Hari Pertama: Malam Pertama
Aku memulai catatan ini sebagai jurnal pekerjaanku yang baru. Tidak banyak orang yang ingin menjadi penjaga kuburan, tapi bagiku, ini bukan hal yang asing. Aku pernah menjadi penjaga kuburan di kota sebagai pekerjaan sampingan, dan saat pindah ke desa ini, aku memutuskan menjadikannya pekerjaan tetap. Lagipula, siapa yang mau repot mengurus makam di tengah malam? Bayarannya cukup baik, dan yang paling penting—tidak ada bos yang rewel.
Malam ini adalah malam pertamaku bekerja di kuburan desa. Tempat ini luas, jauh lebih luas dari yang kubayangkan, dengan batu-batu nisan tua yang berdiri seperti bayangan samar di bawah cahaya bulan. Seorang penjaga senior yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun di sini memberiku instruksi sebelum memulai tugas.
Namanya Pak Surya. Seorang pria berusia sekitar lima puluhan dengan rambut mulai memutih di pelipisnya. Ia memiliki sorot mata tajam seperti seseorang yang telah melihat terlalu banyak hal aneh dalam hidupnya. Jaket kulit lusuh selalu ia kenakan, bersama dengan rokok kretek yang hampir selalu terselip di sudut bibirnya, menyebarkan aroma tembakau yang khas.
“Dengarkan baik-baik,” katanya sambil menyerahkan senter besar. “Jaga pos utama, sesekali berkeliling, dan perhatikan kalau ada makam yang rusak atau tergali.”
Aku mengangguk. Standar. Tidak jauh berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya.
“Kalau kau lihat sesuatu yang mencurigakan, segera laporkan padaku. Jangan bertindak sendiri.”
Nada suaranya agak berat, hampir seperti peringatan. Aku hanya mengiyakan, menganggapnya sebagai perbedaan atmosfer antara kota dan desa. Tempat ini memang lebih sunyi, lebih gelap, dan lebih dingin dari yang kuduga. Tak ada lampu jalan, hanya bulan yang samar menyorot celah di antara pepohonan tua.
Aku mulai dengan berjaga di pos. Sebuah bangunan kayu kecil dengan jendela menghadap ke area pemakaman. Aroma tanah basah menyengat, bercampur dengan wangi bunga sedap malam yang tertanam di beberapa sudut. Angin malam menghembus, membawa suara gemerisik dedaunan kering yang tersapu di antara nisan.
Setelah satu jam, aku berkeliling. Sepanjang perjalanan, mataku memindai nisan-nisan, memastikan tidak ada yang aneh. Beberapa makam tampak lebih tua, dengan batu nisan yang retak dan lumut menempel di permukaannya. Ada suara-suara kecil di kejauhan—serangga, mungkin. Tapi kadang-kadang, ada suara lain. Suara yang terdengar seperti... tanah yang bergerak?
Aku menenangkan diri. Mungkin hanya hewan liar.
Tapi lalu, aku melihatnya.
Di sudut pemakaman yang lebih gelap, di bawah bayang-bayang pohon besar, ada sesuatu yang menggali. Tidak seperti seseorang yang menggali dengan sekop—lebih seperti... sesuatu yang meraup tanah dengan tangan kosong. Siluetnya membungkuk, bergerak dengan cara yang tidak biasa. Jemarinya panjang, mencakar tanah dengan gerakan cepat. Napasku tertahan.
Instruksi Pak Surya terngiang di kepalaku. Jangan bertindak sendiri.
Aku mengangkat telepon dengan tangan gemetar, menekan nomor yang diberikan senior tadi. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab.
“Ada sesuatu di sini...” suaraku lebih berbisik dari yang kukira.
“Di mana?”
Aku memberitahunya lokasi. Ada jeda. Lalu, “Aku datang. Jangan bergerak.”
Aku menggenggam senter erat-erat. Cahaya bulan semakin tertutup awan. Suara cakaran tanah terus berlanjut, semakin cepat, semakin kasar. Aku bersumpah... apa pun itu, ia tidak bergerak seperti manusia. Napasku semakin berat. Udara di sekitar terasa lebih dingin. Ada desiran di telingaku, atau mungkin hanya bayanganku sendiri?
Lalu, terdengar langkah-langkah cepat dari arah jalan setapak.
Pak Surya datang, senter di tangannya menyala terang, langsung menyinari makhluk itu. Aku bersiap melihat sesuatu yang mengerikan, tapi—
“HEI!”
Suara Pak Surya menggema keras, hampir seperti raungan. Seketika, sosok itu berhenti, menoleh. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh. Kemudian, dalam satu gerakan cepat, ia berlari ke arah semak-semak dan menghilang.
Pak Surya berdiri tegak, wajahnya tetap tenang seolah ini bukan pertama kalinya terjadi. Aku menatapnya, bingung sekaligus takut.
“Apa itu tadi?” tanyaku akhirnya.
Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada datar. “Beberapa orang tidak bertanggung jawab. Kuburan di desa lebih sering jadi sasaran dukun-dukun yang mencari sesuatu.”
Aku mengangguk, mencoba memahami. Tapi... gerakan makhluk itu, cara ia menggali, bentuk tubuhnya dalam kegelapan—semuanya tidak tampak seperti manusia.
Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi melihat ekspresi Pak Surya yang enggan menjawab, aku memilih diam.
Malam pertama berlalu. Aku masih hidup.
Tapi aku tahu, ini belum berakhir.