~☆~☆~☆~☆~
.
.
.
.
.
Di sebuah rumah besar yang terletak di pinggiran kota, terdapat sepasang manusia kembar identik. Mereka adalah Nataya dan Natalie Meskipun mereka sangat mirip secara fisik tetapi dunia mereka jauh berbeda dan bagaikan dua sisi cermin yang tak pernah bersentuhan.
Nataya, si sulung yang selalu menjadi contoh sempurna. Ia tampak sekali anggun, elegan, dan selalu memancarkan aura seorang putri.
Ayahnya, Jefran seorang pria sukses yang memiliki sebuah perusahaan besar dan sudah memiliki perusahan cabang yang tersebar luas di korea selatan. Dan ia adalah seorang duda beranak 2 yang di tinggal istrinya akibat perselingkuhan.
Tetapi Jefran selalu bangga dengan putri sulungnya yang tampak elegant itu. Meski tugasnya di rumah cukup ringan, seperti sekolah dan sesekali menemani ayahnya dalam berbagai acara. Nataya hampir tak pernah membuat kesalahan.
Jefran juga jarang sekali marah padanya. Nataya adalah sosok yang dipuja, tidak hanya oleh ayahnya saja tapi juga oleh orang-orang di sekitar mereka.
Berbeda dengan Natalie. Sebagai adik, Natalie merasa terjebak dalam bayang-bayang kakaknya yang sempurna. Natalie memiliki sifat yang lebih ke bar-bar dan juga terkadang ia menjadi panikan.
Meskipun kadang emosinya meluap-luap. Di usianya yang baru 15 tahun, ia sudah ditugaskan untuk mengelola salah satu cabang perusahaan ayahnya. Namun, beban yang ditanggungnya jauh lebih berat dibandingkan dengan kakaknya. Natalie sering kali merasa cemas akan keputusan yang ia buat, takut salah dan disalahkan.
"Kakak... aku berangkat dulu ya,"
"Hati-hati adek, bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut!"
"Iya, aku tau."
Natalie pun melaju pesat menuju perusahannya itu. Ia menaiki mobil mininya itu sendiri. Ayahnya yang memberikannya mobil tersebut agar si bungsu itu bisa belajar mandiri tanpa di supirin oleh supir pribadi mereka.
Sesampainya ia di perusahaan tersebut, Natalie di sambut baik oleh para karyawan yang bekerja di sana. Tak jarang ia menampakan senyumannya yang mempunyai arti tersendiri dari kebanyakan senyuman orang lain.
Kemudian sesampainya ia di ruangan pribadinya, Natalie membuka laptop miliknya dan di saat ia ingin transaksi, ternyata ia salah perhitungan dalam transaksi yang akhirnya merugikan perusahaan.
Tentu saja, Jefran sangat marah. Namun ia pendam dan akan membicarakan masalah ini di rumah saja.
•
•
•
•
•
Malam hari telah tiba, Natalie pun pulang dari perusahannya itu dengan menaiki mobil kesayangannya itu. Mobilnya sudah jelas terparkir di halaman rumahnya yang mewah.
Di saat ia membuka kenopi pintu, Natalie merasakan hawa yang cukup tidak mengenakan. Ia berjalan masuk, sesampainya di ruang tamu, terdapat seorang pria dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya itu dan sambil membawa sebuah buku di tangannya.
"Baru pulang?" Tanyanya sambil menyeruput secangkir kopi.
Natalie pun menundukan kepalanya, "i-iya... maaf ayah,"
"Kenapa bisa terjadi seperti itu, Natalie?!" Tanyanya dengan datar.
Natalie pun menyeritkan dahinya, "emang apa kesalahan yang aku buat?"
'Brak!'
"Dengan entengnya kamu bilang kesalahan apa yang kamu buat, hah? Kenapa kamu bisa lalai dalam transaksi itu, Natalie!"
Ucapan Jefran sungguh menggema di ruangan tersebut yang akhirnya membuat si sulung itu keluar kamarnya untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Ya udah sih, kalau rugi tinggal ganti rugi... toh gampang kan? Gitu aja ribet," ucapnya dengan meluncur begitu saja tanpa ada ketakutan sama sekali.
"Ayah... adek... ada apa ini?" Tanya Nataya yang tampak kebingungan.
"Nataya sebaiknya kamu masuk kamarmu saja sebelum ayah marah kepadamu!"
Tak lama kemudian Nataya pun segera kembali kekamarnya. Dan Jefran pun masih menatap si bungsu itu dengan tatapan tajam.
"Udah gitu doang? Hoamm... aku ngantuk ayah, besok ajalah bahas ini lagian aku juga udah capek," katanya sambil menaiki anak tangga.
"Kamu harus di hukum Natalie!"
Si bungsung itu pun berbalik badan lagi untuk melihat ayahnya itu, "ya udah aku terima apapun itu!" ucapnya sambil menutup pintu kamarnya dengan keras.
Para bodyguard dan maid yang melihat itu hanya bisa menundukan kepala mereka saja. Sebab tuannya itu sudah mengeluarkan hawa-hawa yang tidak mengenakan sedari tadi.
Di antara lainnya hanya si bungsu lah yang berani berkata seperti itu di hadapan pria tersebut. Sedangkan Nataya pun belum tentu berani membantah perkataan ayahnya itu sama sekali.
•
•
•
•
•
Pagi hari kemudian, keadaan tetap berjalan seperti biasa. Natalie yang pagi-pagi buta sudah berangkat menggunakan mobilya tanpa sarapan pagi bersama keluarganya itu. Sedangkan si Nataya pun sedang merias dirinya untuk pemotretan di studio foto milik ayahnya itu.
Sore hari pun sudah tiba, kini Natalie bergegas untuk pulang kerumah. Sebenarnya ia sedikit ragu untuk pulang kerumahnya, dikerenakan ia takut jika ayahnya itu akan memberikan hukuman yang berat untuknya.
Sesampainya di gerbang milik rumahnya itu, Natalie segera mengklakson mobilnya untuk minta di bukakan gerbang oleh satpam di situ.
"Eh, adek Natalie sudah pulang? Cepet banget?," kata pak Ujang penjaga pintu gerbang rumahnya itu.
"Iya, pak. Emm... ngomong-ngomong ayah udah pulang belum ya?"
Pak Ujang pun menganggukan kepalanya, "udah atuh... tuan besar sudah di pulang di rumah dari tadi."
Natalie pun menghela nafasnya, "ya sudah terimakasih pak, aku duluan ya." katanya sambil memasuki halaman rumahnya.
Medadak ponselnya itu begetar, menandakan ada telepon masuk dari seseorang.
"Halo... kenapa kak?"
"Kamu dimana aja adek? Ayah sudah menunggumu dari tadi,"
"Benarkah?" katanya sambil perlahan mengeluarkan liquid bening tersebut.
"Iya jadi cepatlah pulang, oke?"
Natalie pun memutuskan sambungan sepihak, kemudian ia mejalankan mobilnya itu untuk pergi ke suatu tempat.
•
•
•
•
•
•
"Hiks... aku nggak mau di hukum sama ayah! Aku takut," ucapnya yang sedang duduk di sebuah kursi taman dengan menghadap langsung ke lautan.
"Jujur... aku capek sama tugas yang di kasih ayah, kenapa kakak nggak di kasih tugas berat seperti aku?"
Kemudian Natalie pun menghela nafasnya itu dengan berat.
"Orang-orang pada berkencan dengan pacarnya, sedangkan diriku hanya di temani dua malaikat yang mencatat buruk tidaknya aku,"
"Hai.. apakah aku membuat kesalahan besar? Apakah aku melakukan kebaikan besar?" tanyanya yang sudah sepert orang gila tersebut.
Drt... drt... drt...
"Halo?"
"Adek pulang ya, ini udah malem adek... kakak khawatir," ucap Nataya dengan tulus.
Kemudian Natalie pun melihat jam di tanganya itu. Memang benar jam menunjukan dua belas pas yang artinya hari sudah larut malam dan ia akan mendapatkan hukuman lagi merena pulang selarut ini.
"Iya bentar lagi aku mau pulang ini, kakak mah enak nggak di marahin ayah"
"Iya dong, aku minta ini itu di turutin dek dan ayah juga jarang marah denganku!"
Natalie pun hanya bisa menundukan kepalanya itu.
"Emm... i'm sorry, jadi intinya kamu cepet pulang deh... jangan malam-malam pulangnya,"
"Iya kak, ini juga aku mau pulang," katanya sambil memutuskan sambungan sepihak lagi.
Kemudian ia pun menjalankan mobilnya lagi untuk kembali ke rumah, sesmpainya di rumah ia segera membuka kenopi pintu tersebut dan keadaan rumah tersebut pun gelap, hanya ada lampu yang berasal dari dapur.
Kemudian si bungsu itu pun menaiki anak tangga tersebut sambil menguap kerena ini sudah lewat jam tidurnya.
"Baru pulang kamu setelah keluyuran seperti itu? Mau jadi anak berandalan sekarang, hah?!"
Natalie pun menengok suara tersebut, "eoh? Ayah? Hoamm... kalau mau kasih hukuman besok aja, aku ngantuk!"
Namun Jefran menggengam dengan kuat tangan si bungsu itu yang membuat ia hampir terjatuh dari anak tangga tersebut. Beruntung si bungsu langsung memeluk tubuh pria tersebut dengan mata yang terpejam.
"Ayah... jangan marah-marah... aku tau aku salah, tapi jangan marah-marah terus sama aku, aku jadi takut ayah," ucapnya.
Jefran pun hanya terdiam melihat si bungsu itu mengoceh sambil memeluk dirinya tersebut.
"Ayah kalau marah serem... ngalahin setan di rumah hantu. Aku sayang ayah... jangan marah-marah lagi ya, yah..."
Jefran yang merasakan pelukannya yang semakin melonggar kemudian, ia segera melihat putri bungsunya tersebut yang ternyata sudah tertidur. Ia segera mengendongnya untuk meletakan si bungsu tersebut di kamarnya.
•
•
•
•
•
•
•
Pagi harinya, Natalie terbangun dari tidurnya itu. Ia terkejut pasalnya terakhir malam ia bersama ayahnya di tangga, tapi ternyata ia sudah berada di kamarnya sendiri. Kemudian ia membuka pintu kamarnya tersebut yang kebetulan berpapasan dengan ayahnya itu yang sedang memasang dasi di lehernya.
"Hukuman mu di batalkan, akan ayah beri izin kau untuk tidak bekerja hari ini," ucapnya begitu saja saat melewati pintu kamar anaknya.
Natalie yang mendengar itu pun terkejut kembali, apakah ia salah mendengar? Tetapi ternyata ia tak salah mendengar, ayah itu benar-benar mencabut hukumannya itu.
Natalie menatap ayahnya, mata yang biasanya penuh dengan kemarahan kini dipenuhi dengan pengertian. Dalam hati, ia merasa sangat berterima kasih meski masih merasa tidak layak mendapatkannya.
Nataya yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun ayah mereka sering keras terhadap bungsu mereka, tetapi juga tahu bagaimana melindungi dan memberi kesempatan kedua kepada anaknya.
~End~