Bagian 1: Perjuangan Pajar
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga di langit yang perlahan memudar menjadi keunguan. Di sebuah sudut taman sekolah, seorang pemuda duduk sendirian di bangku kayu yang sudah mulai usang. Jemarinya memainkan ujung jaketnya, sementara pandangannya terus tertuju ke gerbang sekolah yang semakin sepi.
Namanya Pajar.
Sore ini, dia kembali menunggu seseorang. Bukan pertama kalinya dia seperti ini—menunggu dalam diam, berharap seseorang yang dinantikannya akan datang dengan senyum yang bisa membuat harinya lebih baik.
Dan benar saja, dari kejauhan, seorang gadis berjalan ke arahnya. Langkahnya cepat, sedikit terburu-buru, seolah takut membuat seseorang menunggu terlalu lama. Rambut hitam panjangnya bergerak mengikuti irama angin sore yang berhembus pelan.
Naura.
Gadis yang sejak lama mengisi pikirannya. Gadis yang menjadi alasan kenapa Pajar selalu berusaha lebih keras setiap hari.
"Pajaaaar!" seru Naura sambil melambai.
Pajar tersenyum. "Kamu lama banget. Aku kira udah pulang duluan."
Naura terkekeh kecil. "Tadi ada urusan. Kamu kok masih di sini?"
"Aku nungguin kamu," jawab Pajar tanpa ragu.
Naura diam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kamu tuh ya, terlalu baik sama aku."
Pajar hanya mengangkat bahunya. "Kalau buat kamu, aku gak keberatan jadi terlalu baik."
Gadis itu menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke langit yang mulai gelap. "Eh, kita pulang sekarang aja, yuk. Aku lapar."
Pajar segera berdiri. "Mau aku beliin makanan dulu?"
Naura menggeleng. "Nggak usah. Pulang aja, nanti aku makan di rumah."
Mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Langkah Pajar sedikit lebih pelan, berusaha menyesuaikan irama langkah Naura. Sesekali, dia melirik gadis itu yang sibuk memainkan ponselnya.
"Ada yang seru?" tanya Pajar.
Naura menoleh sebentar, lalu tersenyum. "Cuma liat Instagram."
"Oh, kirain liat chat dari seseorang yang spesial."
Naura tertawa pelan. "Emang aku punya seseorang yang spesial?"
Pajar mengerjap. "Ya... mungkin aja."
Naura menatapnya, lalu menghela napas. "Pajar, jangan terlalu berharap, ya."
Pemuda itu terdiam. "Maksud kamu?"
Gadis itu menggigit bibirnya, seolah ragu ingin melanjutkan ucapannya. "Mungkin suatu hari nanti, aku bisa pergi begitu aja. Tanpa alasan."
Pajar tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Apa sih, aneh banget. Kamu ngomong apa, Naura?"
Naura tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu kembali menatap layar ponselnya. Pajar memilih diam, tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa ganjil.
Kenapa Naura berkata seperti itu?
Tapi Pajar mengabaikannya.
Yang penting, untuk saat ini, Naura masih ada di sisinya.
Pajar dan Perjuangannya
Sudah hampir dua tahun sejak Pajar menyukai Naura. Mereka bukan pasangan, tapi semua orang tahu bagaimana Pajar selalu ada untuk gadis itu. Dari hal-hal kecil seperti membawakan bekal saat Naura lupa sarapan, menemani belajar saat ujian, bahkan sesederhana mengantarkan pulang setiap hari.
Bagi Pajar, Naura adalah segalanya.
Namun, bagi Naura, Pajar hanyalah seseorang yang selalu ada. Tidak lebih.
"Paj, kamu bisa bantuin aku bikin tugas ini?" tanya Naura suatu sore di kantin sekolah.
Pajar menatap layar laptop Naura. "Tugas makalah? Bisa, kok."
Naura tersenyum manis. "Makasih banget! Aku nggak ngerti bagian ini."
Pajar menghela napas kecil. Ini bukan pertama kalinya dia membantu Naura dalam hal akademik. Gadis itu memang pintar, tapi terkadang malas jika harus mengerjakan sesuatu yang menurutnya membosankan.
"Kalau kamu lebih rajin, pasti bisa sendiri," kata Pajar sambil mulai mengetik di laptop Naura.
Naura terkekeh. "Makanya ada kamu, kan?"
Kalimat itu seharusnya terdengar manis, tapi entah kenapa, kali ini terasa berbeda bagi Pajar. Ada nada enteng dalam suara Naura, seolah dia hanya memanfaatkan keberadaan Pajar.
Tapi Pajar menepis perasaan itu.
Dia melakukan ini karena dia ingin.
Bukan karena dipaksa.
Namun, di balik semua usaha dan perhatiannya, ada sesuatu yang tidak pernah disadari Pajar.
Naura tidak pernah benar-benar melihatnya sebagai seseorang yang spesial.
Dan suatu hari, dia akan sadar bahwa perjuangannya tidak akan pernah dihargai.
---
Bagian 2: Naura yang Berubah
Pajar selalu berpikir bahwa jika dia cukup sabar dan berusaha, suatu hari Naura akan menyadari perasaannya. Dia percaya bahwa setiap perhatian kecil yang dia berikan, setiap usaha yang dia lakukan, akan membuat Naura mengerti betapa tulusnya dia.
Namun, semakin hari, Pajar mulai menyadari sesuatu yang perlahan menggerogoti hatinya.
Naura berubah.
Awalnya, perubahan itu kecil—hanya sekadar tidak membalas pesan dengan cepat atau lebih sering mengabaikan Pajar saat mereka sedang bersama. Namun, lama-kelamaan, Pajar mulai merasa seperti bayangan yang tidak lagi diperhatikan.
Hari itu, Pajar berdiri di depan kelas Naura, menunggunya seperti biasa. Bel masuk belum berbunyi, dan para siswa masih sibuk mengobrol di koridor. Dia melihat Naura keluar dari kelas, tetapi kali ini dia tidak sendiri.
Seorang laki-laki berjalan di sampingnya, mengenakan seragam yang sama, tetapi dengan gaya yang lebih rapi dan percaya diri. Dari cara Naura tertawa saat berbicara dengannya, Pajar tahu bahwa mereka sudah cukup dekat.
Hatinya mencelos.
Tapi Pajar menepis perasaan itu.
Dia menunggu Naura mendekat, berharap gadis itu akan menyapanya seperti biasa. Tapi ketika Naura melihatnya, ekspresinya berubah—bukan senang, bukan juga kaget, tapi lebih ke... canggung.
"Hei, Naura," sapa Pajar, berusaha tetap santai.
Naura tersenyum tipis. "Oh, hai, Pajar."
Suaranya terdengar datar. Tidak seperti biasanya.
"Eh, ini Andra," lanjut Naura, memperkenalkan laki-laki di sampingnya. "Dia anak kelas sebelah."
Andra mengulurkan tangan. "Pajar, kan? Sering denger namamu dari Naura."
Pajar meraih tangan Andra dan menjabatnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi dia tidak menunjukkan itu. "Oh ya?"
Andra terkekeh. "Iya. Katanya kamu tuh cowok yang paling baik di sekolah ini."
Naura hanya tersenyum tipis tanpa mengonfirmasi atau membantah.
Pajar ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi sebelum dia sempat berbicara, Naura sudah lebih dulu berbalik ke arah Andra. "Eh, ayo ke kantin. Aku laper."
Andra mengangguk. "Ayo."
Naura hanya melirik Pajar sekilas sebelum pergi bersama Andra, meninggalkan Pajar yang berdiri diam di tempatnya.
Untuk pertama kalinya, Pajar merasa seperti orang asing di mata Naura.
Semakin Menjauh
Setelah hari itu, semuanya terasa berbeda. Naura mulai sering mengabaikan pesan Pajar. Jika dulu dia selalu membalas dengan cepat, kini dia butuh berjam-jam, bahkan seharian, untuk sekadar membaca pesan dari Pajar.
Ketika Pajar mengajaknya pulang bersama seperti biasa, Naura selalu punya alasan—"Aku ada urusan," "Aku mau bareng teman," atau "Aku capek, pengen langsung pulang."
Dan setiap kali Pajar melihatnya di sekolah, dia selalu bersama Andra.
"Pajar, kamu gak apa-apa?" tanya Raka, sahabatnya, saat mereka duduk di kantin.
Pajar mengaduk es teh di depannya tanpa benar-benar minum. "Gak apa-apa."
Raka mendesah. "Serius, bro. Lo pikir gue gak lihat apa yang terjadi? Naura berubah, kan?"
Pajar tidak langsung menjawab. Dia tahu Raka benar. Tapi dia tidak ingin mengakuinya.
"Lo gak capek, Jar?" lanjut Raka. "Dari dulu lo selalu ada buat dia, tapi dia gak pernah bener-bener lihat lo. Sekarang malah jelas-jelas ninggalin lo buat cowok lain."
Pajar menghela napas. "Mungkin gue kurang berusaha."
Raka menatapnya tidak percaya. "Kurang berusaha? Gila, Jar, lo udah lakuin lebih dari cukup! Lo udah kasih segalanya buat dia!"
"Tapi mungkin belum cukup buat dia," jawab Pajar pelan.
Raka menggeleng frustrasi. "Lo harus sadar, Jar. Dia gak akan pernah ngelihat lo seperti lo ngelihat dia."
Pajar tidak ingin percaya itu.
Dia masih ingin berpikir bahwa Naura hanya butuh waktu. Bahwa suatu hari, dia akan menyadari betapa berharganya Pajar.
Tapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan.
Penghianatan yang Menyakitkan
Satu minggu setelahnya, Pajar akhirnya melihat sesuatu yang membuat hatinya benar-benar hancur.
Hari itu, hujan turun dengan deras. Pajar yang baru selesai ekstrakurikuler berjalan menuju parkiran motor ketika matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Naura.
Tapi dia tidak sendiri.
Dia berdiri di bawah payung, bersama Andra. Yang membuat dada Pajar semakin sesak adalah kenyataan bahwa mereka tidak hanya berdiri berdampingan—mereka berpegangan tangan.
Kemudian, dalam satu gerakan yang terasa seperti belati menancap di hati Pajar, Naura mengangkat wajahnya, dan Andra mengecup keningnya dengan lembut.
Pajar membeku di tempatnya.
Selama ini, dia selalu berpikir bahwa jika dia cukup sabar dan berusaha, Naura akan melihatnya. Tapi ternyata, yang dilihat Naura bukanlah dia.
Yang dipilih Naura bukanlah dia.
Hatinya remuk.
Matanya terasa panas, tapi dia tidak ingin menangis.
Tidak di tempat ini. Tidak di depan mereka.
Dia hanya berbalik, melangkah pergi, membiarkan hujan membasahi tubuhnya tanpa peduli.
Untuk pertama kalinya, Pajar sadar bahwa tidak peduli seberapa besar dia mencintai seseorang, itu tidak akan berarti jika orang tersebut tidak pernah menghargai usahanya.
Dan itu adalah kenyataan yang paling menyakitkan.
---
Bagian 3: Patah Hati yang Sesungguhnya
Hujan semakin deras. Jalanan yang tadinya kering kini sudah dipenuhi genangan air, menciptakan pantulan lampu jalan yang berpendar sendu. Pajar terus berjalan tanpa tujuan, membiarkan seragamnya basah, membiarkan rasa sakit di dadanya meresap lebih dalam.
Tatapan matanya kosong, pikirannya terus memutar ulang pemandangan yang baru saja dia lihat—Naura, berdiri di bawah payung yang seharusnya menjadi tempat mereka berdua, tetapi kali ini dengan Andra.
Bukan dia.
Bukan Pajar yang selama ini selalu ada untuk Naura.
Bukan Pajar yang berlari ke kantin saat Naura lupa bawa uang, bukan Pajar yang rela begadang demi membantu tugas Naura, bukan Pajar yang selalu mengantarnya pulang walaupun harus berputar jauh.
Bukan dia.
Untuk apa selama ini dia berusaha?
Kenapa dia harus jadi orang yang selalu ada, tapi tidak pernah dipilih?
Pajar mengepalkan tangan. Dada sesak, tapi air mata tidak bisa keluar. Entah kenapa, dia hanya merasa kosong.
Sampai akhirnya, dia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Pajar!"
Dia menoleh, dan di seberang jalan, Raka berdiri di depan sebuah warung kecil yang masih buka.
"Lo ngapain kehujanan gini? Gila, lo basah kuyup!" seru Raka panik.
Pajar tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, membiarkan hujan terus mengguyurnya.
Melihat temannya seperti itu, Raka langsung berlari menyeberang dan menarik lengan Pajar. "Udah, masuk dulu! Lo mau mati kedinginan, hah?"
Dengan setengah menyeret, Raka membawa Pajar masuk ke dalam warung. Pemilik warung, seorang ibu paruh baya, hanya melirik sebentar sebelum kembali sibuk dengan pesanan pelanggan lain.
Raka mendudukkan Pajar di kursi kayu. "Lo kenapa? Lo liat sesuatu tadi?"
Pajar menunduk, menatap genangan air yang menetes dari rambut dan pakaiannya ke lantai.
"Naura..." gumamnya pelan.
Raka langsung mengerti. "Lo liat dia sama cowok itu?"
Pajar tidak menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan semuanya.
Raka menghela napas panjang. Dia sudah lama ingin Pajar sadar bahwa Naura tidak pernah benar-benar melihatnya, tapi dia juga tahu bahwa rasa cinta sering kali membuat orang buta.
"Lo mau denger saran gue?" tanya Raka pelan.
Pajar tetap diam.
"Lepasin dia, Jar," lanjut Raka. "Udah cukup lo ngabisin waktu buat seseorang yang gak pernah ngelihat lo sebagai sesuatu yang berarti."
Pajar menggigit bibirnya. "Gue cuma mau dia bahagia, Rak..."
"Tapi kenapa kebahagiaan dia selalu harus nyakitin lo?"
Pajar terdiam.
"Lihat lo sekarang," Raka menunjuk ke arah Pajar. "Lo basah kuyup, kedinginan, patah hati, sementara dia? Dia di sana, ketawa-ketawa sama cowok lain."
Pajar memejamkan mata. Raka benar.
Tapi kenapa tetap terasa begitu sulit untuk melepas?
Kenangan yang Menyiksa
Setelah hari itu, Pajar mencoba menjauh. Dia tidak lagi menunggu Naura di depan kelasnya, tidak lagi menawarkan bantuan untuk tugas-tugasnya, dan bahkan tidak lagi menghubunginya.
Tapi rasa sakitnya justru semakin menjadi.
Di setiap sudut sekolah, dia masih bisa melihat kenangan mereka—bangku taman tempat mereka biasa duduk, lorong kelas tempat mereka sering bertemu, kantin tempat Pajar sering membelikan makanan untuk Naura.
Namun sekarang, semua tempat itu sudah diisi dengan sosok Andra.
Di kantin, dia melihat Andra yang kini duduk di tempatnya, menemani Naura makan.
Di taman, Andra yang kini berdiri di bawah pohon, bercanda dengan Naura.
Di lorong sekolah, Andra yang kini berjalan di samping Naura, menggantikan tempatnya.
Semakin dia berusaha melupakan, semakin banyak hal yang mengingatkannya.
Dan yang paling menyakitkan adalah, Naura sama sekali tidak mencarinya.
Tidak ada pesan yang menanyakan kenapa dia menjauh. Tidak ada panggilan yang meminta penjelasan.
Seolah-olah, bagi Naura, kehilangan Pajar bukanlah sesuatu yang berarti.
Pajar tersenyum pahit.
Jadi ini rasanya jadi orang yang tidak dianggap?
Pertemuan yang Tak Diinginkan
Suatu sore, Pajar memutuskan untuk pulang lebih awal. Dia sudah lelah berpura-pura baik-baik saja.
Namun, saat dia berjalan melewati lapangan sekolah, seseorang memanggilnya.
"Pajar!"
Jantungnya mencelos. Dia mengenali suara itu.
Pelan-pelan, dia menoleh.
Naura berdiri di sana, masih dengan wajah cantiknya, masih dengan senyum yang dulu selalu membuat Pajar lemah.
Tapi kali ini, senyum itu terasa asing.
"Hai," kata Naura sambil mendekat. "Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba ngilang?"
Pajar menatapnya, mencoba membaca ekspresi Naura. Apakah dia benar-benar peduli, atau ini hanya karena dia mulai merasa kehilangan seseorang yang selalu ada untuknya?
"Enggak kenapa-kenapa," jawab Pajar singkat.
Naura mengernyit. "Masa sih? Kamu beda banget sekarang."
Pajar hanya tersenyum tipis. "Mungkin karena aku sadar sesuatu."
Naura menatapnya dengan bingung. "Sadar apa?"
Pajar menghela napas, lalu menatap langsung ke mata Naura. "Bahwa enggak peduli seberapa keras aku berusaha, aku enggak akan pernah cukup buat kamu."
Wajah Naura berubah. Ada keterkejutan di sana, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang mirip dengan rasa bersalah.
"Pajar, aku..."
"Tapi enggak apa-apa," potong Pajar. "Aku udah capek berharap."
Naura terdiam.
Untuk pertama kalinya, Pajar tidak lagi merasa sakit saat menatapnya.
Untuk pertama kalinya, dia merasa bebas.
Dia tersenyum kecil, lalu melangkah pergi.
Dan kali ini, dia tidak akan menoleh ke belakang lagi.
---
Setelah pertemuan singkat dengan Naura di lapangan sekolah, Pajar benar-benar menghilang dari hidupnya. Tidak ada lagi pesan, tidak ada lagi tatapan penuh perhatian, dan tidak ada lagi sosok Pajar yang selalu menunggu di depan kelas.
Awalnya, Naura tidak terlalu memikirkannya.
Dia masih punya Andra, seseorang yang menurutnya lebih bisa membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Andra adalah tipe laki-laki yang selalu dia impikan—tampan, kaya, punya mobil, dan berasal dari keluarga terpandang.
Bersama Andra, hidup Naura terasa lebih mudah.
Tidak ada lagi hari-hari di mana dia harus bergantung pada seseorang yang ‘biasa saja’ seperti Pajar. Tidak ada lagi bekal sederhana yang diberikan dengan tulus, digantikan dengan makan siang mewah di restoran mahal.
Tidak ada lagi tumpangan di motor tua Pajar, digantikan dengan mobil ber-AC yang nyaman.
Naura menikmati semuanya.
Tapi semakin lama, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Andra tidak seperti Pajar.
Andra memang menyenangkan, tapi dia tidak pernah benar-benar peduli seperti Pajar. Jika dulu Pajar selalu mendengarkan keluh kesahnya, sekarang Naura harus menyesuaikan diri dengan jadwal Andra.
Jika dulu Pajar selalu ada kapan pun dia butuh, sekarang Andra sering kali sibuk dengan dunianya sendiri.
Naura mulai merasa kehilangan sesuatu, meskipun dia belum mau mengakuinya.
Hilangnya Sosok yang Selalu Ada
Beberapa minggu berlalu, dan untuk pertama kalinya, Naura menyadari betapa sepinya hidupnya tanpa kehadiran Pajar.
Tidak ada lagi yang mengingatkan dia untuk sarapan.
Tidak ada lagi yang mengkhawatirkan dia saat dia telat datang ke sekolah.
Tidak ada lagi yang menunggunya pulang, yang mengirim pesan hanya untuk memastikan dia baik-baik saja.
Pajar benar-benar sudah pergi dari hidupnya.
Dan anehnya, itu mulai mengganggunya.
Awalnya, Naura mencoba mengabaikan perasaan itu. Tapi semakin dia mencoba, semakin besar kehampaan yang dia rasakan.
Suatu hari, saat sedang duduk sendirian di kantin, matanya menangkap sosok yang sudah lama tidak dia lihat.
Pajar.
Tapi kali ini, dia berbeda.
Dia duduk bersama teman-teman lain, tertawa dan berbicara dengan santai, seolah tidak ada beban yang mengganggu pikirannya.
Seolah dia sudah benar-benar melupakan Naura.
Hati Naura mencelos.
Kenapa rasanya tidak adil?
Kenapa Pajar bisa melanjutkan hidupnya dengan mudah, sementara Naura justru semakin merasa kosong?
Naura menggigit bibirnya. Dia tidak bisa membiarkan ini terjadi.
Dia harus melakukan sesuatu.
Mencoba Mengulang yang Sudah Hilang
Hari itu, setelah pulang sekolah, Naura memberanikan diri untuk menghubungi Pajar.
Naura: Paj, kamu di mana?
Pesannya terkirim. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Pajar membacanya.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Satu jam.
Tidak ada balasan.
Naura mulai gelisah. Dulu, Pajar tidak pernah membiarkannya menunggu selama ini.
Akhirnya, dengan sedikit rasa gengsi, dia mengirim pesan lagi.
Naura: Aku boleh ketemu kamu?
Lima menit kemudian, tanda centang berubah menjadi biru.
Pajar akhirnya membaca pesannya.
Jantung Naura berdegup kencang. Dia menunggu dengan harapan Pajar akan langsung membalas.
Tapi tidak ada.
Tidak ada balasan sama sekali.
Pajar hanya membaca, lalu mengabaikannya.
Naura merasa sesak.
Dulu, dia yang selalu mengabaikan Pajar.
Sekarang, dia yang diabaikan.
Dan dia membenci perasaan ini.
Saat Naura Mulai Menyesal
Naura tidak menyerah.
Dia mencoba mencari Pajar keesokan harinya di sekolah. Namun, Pajar selalu menghindarinya. Jika dulu Pajar adalah orang yang selalu mengejarnya, kini Pajar bahkan tidak sudi menatapnya.
Dan itu menyakitkan.
Sampai akhirnya, suatu hari, Naura berhasil menghadang Pajar di depan gerbang sekolah.
"Pajar, tunggu!"
Pajar berhenti. Tapi dia tidak langsung menatap Naura.
"Apa?" tanyanya singkat.
Naura menggigit bibirnya. "Kenapa kamu menjauh dari aku?"
Pajar tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. "Kenapa baru sekarang kamu peduli?"
Naura terdiam.
Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan bahwa dia merasa kehilangan. Tapi lidahnya kelu.
Karena di dalam hatinya, dia tahu—semua ini salahnya sendiri.
"Aku cuma... aku cuma mau kita seperti dulu lagi," ucap Naura lirih.
Pajar menggeleng pelan. "Kita gak akan pernah bisa seperti dulu lagi, Naura."
Naura menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa?"
Pajar menghela napas panjang. "Karena aku udah belajar sesuatu yang seharusnya aku sadari dari dulu."
"Apa?"
Pajar tersenyum tipis. "Bahwa aku terlalu berharga untuk mengemis cinta dari seseorang yang gak pernah benar-benar menghargai aku."
Hati Naura mencelos.
Untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasakan kehilangan Pajar.
Bukan sebagai teman.
Bukan sebagai seseorang yang selalu ada.
Tapi sebagai seseorang yang sebenarnya dia butuhkan.
Dan sekarang, semuanya sudah terlambat.
Pajar sudah pergi.
---
Baik, aku akan menyesuaikan bagian 5 sesuai permintaanmu. Ini akan menjadi bagian terakhir dengan sad ending untuk Naura dan kebahagiaan untuk Pajar.
---
PENYESALAN YANG TAK DIDUGA
Tag: Patah Hati, Teen
Bagian 5: Terlambat untuk Kembali
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi bagi Naura, semuanya terasa hampa.
Sejak perbincangan terakhirnya dengan Pajar, dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Tatapan dingin Pajar, kata-katanya yang menusuk, dan—yang paling menyakitkan—cara Pajar pergi tanpa menoleh ke belakang.
Dulu, dia berpikir bahwa memiliki Andra adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tapi sekarang, dia mulai menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan.
Andra tidak seperti Pajar.
Jika Pajar selalu ada untuknya, Andra justru sering menghilang tanpa kabar.
Jika Pajar selalu mendengarkannya, Andra lebih sering sibuk dengan ponselnya atau teman-temannya.
Jika Pajar selalu menghargainya, Andra memperlakukannya seperti pilihan, bukan prioritas.
Naura mencoba menyangkal. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi semua itu berubah ketika dia melihat Andra bersama perempuan lain—tepat di depan matanya.
Karma yang Datang Cepat
Hari itu, Naura sedang berjalan menuju parkiran sekolah ketika dia melihat Andra bersandar di mobilnya.
Tidak sendirian.
Seorang perempuan lain berdiri di dekatnya, tubuhnya menempel dengan akrab pada Andra.
Mereka tertawa bersama.
Dan sebelum Naura sempat mengatakan apa pun, Andra menarik gadis itu ke dalam pelukannya, lalu mencium keningnya—dengan cara yang sama seperti dia pernah mencium Naura.
Dunia Naura runtuh seketika.
Dadanya terasa sesak, matanya panas. Dia ingin marah, ingin meneriaki Andra, ingin menampar wajah laki-laki itu.
Tapi dia tidak bisa.
Karena kini dia sadar.
Inilah yang dulu Pajar rasakan.
Rasa sakit karena dikhianati.
Rasa sesak karena melihat orang yang dia cintai memilih orang lain.
Dan sekarang, dia yang mengalaminya.
Mencari Pajar
Setelah kejadian itu, Naura merasa seperti kehilangan arah.
Tanpa sadar, kakinya membawanya ke tempat yang dulu selalu menjadi saksi kebersamaannya dengan Pajar—bangku taman di sudut sekolah, tempat mereka biasa duduk dan mengobrol.
Tapi yang membuat hatinya semakin sakit adalah, ketika dia sampai di sana, Pajar tidak sendirian.
Dia duduk bersama seorang gadis lain.
Gadis itu berbeda dari Naura—lebih imut, dengan senyum yang terlihat begitu tulus. Wajahnya cantik, tubuhnya mungil tapi proporsional, dan dari cara Pajar menatapnya, Naura tahu satu hal yang pasti:
Pajar telah menemukan seseorang yang baru.
Seseorang yang bisa membuatnya bahagia.
Seseorang yang bukan Naura.
Naura berdiri terpaku, hatinya semakin remuk.
Seandainya dia tidak pernah meninggalkan Pajar...
Seandainya dia menghargai Pajar sejak awal...
Seandainya dia bisa mengulang waktu...
Tapi semuanya sudah terlambat.
Dan untuk pertama kalinya, Naura benar-benar menyesal.
Akhir yang Berbeda
Beberapa hari kemudian, Naura memberanikan diri untuk menemui Pajar sekali lagi.
Dia menemukan Pajar di parkiran, bersiap pergi dengan gadis barunya.
"Pajar," panggil Naura pelan.
Pajar menoleh. Ekspresinya datar—tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi perhatian seperti dulu.
Naura menelan ludah. "Aku cuma mau bilang... aku minta maaf."
Pajar menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Udah terlambat, Naura."
Naura merasa dadanya kembali sesak. "Kamu... kamu bahagia sama dia?" tanyanya ragu.
Pajar menoleh ke gadis yang kini berdiri di sampingnya. Gadis itu menggenggam tangannya erat, dan Pajar menatapnya dengan penuh kasih sayang.
"Iya," jawab Pajar mantap. "Aku bahagia."
Naura menunduk, berusaha menahan air matanya.
Dulu, dia berpikir bahwa Pajar akan selalu ada untuknya. Bahwa tidak peduli seberapa jauh dia pergi, Pajar akan tetap menunggunya.
Tapi sekarang, dia sadar bahwa Pajar bukan lagi miliknya.
Dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Sementara Pajar melangkah pergi bersama kebahagiaannya yang baru, Naura hanya bisa berdiri di sana—menyesali semuanya.
Tapi apa gunanya penyesalan jika semuanya sudah terlambat?
TAMAT.
Amanat dari saya:cwek jangan mandang pisik,mending mandang konbrut nya aja