Ayla Larasati menatap gedung SMA barunya dengan napas yang sedikit tertahan. Sekolah ini jauh lebih besar daripada SMP di desanya, dan ia merasa seperti orang asing di dunia baru. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sedang berlangsung, dan Ayla duduk di bawah tenda bersama para siswa lainnya.
Di sebelahnya, Dila, sahabatnya, menatapnya penuh semangat. "Ayla, kita harus tetap bersama, ya!" katanya.
Ayla hanya tersenyum kecil. Ia bukan tipe yang mudah beradaptasi, tetapi setidaknya ia punya Dila. Namun, harapan mereka pupus saat pembagian kelas diumumkan. Nama Ayla tidak muncul di daftar mana pun, membuatnya panik.
“Jangan-jangan aku salah masuk sekolah?” pikirnya.
Namun, seorang guru menjelaskan bahwa namanya ada di kelas IPA 2. Salah seorang anggota OSIS, Kak Vino, yang ternyata kakak kelasnya di SMP, mengantarnya ke kelas.
Kelasnya ramai dan sedikit pengap. Satu-satunya bangku kosong berada di belakang. Ayla duduk di sana, mencoba membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Sayangnya, Dila berada di kelas lain. Itu membuatnya sedikit kesepian.
Saat jam istirahat, Ayla dan Dila janjian untuk ke kantin bersama. Saat mereka tiba, kantin masih sepi, hanya ada seorang laki-laki yang duduk sendirian.
“Kakak kelas, ya?” bisik Dila.
Ayla mengamati laki-laki itu. “Kayaknya seumuran kita.”
Mereka pun menyapanya. Laki-laki itu bernama Virgo, dan obrolan mereka mengalir begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Virgo yang membuat Ayla merasa nyaman.
Dila, yang dikenal suka tantangan, tiba-tiba berkata, “Ayla, dalam enam bulan kamu harus bisa bikin Virgo jadi pacarmu.”
Ayla tertawa kecil. “Gila, Dil. Aku bahkan nggak kenal dia.”
Tapi tantangan itu akhirnya menjadi sesuatu yang ia pikirkan. Sayangnya, Virgo ternyata sangat pendiam dan tertutup. Meski pernah ngobrol, setiap kali bertemu di lorong sekolah, ia seolah tidak mengenal Ayla.
Suatu hari, kelas Ayla mendadak riuh. Beberapa siswi berkerumun di sekitar seseorang.
“Itu Reyvano, ketua kelas kita,” bisik seorang teman sekelasnya.
Ayla tidak terlalu peduli. Namun, suatu hari, saat jam istirahat kedua, ia dikejutkan oleh Reyvano yang tiba-tiba mendatanginya.
“Kamu punya nomor HP?” tanyanya.
Ayla menggeleng. Ia belum punya HP. Namun, sejak saat itu, Reyvano mulai sering mengajaknya mengobrol. Mereka juga sering bersama dengan Riko dan Fira, membentuk lingkaran pertemanan yang erat.
Ayla akhirnya berhasil menabung untuk membeli HP, agar tidak lagi ketinggalan dalam pelajaran dan komunikasi. Persahabatan mereka semakin kuat, meski Ayla sering menjadi sasaran sindiran dan bully-an karena kedekatannya dengan Reyvano.
Suatu hari, tanpa sepengetahuan Ayla, sepupunya iseng mengirim pesan kepada Reyvano dari HP barunya.
Ayla suka sama kamu.
Ayla baru tahu setelah Reyvano tiba-tiba mengajaknya bicara di kelas yang sepi.
“Ayla, aku suka kamu,” katanya serius.
Ayla terdiam. Itu terlalu mendadak. Apakah ini serius?
“Kalau kamu nggak percaya, aku bisa ulangi,” katanya lagi.
Ayla akhirnya menerima perasaan Reyvano, tetapi dengan beberapa syarat: hubungan mereka harus dirahasiakan, dan jika salah satu dari mereka tidak lagi mencintai yang lain, harus segera mengatakannya.
Mereka mulai berpacaran secara diam-diam. Ayla masih belajar memahami cinta, sementara Reyvano menunjukkan perhatian yang lebih dari sebelumnya.
Namun, lima hari kemudian, di taman sekolah, Reyvano berkata, “Ayla, aku nggak mencintaimu. Aku cuma kasihan.”
Dunia Ayla seakan runtuh.
Ia menarik napas panjang, menahan sakit di dadanya. Lalu, dengan suara tenang, ia berkata, “Baik, kita putus.”
Tanpa menunggu reaksi dari Reyvano, ia berbalik dan pergi. Hujan mulai turun, seolah memahami perasaannya.
Setelah itu, Ayla menjaga jarak dari Reyvano. Namun, karena mereka masih satu kelas, interaksi tak bisa dihindari.
Saat kerja kelompok di rumah Reyvano, seseorang bercanda bahwa mereka adalah pasangan. Ayla hanya diam. Reyvano menatapnya, seolah merasa bersalah.
Waktu berlalu, dan mereka naik ke kelas dua, lalu kelas tiga. Ayla berubah. Ia menjadi lebih pendiam, lebih fokus pada pelajarannya, dan tak lagi terlalu peduli dengan omongan orang.
Reyvano, di sisi lain, beberapa kali meminta mereka kembali bersama.
“Kalau kamu nggak cinta, kenapa kamu selalu datang lagi?” pikir Ayla.
Kadang, Reyvano menunjukkan rasa cemburu ketika Ayla dekat dengan laki-laki lain. Tapi bagi Ayla, itu sudah tidak penting lagi.
Ujian nasional pun tiba, dan hari perpisahan sekolah menjadi saat terakhir mereka bersama di SMA. Ayla dan Reyvano duduk bersebelahan, tetapi tidak berbicara satu sama lain.
Setengah tahun kemudian, mereka benar-benar berpisah. Ayla melanjutkan kuliah dengan beasiswa, sementara Reyvano memilih kota lain yang jaraknya lebih dari sepuluh jam perjalanan.
Di pertemuan terakhir mereka, tidak ada kata-kata perpisahan. Mereka hanya memilih untuk berjalan di jalan masing-masing.
Di kemudian hari, saat mengingat Reyvano, Ayla bertanya-tanya, Apakah dia pernah benar-benar mencintaiku?
Tapi kemudian, ia tersenyum. Itu tidak lagi penting.
Kini, ia memiliki kehidupan baru, seseorang yang mencintainya, dan masa depan yang harus ia kejar. Masa lalu tetap ada di hatinya, tapi hanya sebagai kenangan.