Bagian 1: Jalanan yang Berubah
Hujan baru saja reda di sudut kota Bandung. Jalanan basah memantulkan sinar lampu jalan yang mulai menyala. Di trotoar, beberapa orang berjalan tergesa-gesa, entah menuju rumah atau mencari tempat berteduh di warung kopi.
Di sebuah sudut pasar, seorang pria berbadan kekar dengan jaket kulit hitam sedang duduk di bangku kayu. Wajahnya keras, penuh goresan pengalaman hidup di jalanan. Namanya Bahar, dulu dikenal sebagai preman yang menguasai pasar dan terminal di wilayah itu. Tapi sekarang, hidupnya berubah.
Seorang pemuda mendekatinya. Anak muda itu mengenakan jaket jeans dan celana robek-robek.
"Bang Bahar, ada orang baru yang coba nguasain terminal," kata pemuda itu, suaranya setengah berbisik.
Bahar menghela napas. Ia menyesap kopinya pelan.
"Itu bukan urusan saya lagi, Ujang," jawab Bahar tenang.
Ujang tampak tak percaya. "Bang, mereka mulai narik duit dari pedagang kecil! Ini nggak bisa dibiarkan, Bang!"
Bahar menatap Ujang dalam-dalam. Dulu, kalau ada masalah seperti ini, ia pasti langsung turun tangan. Tapi sekarang, ia ingin menjalani hidup yang lebih baik. Sejak dua tahun lalu, ia memutuskan pensiun dari dunia preman.
"Dunia ini sudah bukan dunia saya lagi, Jang. Saya sudah berhenti," ujar Bahar tegas.
Ujang mengepalkan tangan. "Jadi Bang Bahar mau diem aja? Nggak kasian sama orang-orang yang dulu Bang Bahar lindungi?"
Bahar mengalihkan pandangan ke jalanan yang basah. Hatinya bergejolak. Ia ingin tetap berada di jalannya yang baru, tapi di sisi lain, ia juga tak bisa membiarkan orang-orang yang dulu ia lindungi menderita.
Sebelum ia bisa menjawab, seorang pria bertubuh besar dan berambut cepak datang menghampiri.
"Bahar... Gue kira lo udah hilang," suara pria itu berat dan berwibawa.
Bahar mendongak dan tersenyum kecil. "Edi. Lama nggak ketemu."
Edi, mantan rekan Bahar di dunia preman, tertawa kecil. "Lo beneran udah pensiun? Atau cuma pura-pura?"
Bahar tersenyum miring. "Gue serius, Di. Hidup gue sekarang lebih damai."
Edi duduk di sebelah Bahar. "Dunia kita nggak bisa ditinggal gitu aja, Har. Ada harga yang harus dibayar."
Bahar menatap Edi, mencoba memahami maksud kata-katanya.
"Ada yang nyari lo, Har," lanjut Edi, kali ini dengan nada lebih serius. "Orang-orang yang lo tinggalin dulu nggak semuanya bisa nerima lo pergi begitu aja."
Bahar menghela napas panjang. Ia sadar, keputusan untuk pensiun dari dunia preman bukan perkara mudah. Dan sekarang, masa lalunya datang kembali.
----
Bagian 2: Masa Lalu yang Kembali
Bahar menatap Edi dengan mata penuh pertanyaan. Ia sudah meninggalkan dunia lama itu, tetapi mengapa sekarang masa lalunya kembali menghantuinya?
"Siapa yang nyari gue?" tanya Bahar akhirnya.
Edi menyesap kopinya perlahan. Ia menatap langit yang mulai gelap sebelum akhirnya kembali menoleh ke Bahar.
"Bang Jafar," jawabnya singkat.
Bahar terdiam sejenak. Nama itu membuat dadanya sedikit sesak. Jafar adalah orang yang dulu menguasai sebagian besar wilayah di Bandung, termasuk pasar dan terminal. Bahar pernah bekerja untuknya, sebelum akhirnya memilih jalan sendiri.
"Dia masih berkuasa?" tanya Bahar.
Edi menggeleng. "Nggak. Dia baru keluar dari penjara dua bulan lalu. Tapi dia masih punya pengaruh."
Bahar menarik napas panjang. Ia ingat betul bagaimana dulu ia memutuskan untuk meninggalkan kelompok Jafar. Waktu itu, ia merasa sudah cukup dengan kehidupan jalanan. Ia ingin sesuatu yang lebih baik. Ia ingin hidup tanpa ketakutan, tanpa darah dan kekerasan.
"Terus, dia nyari gue buat apa?"
Edi menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu, tangannya melipat di depan dada. "Lo dulu ninggalin dia begitu aja, Har. Tanpa pamit, tanpa bayar hutang budi. Sekarang dia balik, dan dia nggak suka lihat lo hidup enak."
Bahar tertawa kecil, getir. "Enak? Hidup gue biasa aja, Di. Gue cuma dagang kecil-kecilan sekarang."
Edi mengangkat bahu. "Buat dia, lo pengkhianat. Lo ninggalin dunia yang dia bangun. Itu penghinaan."
Bahar terdiam. Di satu sisi, ia tidak ingin kembali ke dunia itu. Di sisi lain, ia tahu betul bagaimana Jafar bekerja. Kalau pria itu sudah menargetkan seseorang, maka orang itu tidak akan bisa hidup dengan tenang.
"Denger, Har," lanjut Edi. "Dia nggak cuma mau nyari lo. Dia juga mau ambil alih pasar ini lagi. Anak buahnya udah mulai datang. Mereka narik 'setoran' dari pedagang kecil."
Bahar mengepalkan tangannya di atas meja. Itu hal yang paling tidak ia suka. Preman seperti Jafar tidak peduli dengan orang-orang kecil. Mereka hanya tahu cara mengambil, tanpa pernah memberi.
"Gue nggak bisa diem aja," gumam Bahar akhirnya.
"Lo mau lawan dia?" tanya Edi, sedikit terkejut.
Bahar mengangguk pelan. "Bukan buat gue. Tapi buat orang-orang di sini. Gue udah ninggalin dunia itu, tapi gue nggak bisa ninggalin mereka."
Edi tersenyum miring. "Gue udah duga jawaban lo bakal kayak gitu."
Sebelum Bahar bisa bertanya lebih jauh, Ujang kembali datang, kali ini dengan wajah panik.
"Bang! Orang-orangnya Jafar datang!"
Bahar langsung berdiri. "Di mana?"
"Di pasar! Mereka mukulin Pak Haji Karim!"
Mendengar nama itu, Bahar langsung berjalan cepat ke arah pasar, diikuti oleh Ujang dan Edi.
---
Pasar masih basah akibat hujan, dan beberapa kios mulai menutup. Di tengah lorong pasar, tiga pria berbadan besar sedang mengerumuni seorang pria tua. Haji Karim, pemilik salah satu warung nasi, terduduk di tanah dengan wajah penuh lebam.
"Udah tua masih berani lawan kita, ya?" suara salah satu preman itu terdengar kasar.
Bahar tidak butuh waktu lama. Tanpa pikir panjang, ia maju dan langsung menarik kerah pria itu.
"Gue udah bilang, pasar ini nggak buat kalian!" geram Bahar.
Pria itu kaget sesaat, tetapi segera tersenyum sinis. "Lihat siapa yang balik... Bahar, si preman pensiun."
"Gue bukan preman lagi. Tapi kalau lo ganggu orang-orang di sini, gue nggak bakal tinggal diam."
Preman itu tertawa. "Lo pikir lo bisa lawan Jafar?"
Bahar tidak menjawab. Ia langsung menghantam wajah pria itu dengan pukulan keras. Preman itu jatuh ke belakang, sementara dua temannya langsung maju. Edi dan Ujang tak tinggal diam. Mereka ikut turun tangan.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Bahar masih seperti dulu—cepat, kuat, dan tanpa ampun. Dalam beberapa menit, ketiga preman itu sudah terkapar di tanah.
"Bilang ke Jafar," ujar Bahar sambil menatap mereka tajam. "Kalau dia mau main di sini, dia harus lewat gue dulu."
Para preman itu bangkit dengan tertatih-tatih, lalu bergegas pergi.
Haji Karim memegang lengannya yang memar. "Terima kasih, Bahar."
Bahar menghela napas. "Ini belum selesai, Pak Haji."
Dan benar saja. Malam itu, Bahar tahu bahwa ia baru saja membuka pintu menuju masalah yang lebih besar.
---
Bagian 3: Pertarungan Terakhir
Malam di Bandung semakin pekat. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangan panjang di trotoar yang basah. Bahar berdiri di depan warung kopi, menatap jalanan yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia tahu, setelah perkelahian tadi siang, Jafar tidak akan tinggal diam.
Di sampingnya, Edi menyesap kopinya dengan santai.
"Lo yakin sama keputusan lo, Har?" tanya Edi.
Bahar mengangguk. "Gue nggak bisa mundur lagi, Di. Orang-orang di pasar butuh perlindungan. Gue nggak bisa biarin Jafar seenaknya merampas rezeki mereka."
Edi tersenyum miring. "Dulu lo yang nguasain tempat ini. Sekarang lo jadi pahlawan. Ironis juga, ya?"
Bahar tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan. "Lo sama gue atau nggak?"
Edi terdiam sejenak. Lalu ia tersenyum. "Gue di sini, Har. Dari dulu gue selalu di sini."
Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, suara motor menderu keras di kejauhan. Bahar menoleh. Dari ujung jalan, beberapa motor melaju ke arah mereka. Dalam hitungan detik, sekelompok pria turun dari motor, mengelilingi warung kopi.
Di tengah mereka, seorang pria berusia sekitar 50 tahun turun dari mobil hitam yang berhenti di belakang motor-motor itu. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang penuh kebencian.
Jafar.
Ia berjalan mendekat dengan langkah santai, tangannya diselipkan ke dalam saku celana.
"Bahar..." suaranya berat, penuh nada ancaman. "Gue dengar lo udah pensiun. Tapi kenapa lo masih ikut campur urusan gue?"
Bahar tetap berdiri tenang. "Ini bukan urusan lo, Jafar. Pasar ini bukan tempat lo."
Jafar tertawa kecil. "Segala tempat yang bisa ngasih gue uang, itu tempat gue."
Bahar mengepalkan tangannya. "Dulu gue emang preman, tapi gue nggak pernah ngerampas rezeki orang kecil. Lo nggak punya hak buat nyusahin mereka."
Jafar mendekat, kini hanya berjarak beberapa langkah dari Bahar. "Lo pikir lo siapa sekarang, Bahar? Pahlawan rakyat?"
Bahar menatapnya tajam. "Gue cuma orang yang nggak pengen liat kampung halaman gue dirusak sama orang kayak lo."
Jafar terkekeh, lalu menoleh ke anak buahnya. "Sepertinya Bahar lupa caranya tunduk."
Tanpa aba-aba, salah satu anak buah Jafar mengayunkan tongkat kayu ke arah Bahar. Tapi Bahar sudah siap. Ia menghindar dengan cepat, lalu membalas dengan pukulan keras ke rahang pria itu.
Pertarungan pun pecah.
Edi langsung terjun ke dalam perkelahian, membantu Bahar menghadapi preman-preman Jafar. Ujang, yang sejak tadi diam, ikut bertarung dengan keberanian yang baru ia temukan dalam dirinya.
Suara pukulan, teriakan, dan tubuh jatuh menggema di sepanjang jalan. Bahar bertarung dengan gesit, setiap pukulannya menghantam dengan presisi. Ia tahu, jika ia kalah malam ini, maka pasar dan orang-orang yang ia lindungi akan jatuh ke tangan Jafar.
Jafar sendiri hanya berdiri di pinggir, menyaksikan anak buahnya bertarung. Tapi ketika ia melihat Bahar berhasil menjatuhkan tiga orang sekaligus, ekspresinya mulai berubah.
Dengan wajah penuh kemarahan, Jafar maju ke depan.
"Sekarang giliran gue."
Bahar menatapnya, lalu melempar jaket kulitnya ke kursi. "Gue juga udah nunggu lo."
Kedua pria itu saling menatap, lalu dalam hitungan detik, mereka saling menerjang.
Jafar memulai dengan pukulan lurus, tapi Bahar menghindar dan membalas dengan tendangan ke perutnya. Jafar terhuyung, tapi segera bangkit dan menyerang lagi. Kali ini, ia berhasil mendaratkan satu pukulan di pipi Bahar.
Bahar merasakan darah di sudut bibirnya, tapi ia tidak mundur. Dengan cepat, ia membalas dengan siku ke rahang Jafar, lalu sebuah tendangan yang membuat pria itu jatuh tersungkur.
Jafar mencoba bangkit, tapi Bahar sudah mengunci pergerakannya.
"Gue udah kasih lo kesempatan buat pergi," ujar Bahar dengan napas memburu. "Tapi lo masih maksa."
Jafar mendengus, lalu tertawa kecil meskipun wajahnya penuh luka. "Lo pikir ini udah selesai?"
Bahar menatapnya tajam. "Kalau lo masih mau main di sini, gue bakal selalu ada buat ngelawan lo."
Jafar terdiam, lalu menatap anak buahnya yang sudah terkapar. Ia menyadari sesuatu—ia tidak lagi memiliki kuasa seperti dulu.
Dengan susah payah, ia bangkit dan meludah ke tanah. "Kita lihat aja sampai kapan lo bisa bertahan, Bahar."
Tanpa berkata lagi, Jafar memberi isyarat kepada anak buahnya untuk pergi. Motor-motor kembali meraung, membawa mereka menjauh dalam kegelapan malam.
Bahar berdiri tegap, menatap punggung Jafar yang semakin jauh. Ia tahu, ini mungkin bukan akhir. Tapi untuk saat ini, pasar dan orang-orang di dalamnya aman.
Edi menepuk pundaknya. "Lo menang lagi, Har."
Bahar tersenyum kecil. "Ini bukan soal menang atau kalah, Di. Ini soal pilihan."
Ujang, yang kini penuh lebam, tertawa kecil. "Bang Bahar emang legenda."
Bahar menggeleng. "Gue cuma orang biasa yang nggak mau masa lalu gue ngerusak masa depan orang lain."
Malam semakin larut. Pasar mulai sepi, dan udara dingin berembus pelan.
Bahar menatap langit. Ia telah memilih jalannya. Ia bukan preman lagi.
Tapi jika ada yang mencoba merusak kedamaian di tempat ini... ia akan selalu siap untuk berdiri di garis depan.
TAMAT