Hawa dingin menusuk tulang terasa semakin intens saat bayangan pohon-pohon cemara di luar jendela kamar bergoyang liar diterpa angin malam. Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Arini, seorang mahasiswi semester akhir, masih terjaga, matanya terpaku pada laptop yang menampilkan skripsi yang belum selesai. Tiba-tiba, suara gesekan pelan terdengar dari balik pintu. Arini mengabaikannya, mengira itu hanya tikus.
Namun, suara itu kembali, lebih keras kali ini, seperti sesuatu yang menyeret benda berat di lantai kayu. Rambutnya berdiri. Ia mencoba menenangkan diri, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya angin. Tapi, jantungnya berdebar kencang. Suara itu semakin dekat, semakin jelas, hingga berhenti tepat di depan pintu kamarnya.
Dengan tangan gemetar, Arini meraih ponselnya. Layar menunjukkan jam 02.15. Keheningan mencekam. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Ia memberanikan diri untuk mengintip melalui lubang intip. Tidak ada apa-apa.
Arini menghela napas lega, namun lega itu sekejap sirna ketika ia mendengar suara bisikan lirih, samar-samar, tepat di telinganya. "Jangan... lihat... ke... belakang..."
Arini membeku. Ia merasakan hembusan nafas dingin di lehernya. Dengan perlahan, rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya. Ia menoleh. Sesuatu yang dingin dan lengket menyentuh pipinya. Ia menjerit, bukan jeritan biasa, melainkan jeritan yang penuh keputusasaan.
Keesokan harinya, polisi menemukan Arini tergeletak tak bernyawa di kamarnya. Wajahnya pucat pasi, matanya melotot ke arah jendela. Di dekat tubuhnya, terdapat sebuah boneka kayu tua, usang, dan dingin. Di tangan boneka itu, tergenggam sehelai rambut panjang, hitam, dan basah. Rambut Arini. Di dinding, terdapat sebuah goresan panjang, seperti cakar, tepat di belakang tempat Arini tidur.