Hari itu seperti biasanya aku mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat kepada pacarku di aplikasi pencari jodoh, jujur saja aku tak terlalu tertarik dengan semua hal konyol ini, tapi setelah temanku yang agak menyebalkan merekomendasikannya padaku, akhirnya membuatku luluh.
Tapi aku merasa ada yang kurang dari hubungan lewat telepon ini, karena terasa begitu terpaksa, setelah kami mengobrol panjang lebar akhirnya aku memberanikan diri dengan menekan tombol telepon.
Namun belum semenit berlalu aku sudah panik sendiri dan memutuskan untuk memastikan telepon, aku menarik nafas panjang sembari mengelus dada. ‘Apa yang kamu pikirin sih?’ pikirku sambil mengacak acak rambut pirangku. ‘Aku harap dia gak benar benar memperhatikan.’
Tapi semua itu tak berjalan sesuai rencana karena pacarku itu langsung mengirim pesan singkat.
“𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑛𝑒𝑙𝑒𝑝𝑜𝑛 𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢 𝑎𝑝𝑎?” Di akhir pesan ia bahkan menambahkan emot love 🥰
Dengan cepat aku segera mengirim pesan balasan. “𝐵𝑖𝑠𝑎 𝑔𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔? 𝐴𝑘𝑢 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑤𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑚𝑢, 𝑠𝑜𝑎𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖 𝑃𝑃 𝑐𝑢𝑚𝑎 𝑝𝑎𝑘𝑒 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑗𝑎.”
Beberapa menit setelah mengirim pesan itu, aku langsung panik dan berusaha menghapusnya, namun sayang sekali pesan itu sudah terbaca centang biru, dan sialnya pacarku tengah menulis balasan.
“𝐵𝑜𝑙𝑒ℎ, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑘𝑒𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖 𝑚𝑎𝑛𝑎? 𝑅𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑎𝑘𝑢?”
Aku agak panik karena ternyata pacarku tak menolak ajakanku untuk bertemu langsung, tanpa sadar wajahku menyunggingkan senyuman.
“𝐾𝑒 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑎𝑗𝑎, 𝑏𝑒𝑏~𝑠𝑜𝑎𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑎𝑘𝑢 𝑠𝑒𝑝𝑖 𝑘𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑟𝑎𝑛, 𝑘𝑖𝑟𝑖𝑚 𝑎𝑗𝑎 𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎~”
Tak lama kemudian ponselku berbunyi dan muncul pesan dari pacarku, dan alamatnya itu membuatku terdiam, ‘Gak mungkin kan kalau pacarku itu—’ aku menelan ludah karena panik. ‘Itu adalah rumah temanku, dan jaraknya hanya beberapa blok dari rumahku.’
Dengan itu aku terus memastikan kalau semua itu hanya kebetulan semata, jadi aku langsung mengirim pesan balasan. “𝐴𝑘𝑢 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑙 𝑠𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑖𝑎𝑝 𝑑𝑢𝑙𝑢, 𝑚𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖~”
Pacarku tak menjawab panjang lebar hanya sebuah emot 🥰.
Tanpa menunggu lama aku langsung mandi air hangat dan mengenakan blouse terbaik milikku, tak lupa juga jaket denim favoritku, setelah memastikan semuanya telah sempurna, aku segera pergi ke tempat yang tertulis di alamat tersebut.
Dan benar saja, itu adalah rumah dari temanku, namun saat sampai di depan pintu entah kenapa terasa sangat familiar seolah pernah berada di sana sebelumnya, tapi aku segera menepis pemikiran tersebut dan mengetuk pintu.
“Halo, beb~kamu ada di rumah kah?” ucapku dengan nada sopan.
Tak lama kemudian pintu terbuka namun bukannya Soutaro pacarku, melainkan seorang pria paruh baya berdiri dengan pakaian Butler. “Nama saya adalah Sebastian, dan kalau nona mencari tuan Soutaro maka ia ada di dalam kamarnya.”
Aku mengernyit ketika mendengar perkataan dari pria itu. ‘Tunggu, bentar deh, kamu gak salah ngomong buat ke kamar orang? Apa ini semacam prank alam semesta?’
Tapi aku berusaha untuk ramah, jadi aku menyunggingkan senyuman dan mengikutinya berjalan melewati rumah besar itu, hingga akhirnya tiba di depan sebuah kamar mewah.
Setelah memastikan aku sampai, Sebastian berbalik dan meninggalkan aku berdiri mematung di sana, entah kenapa aku merasa agak gugup panik dan kurang percaya diri.
Ketika tanganku memegang gagang pintu dan memutarnya sedikit aku melihat kalau pintunya ternyata tidak dikunci, dan saat terbuka, mataku melebar karena di sana ada Soutaro berdiri di depan cermin, tapi—itu bukan masalahnya.
Soutaro sedang tidak mengenakan sehelai pakaian pun di tubuhnya, namun entah kenapa saat melihatnya langsung aku merasa tak bisa bergerak, tubuhnya terlihat menawan dengan otot-otot terbentuk begitu bagus.
Hingga pandanganku turun ke bawah, ‘Anjir...gede amat~’
Soutaro seketika terdiam, matanya langsung tertuju ke arahku seolah aku adalah seorang penjahat yang baru saja melakukan kejahatan keji, matanya tampak tajam.
“Tunggu, aku bisa jelasin semua ini.” suaraku terdengar sedikit terbata bata.
Namun meski aku mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain, pandanganku terus kembali kepadanya.
“Kamu gak ada niat buat pergi gitu?” tanyanya sambil mengambil handuk yang berada di lantai. “Atau kamu sebenarnya tertarik buat liatin tubuh aku??”
Aku ingin membantah perkataannya, tapi entah kenapa melihat ***** membuat tubuhku bergetar, bagian bawah tubuhku bahkan sampai basah, aku bingung harus melakukan apa, tapi pergi bukanlah tujuanku.
Aku menggigit bibir menahan nafsu yang entah kenapa muncul di dalam kepalaku ini, ini membuatku sangat frustasi, bagaimana bisa aku dikalahkan.
Soutaro hanya tersenyum lalu berjalan ke arahku, ia menyentuh wajahku dengan lembut, namun itu malah membuat tubuhku semakin gemetaran. “Kamu lucu, tapi gak aku sangka kalau bakal ketemu di momen kayak gini.”
aku menelan ludah karena panik, panas tubuhnya bahkan sampai kepadaku, karena jarak di antara kami sangat dekat, dan saat aku menatap wajahnya entah kenapa membuat pipiku panas.
Tanpa mengatakan apa apa Satoru mencium bibirku dengan dalam dan bahkan memainkan lidahnya seolah itu adalah hal paling wajar untuk dilakukan, di sisi lain aku sama sekali tak menolaknya, karena walau aku berkata tidak tapi tubuhku merespon dengan cara berbeda.
Sementara itu tangan Soutaro menyentuh bahuku, melepas jaket kulit sebelum akhirnya menyentuh dadaku, meremasnya seolah itu adalah sebuah squishy yang lembut, aku mengerang pelan namun karena lidahnya masih bermain di dalam mulutku semua itu tak terdengar.
Bahkan Soutaro langsung merobek blouse yang aku kenakan, padahal itu adalah favoritku, saat ia melepas bra di dadaku ia melepaskan lumayan bibirnya lalu mundur selangkah.
“Kamu bikin aku ber—gairah.” ucapnya sambil memandangi dadaku yang kini tak tertutupi sehelai kain.
Soutaro menatap ke bawah, tepatnya ke dadaku lalu menjilatnya dengan lidahnya sementara tangan satunya menyentuh pahaku, membuat seluruh tubuhku menegang karena setiap sentuhan itu.
Setelah beberapa saat akhirnya Soutaro berhenti, ia berdiri sembari menatapku dengan mata birunya yang indah, menawan serta sedikit menggoda, aku tahu ini salah tapi—aku sendiri bahkan tak bisa mengendalikan akal sehatku.
Dengan perlahan Soutaro melepas rokku dan sekaligus celana dalam yang aku pakai, tapi alih alih melemparkannya ke jauh, lalu menyapirkan handuknya hingga asetnya sangat terlihat bahkan dengan uratnya membuat itu gagah.
Soutaro mengangkat kaki kiriku dan memelukku sambil memasukkan asetnya di ****, hal itu membuatku mendesah karena sakitnya ternyata melebihi ekspetasi.
“Sakit~” ucapku dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Aku menggigit bibirku menahan rasa sakit namun hal itu membuatku semakin ketagihan, setiap kali ia mengeluarkan asetnya lalu memasukannya lagi, terasa begitu—aneh tapi aku ingin ini berlangsung lebih lama lagi.
Soutaro mempercepat gerakannya membuatku mendesah lebih lama, ia lalu berhenti beberapa saat hanya untuk mengeluarkan cairan ke dalam ***** milkkku, rasanya hangat, lengket dan agak menyenangkan.
Setelah beberapa ronde berlalu, kakiku terasa kaku seperti telah berjalan selama beberapa meter jauhnya, dadaku naik turun karena nafas tak beraturan, ia lalu meletakkan kakiku ke tanah dan menarik asetnya keluar.
Nafas kami seakan memburu, terenga engah, ia lalu memperhatikan wajahku dengan seksama. “Aku menikmati hari ini, Haru...”
Aku tersenyum simpul mendengar pujiannya, karena bukan hanya ia yang merasa terpuaskan tapi aku juga, dan tanpa berkata ia langsung menyerang bibirku dan melumatnya seperti seekor binatang buas ketika melihat mangsa.
Sementara aku hanya membalas ciuman panasnya dengan semampuku, hingga tak terasa ponselku berbunyi dengan lagu classic dari Samsung, tapi aku tak bisa menjawab telepon itu sekarang karena sedang ada urusan dengan Soutaro.
Tapi ternyata mengabaikan telepon itu malah membuatnya berdering lagi dan lagi, hingga akhirnya aku menarik diri dari ciuman panas itu dan meraih ponselku yang entah kenapa ada di lantai.
Wajahku memucat ketika melihat yang menelepon adalah ibuku, bahkan saat telepon itu berdering aku malah menekan tombol merah.
“Sou-kun, aku—” perkataanku tercekat di tenggorokan seolah menolak untuk keluar.
Melihat keraguan di mataku, akhirnya Soutaro memelukku sambil mengelus kepalaku, harus aku akui tubuhnya begitu hangat membuatku merasa aman.
“Sepertinya kamu harus segera pulang.” ucapnya dengan suara pelan. “Keluargamu bisa curiga.”
Aku langsung memasang ekspresi cemberut, menolak ide itu. “Tapi, aku masih mau main sama kamu...”
“Kita bisa main lagi besok, gimana?” ia mengelus kepalaku sebelum akhirnya mengambil rok, jaket denim serta celana dalam yang aku kenakan, hingga ia tersadar sesuatu. “Sial!! aku udah sobek blouse kamu, gimana dong?”
Dengan senyum miring aku menatapnya. “Gimana kalau satu ronde lagi?”
Soutaro melepaskan pelukannya dan membantu memakaikan pakaianku tak lupa juga bra dan celana dalam. “Aku bakal minta Sebastian nyariin blouse yang sama persis, dan kalau kita main kelamaan, bisa bisa aku jadi kayak jeruk nipis ketika airnya di peras.”
Aku tertawa mendengar itu, meski bagian bawah tubuhku masih merasa sakit bahkan berdenyut denyut, tapi setidaknya itu sudah tak terasa gatal lagi sekarang, dan itu nilai plusnya.
Selesai berpakaian, aku dan Soutaro berjalan ke ruang tamu, di sana Sebastian tampak sedang menyeruput kopinya dengan santai hingga ia melihat kami dan segera berdiri.
Tanpa basa basi Soutaro menunjukan blouse yang aku kenakan dan berkata. “Bas, aku mau kamu buat nyariin sama persis kayak gini dalam 15 menit.”
Sebastian langsung berjalan anggun keluar rumah, lalu 10 menit kemudian ia membawa sebuah blouse sama persis dengan yang aku kenakan sebelumnya.
Aku terpukau dengan kehebatan Sebastian dan langsung meraih blouse itu, lalu pergi ke sudut ruangan tempat yang tak terlihat dari ruang tamu dan mengenakan blouse itu, kemudian kembali ke tempat semula.
“Kamu hebat banget, Bas, bisa nemuin blouse ini dengan cepat bahkan yang sama persis pula.” ucapku penuh kekaguman.
“Mau aku anter pulang gak? Soalnya—” Soutaro melirik ke arah kakiku. “dia masih sakit deh.”
Aku tersenyum lalu berkata. “Rumah aku cuma deket kok, bisa jalan sendiri.”
Tanpa berbalik aku meraih tasku dan berjalan kembali ke rumah, entah kenapa ingatan tentang aku yang memberikan keperawanan pada Soutaro terasa agak aneh, tapi aku menikmatinya.
Aku melangkah cepat menuju ke rumah, dan saat di dalam rumah aku melihat ibu serta ayahku duduk, namun itu bukan semuanya, di depan mereka ada seorang pemuda asing yang bahkan tak aku kenali.
“Siapa kamu?” tanyaku langsung tanpa basa basi.
Ibuku langsung tersenyum lalu menatap ke arahku. “Dia Pierre, orang yang akan menjadi calon tunanganmu.”
JLEB!!
Perkataan itu seperti pisau tajam dan menusuk jantungku, aku menatap ayah, ibu dan juga orang itu secara bergantian, sepertinya ini adalah hari terbaikku tapi juga sekaligus terburukku dalam setahun ini.
Aku langsung berpikir cepat hingga aku mendapatkan sebuah ide. “Kalian gak bercanda kan? Aku masih 18 tahun!!”
Agak aneh ya, aku seorang gadis berusia 18 tahun yang baru saja melakukan hubungan *** dengan pacarku.