1. Suara Kentongan di Malam Ramadan
Malam di desa Ciburuy selalu tenang, hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang berhembus pelan di antara pepohonan. Namun, setiap bulan Ramadan, keheningan itu selalu pecah oleh bunyi kentongan yang bertalu-talu.
"Tung… Tung… Tung… Sahur!"
Suara itu menggema di setiap sudut desa, membangunkan warga yang masih terlelap. Mereka tahu, jika mendengar suara itu, berarti sudah waktunya untuk bersiap sahur.
Pak Karim, seorang lelaki tua dengan tubuh kurus dan wajah penuh keriput, adalah orang yang selama puluhan tahun menjalankan tugas suci itu. Dengan kentongan kayu di tangannya, ia berjalan menyusuri gang-gang sempit, memastikan tak ada satu rumah pun yang terlewatkan.
Ia tidak pernah mengeluh. Bahkan saat tubuhnya mulai lemah, ia tetap menjalankan tugasnya. Bagi Pak Karim, sahur adalah bagian penting dari ibadah, dan membangunkan warga adalah tanggung jawabnya.
Namun, Ramadan tahun itu menjadi yang terakhir baginya.
---
2. Malam Terakhir Pak Karim
Malam itu, langit terlihat mendung. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, membuat dedaunan berbisik satu sama lain.
Pak Karim tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Langkahnya lambat, tapi suaranya tetap lantang.
"Tung… Tung… Tung… Sahur!"
Namun, ada yang aneh malam itu. Setiap kali ia melewati gang kecil dekat masjid tua, ia merasa seperti ada yang mengikutinya. Langkah-langkah kecil terdengar di belakangnya, tapi saat ia menoleh, jalanan kosong.
"Ah, mungkin cuma perasaanku," gumamnya, lalu melanjutkan perjalanan.
Saat ia tiba di pos ronda untuk beristirahat, rasa lelah mulai menyerang tubuhnya. Ia duduk di bangku kayu tua, meletakkan kentongannya di samping. Matanya mulai terasa berat, dan tanpa sadar, ia tertidur.
Keesokan harinya, warga menemukannya.
Pak Karim tergeletak tak bernyawa di bangku itu, matanya terbuka lebar menatap langit, seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemputnya. Di tangannya masih tergenggam erat pentungan kayunya.
Tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada luka di tubuhnya. Tapi wajahnya… tersenyum aneh, seperti seseorang yang mendengar sesuatu yang menyeramkan sebelum meninggal.
Sejak hari itu, tidak ada lagi yang berani membangunkan sahur.
Namun, satu hal yang membuat warga ketakutan…
Suara "Tung… Tung… Tung… Sahur!" masih terdengar setiap malam.
---
3. Suara yang Tak Pernah Hilang
Awalnya, warga mengira suara kentongan itu hanyalah gema dari kenangan mereka terhadap Pak Karim. Tapi beberapa orang mulai bersaksi bahwa mereka mendengar sesuatu yang lebih aneh.
Malam-malam berikutnya, suara itu semakin nyata. Beberapa orang mendengar suara langkah kaki di luar rumah mereka.
Seorang ibu bernama Bu Sari bersumpah bahwa ia melihat bayangan tinggi berdiri di sudut jalan saat suara kentongan terdengar. "Saya pikir itu cuma orang ronda," katanya. "Tapi ketika saya menoleh lagi… bayangan itu sudah lebih dekat."
Anak-anak mulai ketakutan. Mereka mengatakan melihat sosok bermata besar dan tersenyum lebar di sudut desa.
Warga mulai menyebutnya Tung Tung.
Namun, mereka percaya hanya orang-orang yang malas bangun sahur yang bisa melihatnya.
---
4. Rian yang Malas Sahur
Di antara semua pemuda di desa, Rian adalah yang paling malas bangun sahur.
Ia selalu mengabaikan panggilan ibunya, memilih tidur daripada makan. Baginya, sahur hanyalah gangguan dalam tidurnya.
Suatu malam, ia terbangun oleh suara yang sangat jelas.
"Tung… Tung… Tung… Sahur!"
Ia mencoba mengabaikannya, tapi suara itu semakin keras. Ia menutup telinga dengan bantal, namun tetap terdengar.
Lalu, ia mendengar sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Suara langkah kaki di dalam kamarnya.
Jantungnya berdegup kencang. Dengan perlahan, ia menarik selimut dari wajahnya…
Dan di sudut kamar, Tung Tung berdiri.
---
5. Wajah di Kegelapan
Sosok itu tinggi, tubuhnya seperti kayu yang sudah tua dan retak. Matanya bulat besar dan hitam pekat. Senyumnya lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak manusiawi.
Di tangannya, ia menggenggam pentungan kayu besar, sama seperti milik Pak Karim.
Rian ingin menjerit, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan.
Tung Tung perlahan melangkah maju. Setiap gerakannya menimbulkan suara kayu yang bergesekan.
"Tung... Tung... Tung... Sahur..."
Tangannya yang panjang mulai mengayunkan pentungan ke arah Rian.
Dan semuanya menjadi gelap.
---
6. Pagi yang Mengerikan
Keesokan harinya, warga menemukan sesuatu yang mengerikan di pos ronda.
Rian… duduk diam di bangku yang sama tempat Pak Karim meninggal.
Matanya kosong. Wajahnya pucat. Tangannya menggenggam pentungan kayu yang besar.
Saat seorang warga mencoba menyentuhnya, Rian perlahan menoleh…
Dan tersenyum lebar.
Dari mulutnya keluar suara yang sudah lama dikenal warga:
"Tung… Tung… Tung… Sahur!"
---
1. Warga yang Resah
Kabar tentang Rian yang ditemukan di pos ronda dengan wajah kosong dan senyum mengerikan menyebar dengan cepat di desa Ciburuy. Sejak kejadian itu, ia tidak berbicara sepatah kata pun.
Ibunya, Bu Mirah, menangis setiap hari, mencoba membangunkan putranya dari kondisi aneh itu.
“Rian… Nak, bangun! Jangan diam saja seperti ini!” tangisnya, mengguncang bahu anaknya.
Namun, Rian hanya duduk kaku di kursi kayu di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sesekali, tangannya bergerak sendiri, mengetuk lututnya dengan ritme yang sudah sangat dikenal warga.
"Tung… Tung… Tung…"
Setiap kali suara itu keluar dari mulutnya, jantung ibunya terasa mencelos.
Pak Ujang, ketua RT, akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia mengumpulkan para warga di balai desa.
"Kita harus mencari tahu apa yang terjadi! Ini bukan kejadian biasa," katanya dengan nada serius.
“Tapi bagaimana, Pak? Semua ini dimulai sejak Pak Karim meninggal,” kata salah satu warga.
Pak Ujang mengangguk. "Mungkin ada sesuatu yang belum kita ketahui tentang kematiannya."
Di sudut ruangan, seorang lelaki tua dengan sorot mata tajam berdehem pelan. Itu adalah Mbah Darma, tetua desa yang dikenal memiliki pengetahuan tentang hal-hal gaib.
“Ada yang harus kalian tahu,” katanya dengan suara serak. “Dulu… ini pernah terjadi. Dan kita semua telah melakukan kesalahan besar.”
Warga menoleh ke arahnya dengan wajah penuh tanya.
Mbah Darma menarik napas dalam. “Kalian pikir Pak Karim hanya sekadar membangunkan sahur? Tidak. Ia menjaga kita dari sesuatu yang lebih buruk…”
---
2. Rahasia Pak Karim
Semua orang menahan napas, menunggu Mbah Darma melanjutkan.
"Pak Karim bukan hanya penabuh kentongan biasa," katanya. "Ia adalah penjaga."
"Penjaga?" tanya Pak Ujang heran.
Mbah Darma mengangguk. “Ada alasan kenapa kentongan harus dibunyikan setiap malam Ramadan. Itu bukan hanya untuk membangunkan sahur… tapi untuk mengusir sesuatu.”
Para warga saling berpandangan, bulu kuduk mereka mulai berdiri.
"Sejak dulu, desa kita selalu dihantui oleh Tung Tung, makhluk yang muncul di malam sahur untuk mengambil orang-orang yang malas bangun. Pak Karim tahu itu, dan itulah sebabnya ia selalu memastikan kentongan tetap berbunyi. Bukan hanya untuk membangunkan kita, tapi untuk menjauhkan makhluk itu."
Seseorang di antara warga menelan ludah. "Tapi kalau begitu… setelah Pak Karim meninggal…"
Mbah Darma mengangguk. "Tidak ada lagi yang menjaga desa ini."
Warga mulai panik. Beberapa mulai berbisik satu sama lain, ketakutan.
Pak Ujang berdeham. "Baik, kalau begitu, kita harus menghidupkan kembali tradisi itu! Kita harus membunyikan kentongan lagi setiap malam sahur."
"Tidak semudah itu," kata Mbah Darma. "Tung Tung sudah terlepas. Dan sekarang, ia sudah memilih korban berikutnya."
---
3. Suara Kentongan di Dalam Rumah
Malam itu, Rian tetap tidak bergerak dari tempat duduknya. Matanya menatap kosong ke arah luar jendela, senyumnya masih melekat di wajahnya.
Bu Mirah sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa duduk di lantai, menangis diam-diam.
Kemudian, sesuatu terjadi.
"Tung… Tung… Tung…"
Bu Mirah menegang. Itu suara Rian. Tapi yang membuatnya lebih ngeri adalah…
Kentongan yang tergantung di luar rumah ikut berbunyi.
Padahal tidak ada orang di sana.
Bu Mirah menatap dengan mata membelalak. Ia merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.
Pelan-pelan, Rian menoleh ke arahnya.
Senyumnya semakin lebar.
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Bu Mirah menjerit.
---
4. Teror di Gang Desa
Di sisi lain desa, dua pemuda, Bayu dan Dani, sedang ronda malam. Mereka tidak tahu tentang kejadian di rumah Rian.
“Apa menurutmu semua ini cuma sugesti, Bay?” tanya Dani, berjalan dengan senter di tangannya.
Bayu mengangkat bahu. “Gak tahu, Dan. Aku sih gak percaya sama hantu-hantu gitu.”
Mereka berjalan melewati gang dekat pos ronda. Angin malam bertiup pelan, membuat daun-daun kering berjatuhan.
Tiba-tiba…
"Tung… Tung… Tung…"
Mereka berhenti.
“Dengar gak?” bisik Dani.
Bayu mengangguk. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan matanya membelalak.
Di bawah lampu jalan yang temaram… berdiri sesosok makhluk tinggi dengan tubuh seperti kayu yang retak.
Matanya besar dan hitam. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajah manusia.
Di tangannya, ia memegang pentungan besar.
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Bayu dan Dani menjerit, berlari sekencang mungkin meninggalkan gang itu.
Namun, di belakang mereka, suara langkah kayu terus mengikuti.
Makhluk itu berjalan mendekat.
---
5. Tak Ada Tempat Bersembunyi
Mereka akhirnya tiba di balai desa, tempat para warga masih berkumpul.
"Pak Ujang! Mbah Darma!" Bayu terengah-engah. "Kami melihatnya! Kami melihat Tung Tung!"
Semua orang menoleh dengan wajah tegang.
Pak Ujang menggenggam pentungan kayu di tangannya. "Kalau begitu, kita harus bertindak sekarang!"
Mbah Darma berdiri. "Kita harus membunyikan kentongan di seluruh desa! Itu satu-satunya cara untuk mengusirnya!"
Para warga bergegas mengambil kentongan yang masih tersimpan di pos ronda.
Namun, sebelum mereka sempat memukulnya…
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Suara itu sudah ada di dalam ruangan.
Semua orang membeku.
Di tengah balai desa… Tung Tung sudah berdiri di sana, tersenyum lebar.
---
6. Ketakutan yang Terlambat
Seorang warga berteriak, berusaha lari keluar. Tapi begitu ia menyentuh pintu…
Pentungan kayu besar menghantamnya.
Warga lain menjerit ketakutan.
Pak Ujang mencoba membunyikan kentongan di tangannya, tapi tubuhnya tiba-tiba terasa berat.
Mbah Darma, dengan suara gemetar, berkata, "Dia sudah terlalu kuat… Kita sudah terlambat…"
Tung Tung melangkah maju.
Satu per satu, warga mulai merasakan tubuh mereka kaku, mata mereka kosong, senyum mengerikan muncul di wajah mereka.
Di luar, di seluruh desa, kentongan-kentongan yang tergantung mulai berbunyi sendiri.
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Dan malam itu, Ciburuy tidak pernah sama lagi.
---
1. Desa yang Membisu
Malam itu, desa Ciburuy tak lagi seperti dulu.
Tak ada suara jangkrik, tak ada angin yang berhembus pelan. Yang terdengar hanya satu suara, bergema di setiap sudut desa:
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Suara itu datang dari berbagai arah, dari setiap rumah, dari setiap gang kecil yang gelap.
Namun, tak ada seorang pun yang keluar rumah.
Orang-orang yang sebelumnya mencoba melawan telah diam membisu, wajah mereka kosong dengan senyum yang membeku. Mereka kini hanya boneka hidup, memukul-mukul lutut mereka sendiri dengan ritme yang sama.
Di dalam balai desa, Pak Ujang, Bayu, Dani, dan Mbah Darma adalah satu-satunya yang masih sadar.
Mbah Darma memejamkan mata, napasnya berat. “Kita sudah terlambat… Terlalu banyak yang telah jatuh di bawah kendalinya.”
Dani menggigil ketakutan. "Apa maksud Mbah? Ini bisa dihentikan, kan?"
Mbah Darma membuka matanya. Sorotnya penuh kesedihan.
“Ada satu cara… tapi itu berbahaya.”
Pak Ujang menatapnya tajam. “Katakan, Mbah. Aku tak peduli seberapa berbahayanya, yang penting kita bisa menyelamatkan desa ini.”
Mbah Darma menarik napas dalam-dalam. “Kita harus menemukan kentongan asli milik Pak Karim. Itu adalah benda satu-satunya yang bisa mengusir Tung Tung kembali ke tempat asalnya.”
Bayu menelan ludah. "Tapi… di mana kentongan itu sekarang?"
Mbah Darma menatap ke luar jendela, ke arah pos ronda yang gelap.
“Di tempat semuanya bermula.”
---
2. Pos Ronda yang Kosong
Mereka melangkah pelan menuju pos ronda, tempat di mana Pak Karim pertama kali ditemukan tewas.
Desa terasa aneh. Udara di sekitar mereka begitu dingin, padahal seharusnya udara malam Ramadan hangat.
Dan yang lebih mengerikan…
Di sepanjang jalan, para warga duduk diam di depan rumah mereka.
Mata mereka menatap kosong ke arah jalan, wajah mereka tersenyum lebar.
Dan bersama-sama, mereka membisikkan kata yang sama:
"Tung… Tung… Tung… Sahur…"
Dani hampir saja berteriak kalau saja Bayu tidak segera menutup mulutnya. "Jangan buat suara!" bisik Bayu, suaranya bergetar.
Mereka berjalan semakin cepat, mencoba mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap mereka dari kegelapan.
Saat mereka akhirnya sampai di pos ronda, tempat itu terlihat lebih gelap daripada biasanya.
Pak Ujang menelan ludah, lalu melangkah masuk lebih dulu. “Kita cari kentongan itu.”
---
3. Mata yang Mengintai
Mereka mulai menggeledah pos ronda. Rak-rak kayu dijungkirbalikkan, lemari tua dibuka, tapi kentongan milik Pak Karim tidak ada di mana-mana.
“Apa mungkin seseorang sudah mengambilnya?” tanya Bayu.
Mbah Darma menggeleng. "Tidak… Aku yakin Tung Tung menyembunyikannya."
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar.
"Tung… Tung… Tung…"
Mereka membeku.
Dani menelan ludah. "Suaranya… ada di luar."
Pak Ujang menyalakan senter dan mengarahkannya ke luar jendela pos ronda.
Dan saat itu juga, mereka melihatnya.
Tung Tung berdiri tepat di luar.
Matanya yang hitam besar bersinar di kegelapan. Tubuhnya yang seperti kayu tua retak-retak saat ia bergerak. Senyumnya semakin lebar saat melihat mereka.
Ia mengangkat pentungannya tinggi-tinggi, lalu menghantam tanah dengan keras.
"TUNG… TUNG… TUNG… SAHUR!!!"
Sekejap, semua warga yang duduk di jalanan berdiri bersamaan.
Mereka mulai berjalan menuju pos ronda.
---
4. Perlawanan Terakhir
Pak Ujang panik. “Kita harus pergi sekarang!”
“Tapi kentongannya belum ketemu!” seru Dani.
Mbah Darma terdiam sejenak, lalu menutup matanya. Bibirnya bergetar, melafalkan doa-doa yang hanya ia sendiri yang mengerti.
Lalu, ia membuka matanya dengan cepat. "Di bawah lantai!"
Tanpa pikir panjang, Pak Ujang dan Bayu segera merobek papan lantai kayu pos ronda.
Dan di sana…
Mereka menemukannya.
Kentongan kayu tua milik Pak Karim, sedikit retak tapi masih utuh.
Namun, sebelum mereka bisa mengambilnya…
Tung Tung sudah ada di dalam pos ronda.
Tanpa mereka sadari, ia sudah berdiri di belakang mereka, hanya beberapa langkah saja.
Perlahan, ia mengangkat pentungannya, siap menghantam mereka semua.
Pak Ujang mencengkram kentongan itu dan membunyikannya sekuat tenaga.
"TUNG! TUNG! TUNG!"
Seketika, suara itu menggema di seluruh desa.
Warga yang tadinya berjalan dengan tatapan kosong terhenti di tempat mereka berdiri.
Senyum mereka perlahan memudar.
Tung Tung menggeram.
Untuk pertama kalinya, ekspresinya berubah. Senyumnya menghilang, matanya menyipit penuh kebencian.
Pak Ujang terus membunyikan kentongan itu, semakin keras dan semakin cepat.
Mbah Darma berteriak, “Teruskan! Jangan berhenti!”
Suara kentongan semakin nyaring. Dan tubuh Tung Tung… mulai bergetar.
Retakan di tubuhnya semakin besar, seolah ia sedang dihancurkan dari dalam.
Ia mencoba mengayunkan pentungannya, tapi tangannya mulai patah dan berubah menjadi debu.
Ia berteriak keras—bukan suara manusia, bukan suara yang bisa dipahami.
Dan dalam sekejap…
Tung Tung menghilang.
---
5. Desa yang Kembali Normal
Saat fajar mulai menyingsing, desa Ciburuy kembali sunyi.
Para warga yang sebelumnya terkena pengaruh Tung Tung mulai tersadar. Mereka tidak ingat apa pun yang terjadi semalaman.
Rian, yang selama ini duduk membisu, perlahan menggerakkan jari-jarinya.
“Ibu…?” suaranya lemah, seperti seseorang yang baru bangun dari tidur panjang.
Bu Mirah menjerit haru, memeluk anaknya erat.
Di pos ronda, Mbah Darma menatap kentongan kayu tua di tangan Pak Ujang. Ia menghela napas panjang.
"Semoga ini terakhir kalinya dia muncul," katanya.
Pak Ujang menatap desa yang mulai diterangi matahari pagi. Ia menggenggam kentongan itu erat.
"Mulai sekarang, kita akan pastikan kentongan ini tetap berbunyi setiap malam sahur."
Bayu dan Dani saling berpandangan. Mereka tahu, mereka tidak akan pernah melupakan malam mengerikan itu.
Dan di kejauhan, di antara pepohonan yang tertiup angin…
Seakan ada suara pelan yang berbisik.
"Tung… Tung… Tung…"
Tapi kali ini, suaranya semakin lama semakin pudar.
Hingga akhirnya… benar-benar hilang.
---
TAMAT.