Langit sore itu tampak muram. Awan kelabu menggantung rendah, membawa hawa dingin yang merambat hingga ke kulit. Nadira mendesah pelan, mempercepat langkahnya di trotoar yang mulai basah oleh gerimis. Ia tidak membawa payung, dan tentu saja, ia menyesali keputusannya.
Saat ia mulai berlari kecil, suara langkah kaki lain menyusulnya dari belakang. Lalu tiba-tiba, sebuah payung berwarna biru laut terbuka di atas kepalanya.
"Kau akan basah kuyup kalau terus seperti ini," suara itu terdengar akrab.
Nadira menoleh dan mendapati Raka berdiri di sampingnya. Lelaki itu tersenyum, wajahnya tampak teduh di bawah cahaya lampu jalan yang baru menyala.
"Aku tidak keberatan dengan gerimis," ucap Nadira, meski kenyataannya ia memang kedinginan.
Raka terkekeh pelan. "Tapi aku keberatan kalau melihatmu menggigil seperti itu."
Nadira terdiam, membiarkan Raka tetap memayunginya. Mereka berjalan berdampingan, menikmati suara hujan yang jatuh di atas kanopi payung. Tak ada yang berbicara selama beberapa saat, hanya langkah kaki mereka yang terdengar di sepanjang jalan.
"Kita sudah lama tidak bertemu," kata Raka akhirnya.
"Iya," Nadira mengangguk. "Kau sibuk, dan aku juga... entahlah."
"Aku tidak benar-benar sibuk," Raka menatap lurus ke depan. "Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertemu denganmu lagi."
Nadira menoleh, menatap wajahnya dengan alis sedikit terangkat. "Dan sekarang waktu yang tepat?"
Raka tersenyum, matanya penuh arti. "Aku pikir, setiap hujan turun, aku ingin berada di bawah payung yang sama denganmu."
Pipi Nadira terasa hangat, meski udara di sekitarnya masih dingin. Ia menggigit bibir, berusaha menahan senyum yang mengembang tanpa sadar.
"Itu kalimat yang cukup manis," gumamnya.
"Aku serius," Raka menjawab dengan nada lembut. "Bolehkah aku terus menemanimu seperti ini? Tidak hanya saat hujan, tapi setiap saat?"
Nadira menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. "Kalau kau bisa menjaganya agar tidak membosankan, mungkin aku akan mempertimbangkannya."
Raka tertawa, dan hujan pun terus turun, menyelimuti mereka dalam kehangatan yang tidak terlihat, tapi begitu terasa.
---
Hari-hari berlalu setelah pertemuan itu, tetapi Raka tidak pernah berhenti menunjukkan perhatiannya. Ia mengirim pesan setiap pagi, menanyakan apakah Nadira sudah sarapan. Ia juga sering mengirim foto langit yang mendung, dengan catatan kecil yang berbunyi, "Mungkin hujan akan turun lagi. Aku masih punya satu payung yang bisa kita pakai bersama."
Awalnya, Nadira menganggap itu hanya kebiasaan lama Raka yang selalu berlebihan. Namun, semakin lama, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berubah. Hatinya mulai menunggu pesan-pesan itu. Ia mulai merasakan debaran kecil setiap kali melihat namanya muncul di layar ponsel.
Suatu sore, saat langit kembali mendung, Nadira menatap keluar jendela kafe tempatnya bekerja. Hujan turun perlahan, membasahi jalanan yang mulai gelap. Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan seorang pria dengan payung biru laut berdiri di ambang pintu.
Raka.
Ia berjalan mendekat, tersenyum kecil sambil mengangkat payungnya sedikit. "Kupikir kau mungkin butuh tumpangan lagi."
Nadira tersenyum, lalu berdiri dari kursinya. Kali ini, ia tidak ragu untuk melangkah ke samping Raka, membiarkan dirinya berdiri di bawah payung yang sama.
"Ayo pulang," katanya pelan.
Dan di bawah gerimis yang perlahan berubah menjadi hujan deras, dua hati yang pernah terpisah kini kembali menemukan jalannya.
---
Namun, keesokan harinya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Pagi itu, Nadira menerima pesan dari Raka. Namun, bukan pesan ceria seperti biasanya. Hanya satu kalimat pendek yang membuat hatinya mencelos.
"Maaf, aku tidak bisa menjemputmu hari ini. Aku sakit."
Nadira membaca pesan itu berulang kali. Tanpa pikir panjang, ia segera menuju apartemen Raka. Setibanya di sana, ia mendapati pria itu terbaring di tempat tidurnya, wajahnya pucat, keringat membasahi dahinya.
Tapi dua hari berlalu, dan kondisinya tidak membaik.
Raka semakin lemah, napasnya semakin pendek, dan wajahnya semakin pucat. Nadira tidak bisa diam saja lagi. Ia memutuskan membawanya ke rumah sakit.
Setelah pemeriksaan, dokter mengungkapkan kebenaran yang mengejutkan: Raka memiliki penyakit jantung bawaan yang selama ini ia sembunyikan.
Hari demi hari berlalu di rumah sakit. Nadira tetap berada di sampingnya, memastikan bahwa Raka mendapat perawatan terbaik. Namun, penyakit itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ada saat-saat di mana Raka kesakitan, dadanya terasa sesak, dan Nadira hanya bisa menggenggam tangannya, memberikan kekuatan semampunya.
Suatu malam, Raka tiba-tiba mengalami sesak napas yang parah. Alarm di mesin monitor berbunyi nyaring, membuat Nadira panik. Dokter dan perawat bergegas masuk, berusaha menyelamatkannya. Namun, kali ini, kondisinya jauh lebih buruk.
"Jantungnya melemah! Kita akan kehilangan dia!"
Nadira terisak, berdoa dalam hati agar keajaiban terjadi. Tapi keajaiban tidak datang.
Beberapa menit kemudian, dokter menatapnya dengan mata penuh kesedihan. "Kami sudah melakukan yang terbaik... maafkan kami."
Nadira merasakan seluruh dunianya runtuh. Ia berjalan mendekati tempat tidur Raka, menggenggam tangannya yang kini dingin. Air matanya jatuh deras.
"Kau berjanji akan bertahan... Kau berjanji akan selalu ada..."
Namun, Raka tidak bisa lagi menjawab. Ia telah pergi.
Di luar, hujan turun deras. Tapi kali ini, tidak ada lagi payung biru yang melindungi Nadira. Hanya kenangan tentang seorang pria yang selalu menemaninya, meski kini ia telah tiada.
Namun, ia tahu, setiap kali hujan turun, ia akan selalu mengingatnya. Karena di setiap butiran air yang jatuh dari langit, ada jejak cinta yang tidak akan pernah pudar.