Hujan pertama di bulan Juni, menetes lembut di jendela kaca,
Tiap butirnya bercerita, tentang luka yang lama menua.
Kau pernah bilang, hidup ini perjalanan,
Tapi kenapa jalannya terasa penuh beban?
Aku berjalan di antara rintik hujan, menyusuri lorong sempit yang dingin. Dinding-dinding di sekelilingku basah, menguarkan aroma tanah yang lembap. Nafasku berat, sesekali terpotong oleh embusan angin yang menusuk tulang. Aku terus melangkah, meski kakiku terasa berat, seakan rantai besi tak kasat mata terikat di pergelangan.
Ayah pernah bilang, hidup itu bukan soal menang atau kalah,
Tapi soal bertahan saat badai menyapa,
Ada luka yang tak bisa sembuh dengan waktu,
Tapi ada juga yang justru membaik karena ditempa waktu.
Aku teringat hari itu, ketika aku masih kecil, duduk di bawah pohon mangga di belakang rumah. Ayah sedang meraut bambu, membuat sangkar burung. Aku bertanya, "Kenapa burung itu harus dikurung, Yah?" Ayah tertawa kecil, "Bukan dikurung. Ini tempat aman, biar dia nggak tersesat."
Tapi, bagaimana kalau sangkar itu justru membuat burung itu lupa cara terbang?
Ada waktu di mana kita merasa terpenjara dalam hidup kita sendiri,
Dan berpikir, mungkin di luar sana lebih baik dari tempat kita berdiri,
Tapi bukankah rumah yang sesungguhnya adalah tempat di mana kita belajar menerima diri?
Saat aku beranjak remaja, aku mulai paham maksud ayah. Dunia ini bukan tentang siapa yang terbang paling tinggi, tapi siapa yang tahu kapan harus mendarat. Tapi aku keras kepala. Aku ingin terbang, jauh dari sangkar yang ayah buat. Aku ingin mencari arti hidup di luar sana.
Maka, aku pergi. Meninggalkan rumah, meninggalkan ayah, meninggalkan semua yang pernah kukenal. Aku pikir, dengan pergi, aku akan menemukan kebebasan. Tapi nyatanya, dunia ini bukan hanya tentang terbang tinggi. Dunia ini penuh badai, penuh angin kencang yang siap merobek sayap kapan saja.
Ada kalanya kita merasa sudah tahu segalanya,
Padahal yang kita tahu hanya bayang-bayang semata,
Dan saat realita menampar kita tanpa aba-aba,
Kita baru sadar kalau kita hanya manusia biasa.
Aku mulai bekerja di kota, bertemu orang-orang baru. Aku pikir, ini awal yang baik. Aku bisa bebas, lepas dari bayang-bayang masa kecilku. Tapi ternyata, kebebasan juga punya harga. Aku mulai jatuh ke lubang yang sama—terlalu sibuk mengejar dunia, sampai lupa siapa diriku sendiri.
Malam itu, aku duduk di halte bus yang sepi. Hujan turun, dingin menusuk kulit. Aku menggigil, sendirian. Ponsel di tanganku mati. Tak ada notifikasi, tak ada pesan. Aku pikir, mungkin memang nggak ada yang peduli lagi. Aku tersenyum pahit.
Ada kalanya kita merasa sepi di tengah keramaian,
Tertawa di luar, tapi kosong di dalam,
Mengejar banyak hal, tapi lupa yang paling penting adalah pulang.
Aku pulang ke rumah setelah bertahun-tahun pergi. Ayah sudah tua, rambutnya memutih. Tapi senyumnya masih sama. Dia tidak bertanya kenapa aku pergi, dia hanya berkata, "Kamu pasti lelah." Aku menangis di pelukannya. Aku baru sadar, bukan dunia di luar sana yang kejam—aku hanya lupa di mana rumahku.
Ada waktu di mana kita merasa sudah terlambat,
Padahal Tuhan selalu memberi kita kesempatan kedua,
Ada waktu di mana kita merasa gagal,
Padahal kita hanya diminta untuk pulang dan memulai dari awal.
Aku memulai hidup baru di rumah lama. Aku bekerja, merawat ayah, dan mulai menulis tentang perjalanan hidupku. Aku sadar, kebebasan sejati bukan tentang seberapa jauh kita bisa pergi, tapi seberapa berani kita untuk pulang.
Hidup itu tentang jatuh dan bangun,
Tentang salah dan memaafkan,
Tentang pergi dan kembali,
Dan tentang menemukan diri sendiri di antara dua ujung jalan.