Langit sore itu berwarna jingga keemasan, sama seperti hari ketika Arian pertama kali bertemu dengan Senja. Gadis berambut sebahu dengan mata penuh cahaya itu selalu menjadi pusat dunianya.
Mereka bertemu di perpustakaan kecil dekat sekolah, di antara rak-rak buku usang yang berdebu. Senja selalu duduk di pojok ruangan, menulis sesuatu di buku catatannya. Arian penasaran, tapi butuh waktu lama baginya untuk akhirnya duduk di sebelah gadis itu dan bertanya, "Apa yang selalu kamu tulis?"
Senja tersenyum, menunjukkan halaman-halaman penuh puisi dan surat yang tak pernah dikirim. "Aku suka menulis untuk orang-orang yang aku sayang, tapi kadang aku takut mengatakannya langsung."
Sejak saat itu, mereka semakin dekat. Senja mengajarinya cara merangkai kata, sementara Arian mengenalkan Senja pada dunia di luar buku—langit senja, taman bunga, dan suara gelak tawa yang tak tertulis dalam halaman mana pun.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, Senja berhenti datang ke perpustakaan. Tidak ada pesan, tidak ada kabar. Hingga akhirnya, Arian mendengar kenyataan pahit dari seorang teman: Senja sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit.
Dengan hati berdebar, Arian pergi ke rumah sakit itu. Tapi ia terlambat. Yang tersisa hanyalah sebuah buku catatan di meja kecil dekat jendela, dengan satu halaman terakhir yang ditulis untuknya.
"Untuk Arian,
Jika suatu hari aku pergi lebih dulu, jangan bersedih terlalu lama. Aku ingin kamu tetap melihat senja, tetap tertawa, dan tetap menulis cerita—tentang kita. Aku mungkin tidak bisa ada di sampingmu lagi, tapi percayalah, aku selalu ada di setiap warna langit sore."
Arian menutup buku itu dengan tangan gemetar. Di luar jendela, langit senja masih seindah dulu, tapi kini terasa lebih sepi.