Siang itu, di sebuah taman bermain, Rina sedang duduk di bangku sambil menikmati es krimnya. Matanya tak sengaja tertuju pada seorang anak kecil yang tengah berlari-lari kecil dengan tawa renyah. Bocah laki-laki itu berambut hitam dengan pipi chubby yang menggemaskan.
"Aduh, lucu banget!" gumam Rina tanpa sadar.
Bocah itu tampak kesulitan mengambil balonnya yang tersangkut di ranting pohon. Rina yang melihatnya langsung bergegas membantu.
"Ini balonnya," katanya sambil tersenyum, memberikan balon itu ke si bocil.
Mata bulat bocah itu berbinar. "Makasih, Kakak! Kakak baik banget!" katanya dengan suara menggemaskan.
Rina nyaris meleleh. "Duh, kamu ini gemes banget sih! Namanya siapa?"
"Aku Arka!"
"Arka, ya? Kamu main sama siapa di sini?" tanya Rina sambil berjongkok agar sejajar dengan bocah itu.
"Sama Papa!" jawabnya riang sambil menunjuk seorang pria yang sedang duduk di bangku tak jauh dari mereka. Rina pun menoleh dan—
Deg!
Seorang pria dengan wajah tampan, rahang tegas, dan mata tajam itu tampak sedang membaca buku. Dengan kaus putih polos dan celana jeans sederhana, dia terlihat... memikat.
"Papa kamu?" ulang Rina, memastikan.
"Iya! Mau aku panggilin?" Arka bertanya polos, membuat pipi Rina terasa panas.
"E-Eh, nggak usah!" Rina buru-buru menggeleng, tapi terlambat. Arka sudah berlari ke arah ayahnya dan menarik tangannya.
"Papa, Kakak ini baik banget! Kakak juga cantik!" seru Arka dengan polosnya.
Pria itu menutup bukunya dan menatap Rina, lalu tersenyum. "Terima kasih sudah membantu Arka. Saya Adrian."
Rina berusaha menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang. "Ah, tidak masalah... Aku Rina."
Adrian mengangguk. "Arka memang sering bikin orang gemas. Dia gampang akrab sama orang baru."
Rina tertawa kecil, mencuri pandang ke wajah pria itu. "Iya, Arka itu bocil menggemaskan. Tapi sepertinya... bapaknya juga cukup menarik."
Adrian mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Begitu ya?"
Rina menutup mulutnya, sadar kalau tadi itu terlontar dari pikirannya. Sementara Arka bertepuk tangan senang.
"Kak Rina mau main sama kita lagi besok?" tanya Arka dengan antusias.
Rina melirik Adrian yang masih menatapnya dengan tatapan penuh arti. Dengan sedikit ragu tapi juga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia tersenyum.
"Tentu. Kenapa tidak?"
---
Hari-hari berikutnya, Rina semakin sering bertemu dengan mereka. Arka bahkan mulai memanggilnya "Kakak Rina Sayang", yang sukses membuat Adrian tersenyum kecil setiap kali mendengarnya.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman, Arka tiba-tiba berkata, "Papa, Kak Rina cantik ya? Kenapa Papa nggak ajak Kak Rina makan bareng?"
Rina tersedak minumnya, sementara Adrian tertawa kecil. "Arka, nggak boleh sembarangan gitu, dong."
"Tapi Kak Rina baik! Aku mau Kak Rina jadi keluarga kita!" Arka bersikeras.
Adrian menatap Rina dengan tatapan lembut, lalu berkata, "Bagaimana, Rina? Sepertinya anakku sudah memilihkan seseorang untukku."
Rina yang masih berusaha mengatur napas, akhirnya tersenyum malu. "Yah... kalau begitu, sepertinya aku tidak bisa menolak permintaan bocil menggemaskan ini, ya?"
Adrian tertawa pelan. "Baiklah. Makan malam bersama, ya?"
Arka bersorak kegirangan, sementara Rina hanya bisa tersenyum, merasa bahwa mungkin, bocil ini memang adalah jalan takdir yang membawa mereka lebih dekat.
---
Sejak makan malam pertama itu, hubungan Rina dan Adrian semakin akrab. Mereka sering pergi bersama, baik itu sekadar menemani Arka bermain atau makan di luar.
Hingga suatu hari, Arka tiba-tiba berkata, "Papa, kalau Kak Rina jadi istri Papa, aku bakal punya Mama lagi, kan?"
Adrian terdiam sejenak, menatap Rina yang wajahnya mulai memerah.
"Arka, menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan dengan mudah," kata Adrian, meskipun ada senyum kecil di wajahnya.
"Tapi Papa suka Kak Rina, kan?" Arka bertanya polos.
Adrian menghela napas dan tersenyum pada Rina. "Bagaimana menurutmu, Rina?"
Rina menggigit bibirnya, lalu tersenyum lembut. "Yah... sepertinya Arka sangat ingin aku tetap ada di samping kalian, ya?"
Arka mengangguk semangat. "Iya! Aku suka Kak Rina!"
Adrian tertawa kecil, lalu menatap Rina dengan lebih serius. "Kalau begitu, mungkin kita bisa mulai mempertimbangkannya."
Rina mengangguk pelan, hatinya mulai merasa hangat. Siapa sangka, bocil kecil menggemaskan ini telah membawa mereka ke arah yang lebih dari sekadar pertemanan?
Dan mungkin... menuju sebuah keluarga yang baru.