Hujan turun rintik-rintik saat Dimas berdiri di depan halte bus, menunggu seseorang yang sudah lama ia rindukan. Nadira. Gadis yang dulu selalu bersamanya, yang pernah berjanji akan tetap tinggal, tapi akhirnya pergi tanpa kata.
Mereka bertemu pertama kali di taman kota, saat Nadira berusaha menangkap kupu-kupu dengan senyum cerianya. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan. Dimas selalu ada untuk Nadira, begitu pula sebaliknya. Hingga suatu hari, Nadira mulai menjauh, sering menghindar, dan senyumnya tidak lagi seterang dulu.
"Ada apa?" tanya Dimas suatu malam.
Nadira menunduk, menggenggam tangannya erat. "Kalau suatu hari aku pergi, kamu bakal tetap ingat aku, kan?"
Dimas tertawa kecil. "Kenapa ngomong kayak gitu? Aku bakal selalu ada buat kamu, Nad."
Tapi Dimas tidak tahu bahwa malam itu adalah terakhir kalinya ia melihat Nadira tersenyum. Keesokan harinya, kabar itu datang—Nadira telah pergi selamanya. Penyakit yang selama ini ia sembunyikan akhirnya merenggutnya.
Kini, di bawah hujan yang sama, Dimas berdiri sendirian, merasakan dinginnya kehilangan. Air mata bercampur dengan rintik hujan, sementara kenangan tentang Nadira terus berputar di kepalanya.
Ia berbisik pelan, "Aku tetap ingat kamu, Nad. Selalu."
Tapi angin hanya membawa suaranya pergi, bersama dengan bayangan seseorang yang dulu selalu di sisinya.