Bagian 1: Awal Kebencian
Aku selalu percaya kalau seseorang yang paling kita benci adalah orang yang paling ingin kita hindari selamanya. Tapi hidup ternyata suka bermain-main dengan kita.
Dan aku? Aku dipermainkan dengan cara yang paling konyol.
Namaku Livia, seorang siswi kelas 11 di salah satu SMA di Jakarta. Hidupku awalnya baik-baik saja sampai aku bertemu dengan seseorang yang benar-benar merusak hari-hariku. Namanya Reza, cowok paling menyebalkan yang pernah ada di muka bumi.
Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi dia selalu mencari cara untuk membuatku kesal setiap hari.
“Eh, Livia! Kenapa jalan buru-buru? Takut aku isengin lagi?” suara khas Reza menggema di lorong sekolah.
Aku mendengus kesal dan mempercepat langkah. Tapi tentu saja, dia tidak akan membiarkanku lolos begitu saja.
“Astaga, tumben nggak marah-marah. Lagi sakit, ya?” godanya sambil berjalan sejajar denganku.
Aku berhenti, menoleh dengan tatapan tajam. “Reza, kalau hidup kamu terlalu membosankan, cari hiburan lain selain gangguin aku, deh.”
Dia hanya terkekeh kecil. “Nggak bisa. Soalnya hiburan paling menarik itu ya… kamu.”
Aku hampir saja melempar tas ke wajahnya kalau saja bel masuk tidak berbunyi.
---
Sejak awal semester ini, aku selalu menjadi target kejahilannya. Mulai dari hal kecil seperti menyembunyikan bukuku, menaruh capung di tasku, sampai hal-hal yang lebih memalukan seperti meneriakkan namaku keras-keras di kantin seolah-olah aku melakukan sesuatu yang heboh.
Aku benci dia. Sungguh, aku benar-benar benci.
Tapi entah kenapa, semakin aku membencinya, semakin sering dia muncul dalam keseharianku.
Suatu hari, aku hampir telat datang ke sekolah. Aku berlari di lorong dengan terburu-buru ketika tiba-tiba seseorang menjulurkan kakinya.
Aku tersandung. Hampir jatuh. Untung aku cepat menyeimbangkan diri.
“Hei! Siapa yang—” Aku berhenti ketika melihat Reza tertawa kecil sambil melipat tangan di dada.
“Wah, refleks kamu lumayan juga, ya.”
Aku mengepalkan tangan. “Dasar menyebalkan!”
Alih-alih takut atau merasa bersalah, dia malah tertawa semakin keras.
“Udah, jangan benci aku banget gitu, Liv. Siapa tahu nanti kamu bakal butuh aku.”
Aku mendelik tajam. “Mimpi aja kamu!”
Saat itu, aku sama sekali tidak menyadari bahwa suatu hari nanti, aku memang benar-benar akan membutuhkan dia… lebih dari yang bisa kubayangkan.
Bagian 2: Sebuah Perjalanan Waktu
Hari itu hujan turun deras. Petir menyambar-nyambar di langit, menerangi malam yang gelap. Aku baru saja pulang dari les, merasa lelah dan ingin segera tidur. Saat masuk ke rumah, aku melempar tas ke sofa, mengganti pakaian, dan langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Namun, sebelum sempat memejamkan mata, tiba-tiba listrik padam.
Aku menggerutu kesal. “Sial. Kenapa sih harus mati lampu pas lagi hujan?”
Aku meraba-raba mencari ponselku di meja samping tempat tidur. Tapi sebelum sempat menemukannya, tiba-tiba ada kilatan cahaya aneh di depan mataku. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyedot tubuhku, menarikku ke dalam pusaran yang tidak terlihat.
Jantungku berdetak kencang. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan di tenggorokan.
Lalu semuanya menjadi gelap.
---
Aku terbangun dengan kepala pusing. Rasanya seperti habis diputar-putar dalam wahana roller coaster. Dengan susah payah, aku membuka mata dan melihat sekeliling.
“Apa ini?” gumamku, bingung.
Aku tidak berada di kamarku. Aku ada di sebuah ruangan yang asing tapi terasa familiar. Tempat tidur yang lebih besar, lemari kayu yang rapi, dan… foto pernikahan yang terpajang di dinding.
Tunggu. Foto pernikahan?!
Aku terperanjat, segera bangkit dari tempat tidur dan mendekati foto itu. Ada seorang wanita dalam gaun pengantin putih dan seorang pria dengan setelan jas hitam. Wanita itu… aku?!
Aku terengah-engah. “Apa-apaan ini?”
Kakiku melemas. Jantungku berdetak kencang. Aku menatap bayanganku di cermin besar di sudut ruangan dan langsung terkejut.
Aku lebih tua.
Tubuhku bukan lagi tubuh anak SMA 17 tahun. Aku tampak lebih dewasa, mungkin pertengahan 20-an. Rambutku lebih panjang, wajahku lebih matang, dan pakaian yang kupakai… bukan piyama, melainkan baju tidur satin yang terlihat mahal.
Aku melangkah mundur, berusaha memahami situasi aneh ini.
Lalu, pintu kamar terbuka.
Seorang pria masuk dengan santai. Dia tampak menguap kecil, seperti baru bangun tidur. “Liv, kamu udah bangun?”
Aku membeku di tempat.
Pria itu… Reza.
Tapi dia bukan Reza yang kukenal. Dia tampak lebih tinggi, lebih dewasa, dengan rahang yang lebih tegas dan postur tubuh yang lebih atletis. Rambutnya sedikit berantakan, tapi entah kenapa malah membuatnya terlihat lebih menarik.
Dia menghampiriku dengan ekspresi bingung. “Kenapa kamu bengong gitu? Mimpi buruk?”
Aku mundur beberapa langkah, masih mencoba memproses semuanya. “Kamu… ngapain di sini?”
Reza mengernyit. “Hah? Ini kamar kita. Aku di sini karena aku suami kamu. Kenapa?”
Aku merasa seperti ingin pingsan.
Suami?!
Aku tertawa gugup. “Oke, ini pasti mimpi. Iya, ini mimpi aneh yang pasti terjadi karena aku terlalu stress sama kamu di sekolah.”
Aku mencubit pipiku sendiri, berharap bisa bangun dari mimpi aneh ini. Tapi rasa sakit yang menjalar membuatku sadar bahwa ini bukan mimpi.
Ini nyata.
Reza menatapku dengan tatapan heran. “Liv, kamu kenapa sih? Sejak tadi aneh banget.”
Aku mundur lagi, menabrak meja kecil di belakangku. “Ini… ini pasti lelucon. Aku nggak mungkin menikah sama kamu. Ini nggak masuk akal!”
Reza menghela napas dan menatapku dengan sabar, seolah sudah terbiasa dengan keanehanku. “Kamu lagi bercanda ya? Kita udah nikah dua tahun, masa kamu masih shock gitu?”
Aku merasa tubuhku melemas. Aku duduk di pinggir tempat tidur, memegang kepalaku yang terasa berat. Dua tahun? Bagaimana mungkin?!
“Liv…” Reza mendekat, duduk di sebelahku. Suaranya lebih lembut. “Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku.”
Aku menatap wajahnya.
Ini gila. Ini benar-benar gila. Aku masih ingat jelas betapa menyebalkannya dia di sekolah. Tapi sekarang, dia berbeda. Tatapannya lebih tenang, suaranya lebih dewasa, dan… entah kenapa, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat dadaku berdebar.
Tidak. Aku tidak boleh terpengaruh!
“Aku… aku perlu waktu,” kataku cepat, berdiri dari tempat tidur.
Reza mengangguk pelan. “Oke. Aku nggak tahu apa yang lagi kamu pikirkan, tapi aku ada di sini kalau kamu butuh aku.”
Aku menelan ludah. Sejak kapan Reza berubah jadi orang yang perhatian seperti ini?
Aku berjalan keluar dari kamar, berharap bisa mencari jawaban dari situasi absurd ini. Aku menemukan sebuah ruang tamu yang modern dan elegan. Ada banyak foto-foto pernikahan kami di dinding, termasuk beberapa foto candid di mana aku terlihat tertawa lepas di samping Reza.
Itu… aku?
Aku bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku tertawa begitu tulus di dekatnya.
Aku menarik napas panjang. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tiba-tiba berada di masa depan sebagai istri Reza, cowok yang paling kubenci di dunia?
Aku harus mencari tahu.
Bagian 3: Mengenal Reza yang Berbeda
Aku duduk di sofa, mencoba memahami situasi yang terasa seperti mimpi buruk ini. Tapi semakin lama aku berada di sini, semakin aku sadar bahwa ini nyata. Aku benar-benar berada di masa depan, sebagai istri Reza—cowok paling menyebalkan dalam hidupku.
Aku melirik ke sekeliling apartemen ini. Semuanya terasa begitu dewasa. Ada sofa besar, rak buku yang penuh dengan novel dan beberapa dokumen kerja, serta dapur minimalis yang terlihat bersih. Di meja ada dua cangkir kopi yang sepertinya sering digunakan.
Aku masih berusaha menerima kenyataan ini ketika Reza muncul dari dapur, membawa secangkir kopi dan meletakkannya di depanku.
“Nih, kamu suka kopi tanpa gula, kan?” katanya santai.
Aku menatapnya curiga. “Kamu tahu?”
Reza menaikkan alis. “Ya iyalah. Aku udah hafal semua kebiasaan kamu.”
Aku diam. Ada perasaan aneh yang merayapi dadaku. Dulu, di sekolah, Reza selalu membuat hidupku kacau. Tapi sekarang… dia tampak seperti orang yang benar-benar berbeda.
Reza duduk di sebelahku dan menyesap kopinya. “Kamu beneran nggak ingat apa-apa, ya?”
Aku menatapnya dengan serius. “Aku… aku ingat semuanya. Aku ingat kita di SMA. Aku ingat kamu selalu mengerjaiku. Aku ingat aku benci banget sama kamu.”
Reza tertawa kecil. “Iya, kamu memang benci aku dulu. Tapi kalau sekarang? Masih benci?”
Aku terdiam. Aku ingin bilang ‘iya’, tapi… aku tidak bisa.
Reza menghela napas, menatap lurus ke depan. “Dulu aku memang jahil. Aku suka gangguin kamu. Tapi… itu karena aku suka sama kamu.”
Aku menoleh kaget. “Apa?”
Reza tersenyum miring. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku selalu tertarik sama kamu. Mungkin karena ekspresi kamu selalu seru untuk dilihat. Kalau lagi marah, kalau lagi kesal… aku suka cara kamu bereaksi.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini aku berpikir kalau dia hanya iseng dan senang melihatku kesal. Tapi ternyata…
Reza melanjutkan, “Kita mulai dekat setelah SMA. Awalnya kamu masih jutek, masih sebel sama aku. Tapi lama-lama, kamu sadar kalau aku nggak seburuk itu.”
Aku menggigit bibir. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana proses itu terjadi.
Aku menarik napas dalam. “Tapi… aku benar-benar nggak ingat semua itu.”
Reza menatapku dengan tatapan lembut. “Nggak apa-apa. Aku di sini, dan aku bisa bikin kamu jatuh cinta sama aku lagi.”
Jantungku berdegup kencang.
Aku buru-buru berdiri. “Aku butuh udara segar.”
Reza tersenyum. “Oke. Aku anter, ya?”
Aku ingin menolak, tapi akhirnya aku hanya mengangguk pelan.
---
Kami berjalan di taman dekat apartemen. Malam itu udara sejuk, dan suasana di sekeliling terasa damai. Aku masih bingung dengan semua ini, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku mulai melihat Reza dengan cara yang berbeda.
Dia berjalan di sampingku, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
“Kita sering jalan-jalan ke sini, loh,” katanya tiba-tiba.
Aku melirik ke arahnya. “Serius?”
Reza mengangguk. “Kamu suka duduk di bangku itu,” katanya sambil menunjuk salah satu bangku taman. “Dan kamu selalu ngomel kalau aku lupa bawa cemilan.”
Aku tertawa kecil tanpa sadar. Entah kenapa, aku bisa membayangkan itu.
“Kamu udah mulai percaya kalau aku nggak seburuk yang kamu kira?” tanya Reza sambil melirikku.
Aku tidak langsung menjawab. Aku menatap langit, mencoba memahami perasaanku sendiri.
“Aku masih bingung,” jawabku jujur.
Reza tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Aku bakal bikin kamu inget semuanya. Dan kalau kamu tetap nggak inget… aku bakal bikin kamu jatuh cinta lagi dari awal.”
Jantungku berdebar lagi. Kenapa rasanya aku mulai menyukai versi Reza yang ini?
Bagian 4: Jatuh Cinta untuk Kedua Kalinya
Aku masih tidak percaya bahwa aku berada di masa depan sebagai istri Reza—cowok yang selama ini paling kubenci. Tapi, semakin lama aku di sini, semakin aku menyadari bahwa aku tidak bisa menganggapnya sebagai orang yang sama seperti Reza di masa SMA.
Dia berubah.
Atau mungkin… aku yang mulai melihatnya dengan cara yang berbeda?
---
Sudah beberapa hari sejak aku tiba di masa depan. Aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan yang ternyata telah aku jalani bersama Reza. Aku membaca pesan-pesan di ponselku, melihat foto-foto lama, dan memperhatikan cara Reza memperlakukanku.
Satu hal yang terus-menerus terlintas di kepalaku: aku tidak bisa menemukan sedikit pun alasan untuk membenci pria ini.
Hari ini, Reza mengajakku ke sebuah kafe. Katanya, ini adalah tempat favoritku. Aku masih merasa canggung berada bersamanya, tapi dia terlihat santai seperti biasa.
“Kamu pesan minuman favorit kamu aja,” katanya sambil menyerahkan menu.
Aku membuka menu itu dan membaca pilihan yang ada. Tiba-tiba, seorang pelayan wanita mendekat dengan senyuman ramah.
“Pesanan seperti biasa, ya, Kak Livia?”
Aku menatapnya bingung. “Seperti biasa?”
Pelayan itu mengangguk. “Iya, Kak. Kak Livia selalu pesan caramel macchiato tanpa es dan cheesecake blueberry.”
Aku terdiam. Aku bahkan tidak ingat pernah menyukai caramel macchiato.
Reza tertawa kecil. “Kayaknya kamu baru sadar banyak hal yang berubah dari kamu, ya?”
Aku meliriknya. “Aku jadi penasaran… dulu gimana caranya aku bisa mulai suka sama kamu?”
Reza tersenyum, lalu bersandar santai di kursinya. “Awalnya kamu masih kesel setiap aku deketin kamu. Tapi aku nggak pernah nyerah. Aku selalu ada buat kamu. Waktu kamu gagal masuk universitas pilihan pertama, aku yang nemenin kamu nangis semalaman. Waktu kamu sakit, aku yang jagain kamu. Lama-lama, kamu sadar kalau kamu juga suka aku.”
Aku menggigit bibir, mencoba membayangkan bagaimana perasaan itu muncul di dalam diriku.
Pelayan datang membawa pesanan kami. Aku menyesap caramel macchiato itu dengan ragu. Anehnya, aku suka.
Aku menatap Reza, yang sedang tersenyum padaku. Senyum itu terasa berbeda sekarang.
“Mungkin aku memang butuh waktu buat inget semuanya…” gumamku.
Reza mengulurkan tangannya di atas meja. “Kalau gitu, kita mulai dari awal lagi, gimana? Anggap aja kita baru pertama kali ketemu.”
Aku menatap tangannya, lalu perlahan menyambutnya. Untuk pertama kalinya sejak aku berada di sini, aku tidak merasa ingin menjauh darinya.
Mungkin… aku memang akan jatuh cinta padanya lagi.
Atau mungkin, aku sebenarnya tidak pernah berhenti mencintainya.