Malam itu, angin berdesir pelan melewati celah-celah jendela rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni. Dari kejauhan, lampu jalan redup memantulkan bayangan menyeramkan di dinding kayu yang mulai lapuk. Bagi penduduk sekitar, rumah itu hanyalah bangunan yang tak lagi berarti, namun bagi Lia, rumah itu menyimpan kisah yang belum selesai.
Sejak kecil, Lia sering mendengar desas-desus tentang suara langkah kaki yang terdengar dari dalam rumah setiap malam, padahal tak seorang pun tinggal di sana. Ia selalu penasaran, tapi tak pernah punya keberanian untuk mencari tahu hingga malam ini.
Dengan senter kecil di tangan, ia melangkah mendekati rumah itu. Pintu depan terkunci, tetapi jendela di samping sedikit terbuka. Dengan hati-hati, ia menyelinap masuk. Udara di dalam terasa dingin dan lembab, seolah menyimpan kenangan yang terlupakan.
Lia menyorotkan senter ke sekeliling ruangan. Debu tebal menutupi lantai dan perabotan yang ditinggalkan begitu saja. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah meja kayu di tengah ruangan dengan secarik kertas di atasnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kertas itu dan membaca tulisan samar yang tertera:
"Aku masih di sini. Tolong aku."
Jantung Lia berdegup kencang. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Napasnya tertahan. Ia menoleh, berusaha memastikan bahwa itu bukan hanya imajinasinya. Tapi, suara itu semakin mendekat.
Tanpa pikir panjang, Lia berlari menuju jendela tempat ia masuk tadi. Namun, sebelum sempat keluar, sesuatu mencengkram lengannya. Ia menoleh dengan ketakutan dan melihat sepasang mata kosong menatapnya dari kegelapan.
Malam itu, Lia tidak pernah kembali.
---
Keesokan harinya, berita tentang hilangnya Lia menyebar di seluruh kota. Polisi yang melakukan pencarian menemukan senter miliknya tergeletak di lantai berdebu, namun tak ada jejak dirinya. Beberapa warga yang penasaran mencoba masuk, tetapi mereka tidak menemukan apa pun selain rumah tua yang sunyi dan terasa mencekam.
Namun, satu hal yang aneh terjadi. Seorang tetangga yang tinggal di dekat rumah tua itu mengaku melihat sesuatu dari jendela lantai atas rumah tersebut. Sosok bayangan seorang gadis dengan wajah pucat dan mata kosong berdiri diam, menatap keluar seolah meminta pertolongan.
Seminggu berlalu, dan rumah tua itu semakin dipenuhi rumor. Orang-orang mulai menghindari jalan di dekatnya, takut jika mereka juga menghilang seperti Lia. Seorang jurnalis bernama Raka, yang tertarik dengan cerita ini, memutuskan untuk menyelidikinya lebih dalam.
Dengan membawa kamera dan alat perekam, Raka memasuki rumah tua itu pada malam hari. Ia merekam setiap sudut ruangan, berharap menemukan petunjuk. Saat ia menemukan meja dengan kertas yang terbuka, ia membaca tulisan yang ada di sana dengan saksama. Tapi kali ini, tulisan di kertas itu telah berubah.
"Jangan datang. Aku sudah terlambat."
Raka merinding. Suara langkah kaki terdengar dari atas, persis seperti yang diceritakan orang-orang. Dengan penuh keberanian, ia naik ke lantai dua, menelusuri lorong gelap yang seakan menelan dirinya.
Saat ia membuka pintu terakhir di ujung lorong, ia menemukan sesuatu yang membuatnya terpaku. Di sana, berdiri seorang gadis dengan gaun lusuh dan mata kosong. Gadis itu adalah Lia.
"Tolong aku..." bisik Lia, sebelum tubuhnya menghilang dalam kegelapan.
Raka mundur dengan panik. Kamera di tangannya bergetar. Ia berbalik dan berlari keluar secepat mungkin. Saat ia kembali ke kantornya, ia memeriksa hasil rekaman.
Namun, di rekaman itu, tidak ada siapa pun. Hanya suara napasnya sendiri, dan sebuah bisikan halus yang terdengar di akhir video.
"Kau selanjutnya."
---
Malam berikutnya, Raka tidak bisa tidur. Bisikan di rekaman itu terus terngiang di telinganya. Rasa penasaran bercampur ketakutan semakin menguasainya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke rumah tua itu, kali ini dengan lebih banyak peralatan.
Saat tiba di depan rumah, semuanya tampak lebih gelap dari sebelumnya. Seperti ada energi tak kasat mata yang menyelimuti tempat itu. Dengan senter dan alat perekam di tangan, Raka masuk.
Ia menelusuri lorong-lorong gelap, hingga tiba di ruangan di mana ia melihat Lia sebelumnya. Kali ini, ruangan itu terasa lebih dingin. Ia menyalakan alat perekamnya, berharap bisa menangkap sesuatu.
"Lia? Jika kau bisa mendengarku, beri tanda," kata Raka pelan.
Hening.
Tiba-tiba, senter Raka berkedip-kedip. Alat perekamnya mulai berdesis, lalu suara samar terdengar.
"Pergi... Sebelum terlambat..."
Jantung Raka berdetak kencang. Ia ingin lari, tetapi kakinya terasa kaku. Sebuah suara lain muncul, lebih dalam, lebih mengancam.
"Kau sudah datang terlalu jauh."
Pintu di belakangnya tertutup dengan keras. Raka menoleh dengan panik. Dari bayangan di sudut ruangan, sesosok makhluk muncul. Wajahnya bukan lagi wajah Lia, melainkan sesuatu yang lebih menyeramkan, mata hitam pekat, senyum menganga, dan tangan panjang yang siap mencengkeramnya.
Raka berusaha berlari, tetapi sosok itu lebih cepat. Sesuatu mencengkram bahunya, menariknya ke dalam kegelapan.
Dan malam itu, seperti Lia, Raka juga tidak pernah kembali.
---
Beberapa hari kemudian, polisi kembali melakukan penyelidikan. Mereka tidak menemukan jejak Raka di dalam rumah, hanya alat perekam yang tergeletak di lantai. Saat diperiksa, rekaman terakhirnya berisi suara napas berat dan bisikan menyeramkan.
"Kita masih di sini. Kau selanjutnya."
Sejak saat itu, rumah tua di ujung jalan dibiarkan kosong. Tidak ada yang berani mendekatinya lagi.
Namun, setiap malam, jika seseorang cukup nekat untuk mendengarkan, mereka masih bisa mendengar suara langkah kaki di dalamnya.