Seperti biasa aku mendorong gerobak bakso keliling yang setiap sore, mendorong gerobak biruku menyusuri gang-gang sempit kota ini. Langit mulai berwarna jingga ketika aku berhenti di depan sebuah gang kecil yang sepi, tempat di mana biasanya ada beberapa pelanggan tetap yang menyukai bakso buatanku.
Hari ini, suasana lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, anak-anak kecil berlarian di sekitar, suara obrolan tetangga bersahutan dari rumah ke rumah, tapi sekarang hanya ada angin yang bertiup pelan, membawa bau tanah yang baru disiram hujan sore tadi. Aku menyalakan lampu kecil di gerobakku dan mulai bersiap-siap.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dari dalam gang. Tubuhnya tinggi kurus, wajahnya pucat seolah tidak pernah terkena matahari, dan matanya… matanya cekung dalam seperti lubang yang ingin menelanku hidup-hidup. Ia mengenakan jaket lusuh, celana panjang yang terlalu besar untuk tubuhnya, dan sepatu yang penuh lumpur kering.
"Ada bakso, Bang?" suaranya pelan, tapi cukup jelas di tengah keheningan.
Aku mengangguk, berusaha bersikap biasa. "Ada, Mas. Mau yang biasa atau pakai tetelan?"
Ia tidak menjawab, hanya menatapku lama, sebelum akhirnya berkata, "Banyakin kuahnya."
Tanganku bergerak cepat, memasukkan bakso ke dalam mangkuk, menambahkan kuah panas, lalu menyerahkan mangkuk itu kepadanya. Saat ia menerima mangkuk itu, aku melihat sesuatu yang aneh—jari-jarinya terlalu panjang, seolah tidak wajar untuk ukuran manusia. Kukunya juga tampak lebih gelap dari seharusnya, seperti terbuat dari arang.
Ia makan dalam diam. Suapan demi suapan, tanpa ekspresi, tanpa suara. Aku merasa gelisah, tapi berusaha mengabaikannya. Sampai akhirnya, ia menoleh kepadaku dan berkata, "Baksonya enak… seperti yang dulu."
Dulu? Aku mengerutkan kening. "Maksudnya, Mas?"
Ia tidak menjawab.
Aku hanya bisa berdiri diam, menunggunya menyelesaikan makanannya. Tapi saat ia menyerahkan kembali mangkuknya, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Mangkuk itu… kosong. Tidak ada sisa kuah, tidak ada potongan bakso, bahkan tidak ada jejak minyak di permukaannya. Seperti baru saja dicuci bersih.
Aku menelan ludah, tapi mencoba tetap tenang. "Mas, ini uangnya?" tanyaku, mencoba mengakhiri transaksi ini secepat mungkin.
Ia tersenyum—senyum tipis yang membuat bulu kudukku berdiri. "Aku sudah bayar… waktu itu."
Aku tidak mengerti.
Pria itu berbalik, berjalan perlahan ke dalam gang. Langkahnya tidak menimbulkan suara di atas tanah basah. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, sampai akhirnya ia menghilang di balik bayangan gelap gang itu.
Aku mendesah, merasa aneh dengan kejadian tadi, tapi mencoba mengabaikannya. Aku memeriksa laci uang, memastikan semuanya masih ada. Tapi saat aku menarik napas panjang, aku mencium sesuatu.
Aroma anyir.
Bukan dari gerobakku.
Dari mangkuk yang tadi ia kembalikan.
Dengan tangan gemetar, aku melihat ke dalamnya sekali lagi. Kini, mangkuk itu tidak lagi kosong. Ada sesuatu di dalamnya.
Potongan kuku hitam.
Aku mundur selangkah, jantungku berdebar keras. Lalu aku melihat sesuatu yang lebih buruk—mangkok-mangkok lain di dalam gerobakku.
Semua kosong. Semua bersih.
Tapi di dasarnya… ada potongan-potongan kecil yang tampak seperti serpihan gigi manusia.
Aku membuang mangkuk itu ke tanah, tubuhku bergetar. Tidak mungkin. Aku hanya seorang tukang bakso. Tidak mungkin. Ini pasti cuma imajinasiku.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghapus keringat dari dahiku. Lalu aku mendengar suara dari dalam gang.
"Baksonya enak… seperti yang dulu."
Suara itu bergema di kepalaku, berulang-ulang, hingga aku tak lagi yakin apakah aku yang mendengar… atau aku yang mengatakannya.
Aku menoleh ke gerobakku.
Mangkuk-mangkuk itu tetap kosong.
Tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membeli daging untuk bakso.