Langkah kaki itu bergema lembut di sepanjang lorong, menyatu dengan detik waktu yang terasa melambat.Gamis panjangnya bergerak mengikuti ritme langkah, seakan menari bersama bayangan sore yang jatuh dari jendela.Rambutnya yang sedikit memutih tersisir rapi, memancarkan ketenangan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya.
Sore ini, sinar matahari menghangatkan rumah besar itu, tetapi kehangatan itu terasa berbeda seolah hanya menjadi kenangan yang tertinggal di udara.Hera melangkah perlahan, ujung jarinya menyentuh bingkai-bingkai foto yang berjajar rapi di sepanjang dinding lorong.
Setiap bingkai berisi cerita.Masa-masa muda yang penuh gelak tawa, tangan-tangan kecil yang dulu menggenggam erat miliknya, wajah-wajah yang kini entah berada di mana.Dan di antara semua itu, ada satu foto besar yang membuatnya berhenti.
Di dalam bingkai kayu berukir itu, tergambar kenangan yang tak akan pernah pudar Sebuah potret keluarga.Ia berdiri di tengah, suaminya di sampingnya, sementara kedua orang tuanya tersenyum penuh kebanggaan. Dan di depan mereka, tiga putranya tertawa bahagia.
"Andaikan waktu bisa terulang..." pikirnya.
Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan perasaan itu mengalir. Jika waktu bisa kembali, mungkin ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Tetapi waktu tak pernah berputar ke belakang, hanya meninggalkan jejak yang samar di dalam hati.
Hera menarik napas, lalu melanjutkan langkahnya. Tangga besar di depannya terasa begitu familiar, setiap anak tangganya menyimpan kenangan.Dulu, ia menaiki tangga ini dengan langkah ringan, membawa berita bahagia, mengejar tawa anak-anaknya, atau sekadar menghampiri suaminya yang menunggunya di bawah. Kini, ia menuruni tangga dengan hati yang lebih tenang, tetapi setiap langkahnya membawa gema masa lalu.
Saat ia melangkah keluar, angin sore menyambutnya dengan sepoi lembut. Di belakang mansion, taman luas terbentang, bunga-bunga yang dulu ditanam dengan cinta masih bermekaran, menyapa mereka yang pernah mencurahkan perasaan di sini.
Di sudut taman, di bawah pohon beringin yang besar, seorang pria paruh baya berdiri tegak. Setelan jas abu-abu pekat membalut tubuhnya, syal hangat melingkar di lehernya.Bahunya masih kokoh, tetapi ada beban tak kasat mata yang disandarkan di sana.
Ia tidak bergerak, hanya menatap dedaunan yang bergoyang tertiup angin. Pohon beringin itu telah bertahun-tahun tumbuh, akarnya semakin kuat, seperti cinta yang mereka bangun.
Hera tersenyum kecil, lalu memanggilnya dengan suara lembut, suara yang tak pernah berubah meski tahun telah berlalu.
"Mas Zaidan!"panggil nya
Pria itu tersentak, lalu menoleh dengan senyum yang sama seperti dulu.
"Ahh, Sayang... Maaf, aku tidak membangunkanmu."
"Iya, Mas, nggak apa-apa."
Hera melangkah mendekat, matanya menelusuri wajah suaminya yang telah dipahat oleh waktu.Keriput di sudut matanya, uban yang semakin memenuhi rambutnya tetapi di matanya, masih ada cinta yang sama.
Dengan lembut, ia merapikan jas suaminya, seolah merapikan kenangan yang terselip di antara serat kainnya. Zaidan tersenyum, lalu merogoh sakunya.Ponsel tua dikeluarkannya, jari-jarinya yang dulu begitu gesit kini sedikit gemetar saat menekan layar.
Tiba-tiba, musik mengalun...Lagu lama yang dulu menyatukan mereka, melintasi waktu dan kembali hidup di antara mereka.
"Will you dance with me, My lady?"bisiknya, mengulurkan tangan.
Hera terkekeh kecil, tetapi ada air mata yang hampir jatuh di sudut matanya.Tangan yang dulu sering menggenggam tangannya dalam tarian masih terasa hangat, masih sama.
"Yes, I want to."
Mereka berdansa pelan, di bawah langit senja yang mulai meredup. Langkah kaki mereka mengikuti irama, membawa mereka kembali ke masa muda ke saat pertama kali mereka jatuh cinta, ke saat perjuangan seorang pria biasa mendapatkan wanita sempurnanya.
Angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan beringin yang rimbun. Seakan pohon itu pun menjadi saksi perjalanan mereka, mengingatkan bahwa waktu mungkin terus berjalan, tetapi cinta yang sejati akan selalu bertahan.
Dan di antara desir angin yang membawa harumnya tanah yang basah, kita pun dibawa ke dalam sebuah kilas balik, sebuah perjalanan di mana segalanya bermula