True Story
Aku menatap batu nisan dengan tatapan kosong dan hampa. Udara malam hari menusuk relung hatiku, dinginnya seakan menembus hingga ke tulang. Gerimis rintik-rintik membasahi pipiku, tak jelas apakah itu air hujan atau air mataku. Apakah aku menangis? Apa tidak?
Dalam kesunyian pemakaman, aku merasa begitu kecil dan sendirian, seolah dunia ikut berduka atas kepergiannya. Ketika semua orang menangis, aku menatap batu nisan dengan kosong. Aku tidak paham kenapa aku tidak menangis.
Mungkin karena aku telah menumpahkan semua air mataku ketika tubuhnya semakin mendingin. Aku sangat terkejut karena pundakku ditepuk oleh ibuku. Ibuku mengajakku pergi untuk meninggalkan pemakaman.
Sebelum kematian beliau, beliau pernah menanyakan padaku, “Nana, ikhlas kah kalau Nenek pergi?” Saat itu aku yang sedang main HP langsung menghentikan aktivitasku dan tidak menjawab sepatah kata apa pun. Tapi, jika aku menjawab sekarang, mungkin jawabanku TIDAK IKHLAS.
Aku selalu bertanya pada Tuhan. Kenapa Tuhan mengambil orang yang paling penting dan berharga bagiku? Apalagi orang itu mati tepat di hadapanku secara langsung.
Aku ingat hari itu. Hari yang menjadi hari yang paling tidak aku sukai. Saat itu adalah hari Selasa pukul 14 siang. Saat itu aku sedang di rumah yang besar, ditinggal sendirian sama orang tua. Di rumah yang besar hanya ada aku, adik laki-lakiku, dan nenekku yang sakit.
Kami ditinggal sendirian di rumah yang besar karena orang tuaku sedang pergi ke luar kota. Aku saat itu sangat sibuk dengan tugas-tugasku karena ujian semakin dekat. Jika mengingat-ingatnya lagi, aku sangat pusing jika memikirkan tugas yang menumpuk segunung.
Nenekku tiba-tiba meminta tolong diambilkan makan dan minuman. Aku mengerutkan alisku. Dengan perasaan yang malas dan berat hati, aku mengambilnya dengan perasaan tidak ikhlas.
Namun, setelah aku kembali dengan tangan yang memegang piring dan segelas air putih, aku melihat beliau hanya diam saat aku memanggilnya berulang kali. Saat itu beliau sedang berbaring di sebelah kanan.
Aku pun menaruh piring dan gelas ke meja. Aku menghampiri beliau dan menggoyang-goyang tubuh beliau dengan ringan sambil memanggilnya berulang kali.
Beliau hanya diam, tidak menyahut. Aku sangat panik dan pikiran-pikiran aneh mulai muncul di kepalaku. Aku mengecek suhu kakinya. Masih hangat, itulah yang aku pikirkan.
Aku menghampiri adik laki-lakiku di kamar sebelah, yaitu Galih. Saat itu aku melihat adikku sedang bermain HP-nya. Aku pun menghampirinya dengan perasaan gelisah. Aku memegang pundaknya dengan kasar, kemudian aku menggoyang tubuhnya berulang kali.
Tanpa diduga, air mata turun begitu saja tanpa permisi. “Galih, Nenek!” Adikku mengerutkan alisnya, pertanda tidak paham, dan menatapku datar. Aku menarik tangannya untuk menuju ke kamarku.
Aku menghampiri tubuh Nenek yang hampir membiru. Aku memegang tubuhnya. Dingin, itulah yang kurasakan. Aku pun menggoyang-goyang tubuhnya. Aku sangat panik, tubuhnya semakin mendingin, dan detak nadinya semakin pelan.
Aku dan adik laki-lakiku beradu debat apa yang akan kami lakukan. Panggil tetangga? Memangnya kita punya tetangga? Hubungi orang tua? Masalahnya, di antara kami tidak ada yang punya paketan data atau pulsa. Wifi rumah? Sekarang itu akhir bulan, belum sempat bayar wifi.
Bagaimana perasaanmu saat di posisiku? Bingung, bukan? Ketika aku pupus harapan, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku. Aku memegang pundak adik laki-lakiku. “Galih, panggilkan Paman di toko roti!”
Adikku menolak berulang kali, sementara aku memaksanya berkali-kali hingga memohon padanya. Dan pada akhirnya, dia menerimanya. Saat itu aku sungguh konyol, bisa-bisanya aku menyuruh adikku yang saat itu berusia 9 tahun, sementara saat itu aku berusia 13 tahun. Kami beda 4 tahun.
Rasanya begitu menyakitkan. Sebagai kakak, aku sungguh tidak berguna. Bagaimana bisa aku menyuruh adikku yang masih kecil? Aku sebagai kakak sangat egois.
Seharusnya, sebagai kakak, aku menjadi contoh yang baik, bukan malah menjadi beban baginya. Saat itu aku sungguh tidak tahu apa yang ada di pikirannya tentangku.
Adikku mengambil sepeda pancalnya, sementara aku membuka gerbang untuknya. Aku membiarkan pintu gerbang terbuka, padahal orang tuaku memberi pesan, "Jangan bukakan pintu atau gerbang untuk siapa pun, kecuali saat orang tua kami datang."
Aku pun kembali ke kamarku, mengecek kondisi beliau. Dingin. Suhu tubuhnya semakin dingin. Aku melihat kukunya semakin membiru, begitu juga dengan kulitnya. Saat aku mengecek nadinya, nadinya semakin pelan. Lagi-lagi air mata turun begitu saja tanpa permisi.
Aku berpikir bahwa ini hanya kebohongan semata dan hanya sekadar prank, atau ini hanyalah mimpi. Aku semakin terisak dan menangis. Aku memegang tangannya yang semakin dingin dan berharap tanganku yang hangat ini dapat menghilangkan rasa dingin yang menusuk.
Aku menggosokkan pipiku pada telapak tangannya. Dingin, itulah yang kurasakan. Dingin yang sampai menembus kulitku dan mengiris hatiku. Aku terdiam, tak mampu berbuat apa-apa selain merasakan sepi yang menyelimuti kami berdua. Aku menunggu dan menunggu, tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Satu, dua, tiga... Setiap tarikan napasnya ku tinggal hitung. Dua puluh satu. Angka itu terngiang di telingaku, seiring dengan bunyi napasnya yang semakin lemah. Aku perlahan menjauh dari tubuhnya.
Aku hanya bisa bersandar di dinding, memeluk diri sendiri, dan berharap bahwa semua ini hanya kebohongan semata dan keajaiban datang menghentikan semuanya.
Setengah jam pun berlalu atau bisa dibilang 40 menit telah berlalu. Aku menunggu kehadiran adikku. Aku bertanya-tanya pada diriku dan mulai khawatir dengan adikku. Aku pun mulai berpikir yang aneh-aneh, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dan berdoa bahwa semuanya baik-baik saja.
Aku melihat adikku masuk halaman rumah.
"Gimana?"
Adikku menoleh ke arahku dan napasnya tersengal-sengal, seakan membawa beban berat. Diamnya menusuk, lalu tubuhnya lunglai bersandar pada pintu gerbang. Tangan kecilnya terangkat, menutupi wajah yang kini basah oleh air mata. Isak tangisnya memecah keheningan sore, membawa serta kesedihan yang tak terperi.
Aku yang melihat itu untuk pertama kalinya melihat adikku menangis, kecuali saat dia dimarahi oleh Ayah dan Ibu. Aku hanya diam dan menatapnya sendu. Aku pun duduk di sampingnya, sambil menepuk pundaknya dan memeluknya. Sambil menenangkan adikku, kami menunggu Paman selama 20 menit. Pamanku datang dengan wajah gusar.
Dengan langkah pelan, Paman mendekati kamar Nenek. Wajahnya terpancar keprihatinan saat melihat Nenek terbaring lemah. Dengan lembut, ia meraih tangan Nenek, jari-jarinya meraba nadi yang terasa semakin lemah.
Satu per satu, ia memeriksa nadi di leher dan kaki Nenek. Pamanku memberikan HP-nya kepada kami untuk menghubungi Ayah dan Ibu. Aku pun menghubungi Ibuku. Saat teleponnya terhubung, aku melihat wajah Ibuku yang santai.
Sepertinya sekarang Ibu ada di rumah ibu mertuanya, atau bisa dibilang Nenekku yang ada di pihak Ayah. Saat melihat wajah Ibu, aku langsung terisak menangis dengan hati pedih.
"Ibu, Nenek... d-dia..." ucapku pelan, sementara Ibuku hanya diam dan melihatku dengan raut wajah yang tidak paham dengan ucapanku.
Tiba-tiba ada suara Ayah.
"Ada apa?"
Sepertinya Ayah sekarang ada di samping Ibu. Aku menyeka air mataku.
"C-cepat ke sini! N-NENEK BU..."
Konyol, bukan? Bisa-bisanya saat itu aku menyuruh orang tuaku untuk datang ke sini.
Pasti mereka baru saja datang dan istirahat di rumah Nenek dari pihak ayah ku. Dan juga, jika mau ke sini, kan butuh waktu satu jam. Lagi-lagi aku terisak menangis. HP Paman yang aku pegang diambil alih olehnya.
Pamanku dan Ayahku sedang bicara. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu mereka membicarakan apa saja. Sambungan telepon pun terputus. Aku melihat adik laki-lakiku ada di sampingku. Dia menatap tubuh Nenek dengan perasaan hampa dan kosong.
Sangat aneh, bukan? Padahal aku menangis berulang kali. Tapi, kenapa adik laki-lakiku cuma menangis sekali? Aku menepuk pundaknya berkali-kali. Aku dan adik laki-lakiku menunggu di halaman rumah, sambil menunggu kehadiran orang tua kami.
Setengah jam pun berlalu. Aku melihat mobil berwarna hitam berhenti di depan gerbang kami. Aku pun membuka pintu gerbang. Aku melihat Ibuku turun dengan raut wajah yang gelisah, sementara Ayah turun dengan perasaan yang tidak ku pahami.
Aku dan adikku mengikuti Ayah dan Ibu dari belakang. Kami pun masuk ke kamarku. Ibu menghampiri tubuh Nenek dan memeluknya. Aku melihat Ibuku menangis. Setelah memeluknya, Ibu mengeluarkan Yasin, kemudian dia membacanya di samping Nenekku.
Aku melihat Rangga, si bungsu, merengek minta sesuatu pada Ibuku. Tangan mungilnya merentangkan, meminta gendongan. Ibuku, yang tengah sibuk membaca Yasin, tampak kewalahan. Dengan lembut namun tegas, Ibuku mencoba menenangkan Rangga.
Ayahku masuk ke kamarku. Dengan hati-hati, Ayah mengangkat tubuh Nenek yang terlihat lemah. Ayah berjalan perlahan melewati kami semua, menuju mobil yang sudah siap. Setelah sampai di mobil, Ayah perlahan membaringkan Nenek di kursi tengah.
Kami semua pun masuk ke mobil. Aku dan semua adik-adikku duduk di kursi belakang, sementara Ibuku memangku kepala Nenek dan membaca Yasin. Pamanku duduk di samping Ayahku.
Kami semua pun berangkat menuju ke rumah Nenek dari pihak Ibuku, atau bisa dibilang ke rumah ibunya Ibu. Kami mengantar Nenek pulang ke rumahnya yang berada di Kota Sidoarjo, Wedoro.
Aku sering menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Seandainya saja aku lebih perhatian, mungkin Nenek masih ada bersamaku. Rasa bersalah itu terus menghantuiku. Namun, aku berusaha untuk memaafkan diri sendiri. Aku tahu, Nenek pasti tidak ingin melihatku terus bersedih.
Kepergian Nenek mengajarkan banyak hal. Aku belajar tentang arti kehidupan, kematian, dan keluarga. Aku juga belajar untuk lebih menghargai setiap momen yang ada.
Walaupun kehilangan Nenek adalah hal yang menyakitkan, aku bersyukur pernah memiliki sosok seperti beliau dalam hidupku. Aku akan selalu mengingat Nenek di dalam hatiku.
Aku percaya, semua yang terjadi sudah menjadi ketetapan Tuhan. Nenek pasti sudah berada di tempat yang lebih baik. Meskipun begitu, rasa kehilangan ini masih terasa sangat dalam. Aku akan terus berusaha untuk ikhlas dan menerima kenyataan ini.