Adrian menatap layar holografik di hadapannya, garis-garis data berkelip cepat saat ia menginput perintah terakhir. Di dalam laboratoriumnya yang tersembunyi di jantung kota New Avalon, ia telah menciptakan teknologi yang selama ini hanya ada dalam mimpi: NeuroLink, sebuah sistem yang dapat menghubungkan pikiran manusia dan memungkinkan akses ke dalam alam bawah sadar.
Hari ini adalah ujian pertama dengan subjek manusia. Evelyn, wanita yang selama ini menjadi teka-teki bagi Adrian, duduk di kursi metalik dengan elektroda yang menempel di pelipisnya. Matanya menatap kosong, seolah pikirannya telah tenggelam jauh sebelum NeuroLink diaktifkan.
"Kau yakin ingin melakukan ini?" tanya Adrian, suaranya nyaris tenggelam oleh dengung mesin.
Evelyn mengangguk pelan. "Aku harus tahu siapa diriku, Adrian. Kalau teknologi ini bisa membantuku mengingat, aku siap mengambil risiko."
Adrian menarik napas dalam. Ia tahu bahaya yang mengintai. Dunia bawah sadar bukanlah sekadar labirin kenangan, tapi juga medan perang bagi keinginan dan ketakutan terdalam. Sekali masuk, tidak ada jaminan bisa keluar utuh.
Ia menekan tombol aktivasi.
Sejurus kemudian, dunia mereka terbalik. Adrian merasakan gravitasi menghilang, pikirannya ditarik ke dalam pusaran cahaya yang berpendar dalam jutaan warna. Ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di laboratorium.
Ia berdiri di padang luas yang diselimuti kabut ungu, suara bisikan samar mengelilinginya. Evelyn berdiri di sampingnya, namun sesuatu telah berubah. Matanya kini berkilau seperti bintang di malam yang gelap.
"Kita sudah di dalam," bisik Evelyn. "Dan sekarang permainan pikiran dimulai."
Kabut di sekitar mereka mulai bergolak, membentuk siluet-siluet yang perlahan menjadi jelas. Wajah-wajah tanpa ekspresi, mata yang kosong namun penuh dengan penghakiman. Adrian merasakan dingin merayapi tulang belakangnya.
"Apa ini?" gumamnya.
Evelyn melangkah maju, tangannya terangkat seolah mencoba menyentuh sesuatu yang tak terlihat. "Ini pikiranku... kenangan yang terkunci. Aku harus menemukannya."
Tiba-tiba, satu sosok muncul dari dalam kabut. Seorang pria dengan jas putih, wajahnya begitu familiar—Adrian. Namun, tatapan pria itu dingin, penuh kebencian.
"Kau bukan aku," desis Adrian.
"Tapi aku adalah bagian darimu," jawab sosok itu. "Bagian yang tak ingin kau hadapi."
Evelyn menoleh pada Adrian. "Kau harus menghadapinya, atau kita tidak akan bisa keluar dari sini."
Adrian tahu, ini adalah permainan pikiran yang sebenarnya. Bukan hanya tentang Evelyn, tapi juga tentang dirinya sendiri. Dengan langkah mantap, ia menghadapi bayangan dirinya, bersiap untuk mengungkap kebenaran yang selama ini ia hindari.
Bayangan itu menatap Adrian dengan mata tajam. "Kau berpikir ini tentang Evelyn? Tidak, ini tentang dirimu sendiri, Adrian. Kau takut menghadapi kenyataan, takut mengakui bahwa kau gagal."
Adrian mengepalkan tangan. "Aku bukan pengecut. Aku tidak lari dari kesalahan."
"Benarkah?" Bayangan itu tertawa sinis. "Lalu mengapa kau masih di sini? Mengapa kau tidak bisa melupakan malam itu?"
Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka berubah menjadi ruangan laboratorium yang terbakar. Alarm berbunyi nyaring, suara ledakan menggema. Adrian melihat dirinya—dalam ingatannya sendiri—berusaha menyelamatkan seseorang yang terbaring di lantai. Itu Evelyn.
Evelyn yang asli, yang seharusnya sudah mati.
Adrian membeku. "Ini… ini tidak mungkin. Aku berhasil menyelamatkannya!"
Bayangan dirinya mendekat. "Kau tidak menyelamatkannya, Adrian. Kau menciptakannya kembali. Teknologi NeuroLink bukan hanya untuk masuk ke pikiran orang lain… kau menggunakannya untuk membangun kembali Evelyn, dari pecahan memorimu sendiri."
Adrian mundur selangkah, matanya membelalak. Ia beralih menatap Evelyn yang berdiri di sampingnya. Wanita itu hanya diam, ekspresinya berubah menjadi kosong.
"Adrian… apakah aku nyata?" suara Evelyn terdengar bergetar.
Adrian ingin menyangkal. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu kebenarannya. Evelyn yang sekarang berdiri di hadapannya hanyalah bayangan dari seseorang yang telah pergi, rekonstruksi pikiran yang ia ciptakan untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya.
"Aku…" Adrian terdiam, hatinya terasa berat. "Aku tidak tahu."
Bayangan dirinya tertawa kecil. "Permainan ini telah selesai. Sekarang keputusan ada di tanganmu, Adrian. Apakah kau akan terus hidup dalam ilusi? Atau akhirnya melepaskan?"
Evelyn menatapnya dengan mata yang mulai dipenuhi kesedihan. "Jika aku hanyalah bayangan… apakah itu berarti aku tidak berhak untuk ada?"
Adrian merasa dadanya sesak. Ia ingin mempertahankannya, ingin percaya bahwa Evelyn tetap nyata meskipun segalanya berkata sebaliknya. Namun, ia tahu bahwa selama ia terjebak di sini, ia tidak akan pernah bisa benar-benar bebas.
Dengan berat hati, ia menarik napas dalam dan menatap Evelyn. "Aku mencintaimu, Evelyn. Tapi aku harus membiarkanmu pergi."
Evelyn tersenyum tipis, air matanya jatuh perlahan. "Terima kasih… untuk mengingatku."
Kabut kembali menyelimuti segalanya, dan dalam hitungan detik, Evelyn menghilang.
Adrian membuka matanya. Ia kembali ke laboratorium, tubuhnya gemetar. Layar holografik menunjukkan tanda-tanda sistem NeuroLink telah dinonaktifkan. Evelyn—atau bayangan dirinya—sudah tidak ada.
Namun, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak kehilangan Evelyn yang sebenarnya.
Ketenangan.
Ia bangkit dari kursinya, menatap kosong ke arah jendela laboratorium. Dunia di luar masih berputar, dan ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan.
Permainan pikiran telah usai. Kini, saatnya melangkah maju.