Dia dan aku bertemu di waktu yang salah. Bukan karena tak saling suka, tapi lebih kepada waktu yang memisahkan kita. Aku di sini, di dunia nyata yang serba cepat. Dia di sana, di dunia yang tak pernah bisa kusebut dengan pasti.
Semua bermula dari sebuah aplikasi chatting yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Hanya sebuah pesan iseng di malam hari—"Hey, kamu suka band itu juga?"—membuka jalan untuk sesuatu yang lebih besar. Kami mulai berbicara, dan percakapan itu tumbuh begitu cepat. Dia, dengan caranya yang unik dan penuh tawa, menghidupkan setiap kata yang kami tukar. Aku, dengan keinginan yang tak terucapkan untuk merasakan lebih, mulai jatuh dalam setiap percakapan.
Kami membicarakan banyak hal. Musik yang sama-sama kami suka. Film favorit yang bahkan sering kita tonton ulang tanpa bosan. Hingga tentang mimpi-mimpi yang kita jaga, yang kadang terasa begitu jauh dan tidak mungkin. Kami tertawa, berbagi cerita tanpa khawatir waktu akan berhenti, seolah dunia hanya milik kami berdua. Aku merasa, di balik layar ponsel ini, aku menemukan seseorang yang bisa membuat aku merasa hidup.
Namun, seiring berjalannya waktu, kenyataan mulai mengetuk pintu. Aku mulai merasakan ada jarak yang tak bisa diabaikan. Kami berada di dua dunia yang berbeda. Aku di sini, dengan hidup yang harus terus berputar, dengan kesibukan kuliah yang menumpuk, pekerjaan paruh waktu yang menguras tenaga, dan mimpi yang harus ku kejar secepat mungkin. Dia di sana, di sebuah kota jauh, dengan dunia yang juga bergerak dengan kecepatannya sendiri. Bahkan, meskipun hanya dipisahkan oleh layar, kami terhalang oleh waktu yang berbeda, oleh kehidupan yang tidak saling bersinggungan.
Aku ingat suatu malam, setelah kita berbincang tentang masa depan, dia berkata dengan penuh harap, "Suatu hari, kita pasti bisa bertemu, kan?" Aku ingin menjawab dengan keyakinan, dengan kata-kata yang bisa memberi rasa tenang. Tapi, yang keluar malah senyuman yang terpaksa aku buat. Aku tahu, walaupun kita berdua menginginkan hal itu, dunia kita terlalu rumit untuk bisa disatukan begitu saja.
Setiap kali aku membuka pesan darinya, aku merasa seolah berada di dunia yang berbeda—di dunia yang tidak terjangkau oleh kesibukanku yang terus berlari. Kata-kata manis itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa waktu kami semakin terbatas. Pagi hari aku terbangun dengan pekerjaan yang menunggu, sore hari aku terjebak dalam rutinitas kuliah, dan malamnya aku hanya punya sedikit waktu untuk menyambung percakapan yang entah kenapa semakin terasa jauh.
Kami tidak pernah benar-benar berusaha untuk bertemu. Aku merasa, meskipun kami ingin, kami juga tahu itu mungkin hanya sebuah fantasi. Bagaimana bisa kami bertemu jika waktu dan jarak adalah penghalang utama? Ketika aku berencana untuk mengunjungi kota tempat dia tinggal, dia malah sibuk dengan kehidupannya yang juga padat. Dan ketika dia merencanakan perjalanan ke kotaku, aku terjebak dalam jadwal yang penuh dengan komitmen yang tidak bisa aku tinggalkan.
Hari demi hari, aku mulai merasa kehadirannya hanya ada di dunia maya—suatu tempat yang begitu indah namun semu. Kami masih saling mengirimkan pesan, tapi aku mulai merasa ada yang hilang. Kata-kata itu tidak lagi terasa sama. Tertawa bersama, berbagi cerita, itu semua seperti bayangan yang menghilang begitu saja. Aku mulai merindukan kehadirannya, tapi aku tahu, meskipun aku merindukannya, aku tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan. Cinta saja tidak cukup.
Suatu malam, setelah kami selesai berbicara, aku terdiam sejenak. Pesan terakhirnya ada di layar ponselku, namun hatiku kosong. Aku sudah tahu jawabannya, meskipun aku enggan mengakuinya. Aku tak bisa terus hidup dengan harapan kosong, dengan cinta yang tidak bisa menjadi nyata. Semua percakapan, semua kata-kata manis itu, meskipun terasa menyenangkan, tidak pernah bisa mengisi ruang kosong yang semakin terasa besar.
Keputusan itu datang begitu saja, meskipun aku tidak siap. Aku tahu harus melepaskan. Bukan karena aku tidak mencintainya, tapi karena aku sadar bahwa terkadang cinta saja tidak cukup untuk mengatasi jarak dan waktu yang tidak bersahabat. Aku tidak bisa terus menggantungkan harapanku pada sesuatu yang bahkan aku tidak tahu bagaimana akhirnya.
Aku menulis pesan terakhir untuknya, dengan hati yang berat. “Aku rasa kita sudah terlalu lama terjebak dalam mimpi yang tidak bisa jadi kenyataan. Aku akan selalu mengingatmu, tapi aku tahu ini harus berakhir.”
Setelah aku mengirimkan pesan itu, aku meletakkan ponselku dan memejamkan mata. Di dalam hati, aku berdoa agar dia juga bisa melepaskan, agar kami berdua bisa melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang tak terwujud. Kami berdua, dua orang yang pernah saling mencintai, tetapi di waktu yang salah, di tempat yang tidak bisa dipertemukan.
Aku tidak tahu bagaimana dia menerima pesan itu, tapi aku berharap, di suatu hari nanti, dia akan mengerti. Cinta kami mungkin datang di waktu yang salah, tetapi kenangan tentangnya akan tetap ada—sebagai cinta yang tidak pernah benar-benar terwujud, tapi tetap berarti. Dan aku akan selalu mengenangnya, meskipun di dalam diam.