Di sudut kecil Kota Teluk Marina, angin laut berbisik membawa aroma asin yang akrab. Lani menatap ombak yang menyapu kaki-kakinya, pasir hangat membalut jemari. Di genggamannya, sebuah kotak musik tua berpita merah—pemberian Arka, lelaki yang sejak SMA menjadi "teman" yang tak pernah jelas statusnya.
"Lani! Aku bawa kopi hangat!" Suara Arka menghentikan lamunannya. Dia tersenyum, rambut hitamnya diterpa angin. Seperti biasa, kemeja kotak-kotaknya terbuka di atas kaos putih, gaya yang tak pernah berubah sejak mereka pertama kali bertemu di warung kopi lima tahun lalu.
Tapi seminggu terakhir, segalanya berbeda. Kedatangan Siska, sepupu Arka dari Jakarta, mengubah dinamika mereka. Perempuan berambut ikal itu selalu menyelipkan tangan di siku Arka, tertawa terlalu keras pada lelucon recehnya. Lani menggigit bibir. Kotak musik di tangannya berdentang lemah saat jarinya tak sengaja memutar kenop.
"Dengar, Arka... mungkin aku harus berhenti membantu di sanggar tari mu," ucap Lani tiba-tiba saat mereka duduk di dermaga kayu yang reyot. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit jingga.
Arka tersedak kopinya. "Kenapa? Kamu kan yang merancang seluruh koreografi untuk pentas nanti!"
"Karena... karena aku lelah jadi penonton!" Lani berdiri, air mata menghangatkan pipi. "Lima tahun aku menunggu kau sadar bahwa perasaan ini bukan sekadar persahabatan. Tapi sekarang, dengan Siska yang selalu—"
Dia terhenti oleh sentuhan dingin di pergelangan tangan. Arka menariknya ke dalam dekapan, wangi kayu putih dan garam laut memenuhi indranya. "Siska sedang berusaha mendekati manajer galeri untuk pameran lukisanku," bisiknya, napas hangat di telinga Lani. "Setiap kali dia mendekat, yang kupikirkan justru bagaimana caranya membuatmu iri agar kau akhirnya jujur."
Kotak musik terjatuh, membuka melodi waltz usang. Di bawah rasi bintang pari, mereka menari perlahan. Jari-jari Arka menelusuri punggung Lani melalui kain dress tipisnya. "Aku menyimpan surat cinta di setiap lukisan pemandangan lautmu," akuinya, kening menyentuh kening Lani. "Tapi kau terlalu sibuk mengira aku mencintai laut, padahal yang kumaksud 'laut' itu selalu mata biru mu yang berkilauan."
Ombak berdekap tangan dengan pasir ketika bibir mereka akhirnya bertemu—sebuah konser sunyi yang telah ditunggu lima musim hujan. Di kejauhan, lentera-lentera kapal nelayan berkedip seperti kunang-kunang raksasa yang menyaksikan janji pertama mereka.
**Tamat**