnya. Isma mencoba menggambarkan perasaannya mengenai kondisi kota tempat
yang dia lahir saat ini. Dia merasa semua orang-orang yang hidup di dalam kota ini sedang
menunjukkan rasa keegoisan mereka, bukan rasa empati mereka. Entah itu dari kubu sebelah
timur, barat, ataupun kelompok-kelompok bawah tanah yang mengaku akan mengembalikan
Kota Uto seperti semula. Semuanya terlihat sama saja yang dilihat dan dirasakannya
hanyalah keegoisan dan ketamakan dari beberapa kelompok individu. Aku sendiri pun tak
menyangka kalau Isma memiliki perasaan sama yang aku rasakan terkait dengan makna dari
kata “Kesatuan” dari kota ini. Tak hanya itu, dia mengatakan kepadaku bahwa ini adalah
karya terakhirnya dalam aktifitas kelompok ini, karena dirinya pun merasa sudah muak. Dia
sadar kalau pada saat ini orang-orang tidak peduli dengan pesan-pesan yang telah disebarkan
oleh kelompok-kelompok bawah tanah. Dia juga sadar kalau semua usaha yang telah
dilakukannya hanya berakhir menjadi sebuah kesia-siaan. Mendengarkan hal itu tentu saja
membuatku senang, karena pada akhirnya aku tidak perlu melihat dia menggambar dengan
kondisi terpaksa. Kami pun duduk bersantai untuk beristirahat sejenak dan melihat
pemandangan kota yang sudah terbagi menjadi dua. Kami berdua mengharapkan ada suatu
momen yang mampu untuk merubah kota ini. Setelah semua itu kami pun segera berkemas
dan pergi meninggalkan lokasi tersebut untuk kembali menuju rumah masing-masing.
Beberapa minggu berselang, momen yang kita harapkan itu benar-benar terjadi.
Pemerintahan kubu timur secara tiba-tiba menyatakan darurat militer dan menghimbau
seluruh warga untuk segera pergi meninggalkan kota. Tentu saja semua orang sedang
bersantai menikmati hari-harinya itu menjadi panik dan segera bergegas untuk menyiapkan
perlengkapan yang diperlukan. Keadaan kota yang seharusnya tenang berubah menjadi ricuh
dalam sekejap. Kemacetan melanda jalan-jalan, orang-orang berteriak ketakutan, dan para
pasukan militer pun memenuhi seisi kota dengan pertahanan berlapis-lapis. Di tengah semua
orang sedang sibuk pergi untuk mengevakuasi diri secara tiba-tiba ledakan keras pun
terdengar. Suara itu berasal dari tembok perbatasan yang sedang dihancurkan oleh kubu barat.
Hal itu juga menjadi pertanda bahwa sejarah ratusan tahun yang terkubur akan bangkit lagi,
perang besar antar ras dibuka kembali. Kepanikan orang-orang kian meningkatkan tatkala
sebuah laser mortir mulai menghancurkan daerah pemukiman dan membunuh orang-orang
yang di sekitarnya. Aku bersama dengan keluarga segera bergegas pergi ke zona aman, meski
bisa saja kami tewas di tengah kekacauan ini. Aku pun sempat menanyakan kondisi dan
lokasi Isma, dia akan pergi bersama keluarganya menuju Kota Atlas yang merupakan kota
tetangga dan memiliki jarak aman dari Kota Uto. Kemudian komunikasiku dengan Isma pun
terputus yang membuat kami benar-benar kehilangan kontak antar satu sama lain. Kini
semuanya bergantung pada nasib Tuhan, kami hanya bisa berdoa kepadanya agar dapat pergi
menjauh dari kota ini dengan selamat. Tak jarang di tengah perjalanan aku melihat ledakan,
aksi baku tembak, dan melihat mayat-mayat dengan bagian tubuh yang hancur berantakan.
Malaikat maut sepertinya memang sedang benar-benar sibuk pada hari ini. Sayangnya hanya
itulah yang dapatku ingat selama mencoba untuk menyelamatkan diri. Pada saat di
perjalanan, tiba-tiba diriku berpindah tempat ke sebuah dimensi lain, aku sendiri pun tak tahu
ini berada di mana. Tempat ini benar-benar hampa, aku merasakan diriku melayang, dan aku
dapat melihat memori-memoriku beterbangan di hadapanku. Ketika pandanganku mengarah
ke depan, aku dapat melihat sebuah bola cahaya kecil menyala di antara gelapnya kehampaan
ini. Bola itu aku perhatikan perlahan semakin besar dan membesar, dan pada akhirnya
mengeluarkan cahaya yang begitu terang. Sontak aku pun menutupi seluruh wajahku dengan
kedua tanganku guna melindungi bola mataku. Cahaya itu sangat terang, bahkan aku masih
dapat melihatnya meskipun telah menutupi wajahku.
Ketika cahaya itu mulai mengecil, aku mencoba untuk menurunkan tangan dan
membuka mataku secara perlahan. Aku secara samar dapat mendengar suara bunyi alat detak
jantung yang berada tak jauh dariku. Perlahan-lahan mataku mulai terbuka, ketika
pandanganku sudah mulai jelas, aku mencoba melihat sekeliling. Ternyata aku berada di dalam sebuah rumah sakit yang berada di Kota Atlas. Ya, aku berhasil mencapai Kota Atlas
dengan selamat, meski dalam perjalanan aku mendapatkan luka yang parah. Aku pun dapat
melihat kedua orang tuaku berada di sampingku. Namun, ada satu hal yang masih membuat
diriku begitu khawatir, yaitu Isma. Aku awalnya mengira dia tidak akan berhasil mencapai
kota ini, akan tetapi sepertinya Tuhan memiliki kehendak lain. Di kala kesedihanku itu aku
sempat melirik ke arah kiri dan aku tak menyangka apa ku lihat. Itu adalah Isma, namun
sayangnya dia terbaring tak berdaya setelah mendapatkan luka yang lebih parah dariku. Aku
sekilas dapat melihat bahwa kaki beserta tangan kanannya putus akibat ledakan dan dia
mengalami koma. Kedua orang tuanya juga berada di sana dan tak kuasa untuk menahan air
mata mereka. Meskipun kondisinya sangat parah dia masih dapat diselamatkan dan itulah hal
yang terpenting.
Beberapa bulan pun telah berlalu, perang di Kota Uto kini sudah berakhir, banyak
media yang mengangkat topik ini sebagai headline. Sekilas perang ini memang terlihat tidak
ada apa-apanya, pada kenyataannya perang ini dapat meninggalkan bekas kehancuran yang
begitu hebat baik secara fisik maupun mental. Aku dapat melihat kondisi di sana melalui
siaran televisi dan kondisi kota itu hampir sepenuhnya berubah menjadi tanah yang tak
bertuan. Banyak bangunan yang telah menyatu dengan tanah dan bahkan dapat terlihat ada
beberapa mayat dengan kondisi mengenaskan. Aku dan Isma mungkin memang
mengharapkan momen Kota Uto akan kembali menjadi seperti semula, tapi ini...benar-benar
di luar prediksiku. Konflik yang diawali masalah sepele, dapat berubah bentuk menjadi
perang yang menelan banyak nyawa tidak bersalah. Kota Uto merupakan kota yang dibentuk
demi menyatukan rasa kesatuan, sayang sepertinya kata “Kesatuan” itu hanyalah ilusi belaka.
Setidaknya itulah yang kupikirkan dahulu, enam belas tahun kini telah berlalu, dan
Kota Uto pun perlahan bangkit kembali. Kini kota yang hancur itu kembali seperti semula,
sesuai dengan apa yang kita selalu impikan pada masa itu. Semua ras yang ada di Kota Uto
berdamai dan bersama-sama membangun kembali rumah mereka. Aku juga salah seorang
yang terlibat dalam membantu pembangunan kota ini. Ketika aku melihat orang-orang
bergotong-royong di sini, membuatku diriku bertanya-tanya “Apakah ini yang coba Isma
perjuangkan kala itu?” Peristiwa itu memberiku sebuah pembelajaran terkait makna dari
kesatuan dan persatuan. Ingat lukisan yang dibuat oleh diriku dan Isma? Entah bagaimana
caranya lukisan itu berhasil selamat dari medan perang, meskipun mengalami kerusakan di
beberapa bagian. Ini mungkin terdengar gila, tapi aku mengatakan hal yang sejujurnya. Jika
itu sudah cukup gila, hal yang lebih gilanya adalah lukisan itu dipajang di Museum Sejarah
Kota Uto. Aku yakin, dia pasti akan sangat bangga akan hal itu. Akhirnya kita pun sudah sampai pada bagian akhir dari catatan graffiti ini. Sekarang waktunya aku bertanya kepada
kalian semua “Apa yang dimaksud dengan kesatuan?” Aku Zakariyya, sekian dan terima
kasih.
Zak menutup buku catatannya, lalu terdengarlah suara seorang memanggilnya dari
arah lantai bawah.
“Zak, apakah kau sudah bersiap-siap?”
“Ya, tunggu Sebentar!
Seorang tampak sedang memutar daun pintu dan perlahan membuka pintu kamar
tempat Zak sedang menulis catatan. Terlihat seorang wanita masuk ke dalam ruangan
tersebut.
“Kau masih sibuk menulis?!”
“Tidak, aku sudah selesai.”
“Cepatlah! Anak-anak sudah menunggumu dari tadi. Kau tak mau berurusan dengan
minion-minion kecil kita, bukan?”
“haha. Selama kau berada di sampingku mungkin aku dapat menangani mereka,
Isma.”