Part 1: Pertemuan Tak Terduga
Aku tak pernah menyangka, sebuah notifikasi sederhana di layar ponsel akan mengubah hidupku.
"Terima kasih sudah membaca novelku."
Pesan itu muncul di kotak masuk aplikasiku. Aku menatapnya cukup lama. Aku memang sering membaca novel di aplikasi ini, tetapi jarang meninggalkan komentar. Siapa orang ini?
Aku mengetik balasan cepat.
"Kamu siapa?"
Balasan datang dalam hitungan detik.
"Penulis yang novel-nya kamu favoritkan semalam."
Aku langsung teringat. Novel itu memang menarik, penuh emosi, dan membuatku penasaran. Aku membaca sampai larut malam, bahkan hampir lupa waktu. Tanpa sadar, aku mengetik lagi.
"Oh! Aku suka banget sama ceritanya. Bagian ending-nya bikin deg-degan!"
Beberapa saat kemudian, balasan lain masuk.
"Kalau gitu… mau nggak aku kasih spoiler di DM? Hehe."
Aku tersenyum kecil. Orang ini terdengar ramah dan cukup percaya diri dengan tulisannya. Aku memiringkan kepala, berpikir sejenak sebelum mengetik.
"Tergoda sih, tapi nggak ah! Aku lebih suka menebak-nebak sendiri."
Dia mengetik cukup lama sebelum akhirnya sebuah pesan muncul.
"Wah, jarang lho ada pembaca kayak kamu. Biasanya pada maksa minta spoiler."
Aku terkekeh.
"Karena aku penasaran, makanya nggak mau tahu jawabannya duluan."
Aku menekan tombol kirim lalu kembali membaca profilnya. Nama penulis itu hanya tertulis sebagai "R". Tidak ada foto profil, tidak ada bio yang jelas. Hanya sebuah ikon pena kecil sebagai gambarnya.
Sosok misterius.
Dan mungkin… menarik?
Aku tidak menyadari bahwa aku sudah mengetik lebih banyak dari yang kubayangkan.
"Kamu udah lama nulis di sini?" tanyaku akhirnya.
"Baru setahun lebih sih, masih pemula."
"Ah masa? Tapi tulisanmu bagus!"
"Serius? Aku kira masih banyak kurangnya."
"Nggak kok! Aku suka cara kamu bikin tokohnya terasa hidup."
Balasannya datang lebih lambat kali ini.
"Terima kasih. Aku senang ada yang bisa menikmati ceritaku."
Aku tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa tulus, seperti seseorang yang benar-benar menghargai apresiasi kecil.
Entah kenapa, malam itu kami terus mengobrol.
Dari sekadar membahas novel, lalu merambat ke berbagai hal—tentang genre favorit, kebiasaan saat menulis, bahkan hal-hal pribadi seperti makanan kesukaan dan kebiasaan buruk.
Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan pukul 01:43 AM.
"Eh, aku ketiduran ya?"
Aku membuka mata dengan layar ponsel masih menyala. Ada satu pesan terakhir dari "R".
"Selamat tidur. Sampai jumpa di chat berikutnya :)"
Aku tersenyum sendiri. Ada sesuatu yang menghangatkan dalam percakapan tadi. Sesuatu yang belum bisa kugambarkan dengan kata-kata.
Tapi satu hal yang pasti… aku ingin berbicara dengannya lagi.
---
Part 2: Perlahan Menjadi Kebiasaan
Sejak malam itu, aku dan "R" semakin sering mengobrol.
Awalnya hanya seputar novel, lalu merambah ke hal-hal pribadi. Kami berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, impian, ketakutan, bahkan lelucon receh yang hanya kami berdua yang mengerti.
"Gimana kalau kita buat cerita bareng?" tulisku suatu hari.
"Hah? Maksudnya?"
"Kita nulis bareng! Kamu bikin tokoh cowok, aku bikin tokoh cewek. Kita gantian nulis POV-nya."
Aku menunggu balasan, berharap dia tidak menganggap ideku aneh.
Beberapa menit kemudian, dia menjawab.
"Menarik. Tapi… aku takut kalau gaya nulis kita nggak cocok."
"Coba dulu aja, siapa tahu malah jadi cerita bagus."
Dia tidak membalas untuk waktu yang cukup lama. Aku mulai merasa mungkin dia kurang nyaman dengan idenya. Namun akhirnya, sebuah pesan muncul.
"Baiklah. Tapi kalau jelek, kamu yang tanggung jawab ya? Haha."
Aku tersenyum.
"Siap! Kalau bagus, kita unggah di aplikasi ini!"
Sejak saat itu, kami mulai menulis bersama. Setiap malam, kami bertukar ide, mengembangkan alur, dan menciptakan dunia kecil di balik layar.
Semakin lama, aku merasa semakin dekat dengannya.
Aku tahu aku tidak seharusnya terlalu terikat pada seseorang yang bahkan belum pernah kutemui.
Tapi hati… memang tidak bisa dibohongi.
Aku mulai menantikan setiap pesan darinya. Setiap percakapan kecil terasa istimewa.
Dan tanpa kusadari… aku mulai jatuh hati.
---
Part 3: Kenyataan yang Tidak Kuduga
Suatu hari, aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
"R, kita udah ngobrol lama… tapi aku belum tahu namamu."
Dia diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab.
"Maaf ya. Aku nggak bisa kasih tahu sekarang."
Aku terdiam. Ada rasa kecewa, tetapi aku mencoba memahami.
"Kenapa?" tanyaku akhirnya.
Dia tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat tanda bahwa dia sedang mengetik, tapi pesannya tak kunjung muncul.
Setelah beberapa menit, akhirnya dia mengirim pesan.
"Karena kalau aku bilang… mungkin kamu nggak akan mau bicara denganku lagi."
Hatiku mencelos.
"Apa maksudnya?"
Dia membalas dengan cepat.
"Aku takut kalau kamu kecewa setelah tahu siapa aku."
Aku menarik napas dalam-dalam. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?
"R… buatku, yang penting adalah kita bisa berbagi cerita. Identitasmu nggak akan mengubah itu."
Dia tidak membalas selama beberapa menit.
Lalu akhirnya, sebuah pesan muncul.
"Namaku Revan."
Aku menatap nama itu cukup lama.
"Nama yang bagus," balasku.
Aku berharap dengan itu, dia merasa lebih nyaman. Tapi entah kenapa, firasatku mengatakan ada sesuatu yang lebih besar yang masih belum dia katakan.
Dan aku benar.
Malam itu, sebelum tidur, dia mengirim satu pesan terakhir.
"Ada sesuatu yang harus aku bilang. Tapi… nanti, ya?"
Hatiku berdebar.
Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku?
To be continued…
---
Part 4: Rahasia di Balik Nama Itu
Sejak malam itu, Revan menjadi lebih pendiam. Dia masih membalas pesanku, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda.
Aku mencoba tidak memaksanya, tetapi rasa penasaran dalam diriku semakin membesar.
Akhirnya, suatu malam, aku memberanikan diri bertanya lagi.
"Revan, kamu baik-baik aja?"
Dia membalas singkat.
"Iya. Kenapa tanya begitu?"
"Aku merasa kamu berubah. Ada yang kamu sembunyikan dariku?"
Beberapa saat tidak ada jawaban.
Lalu akhirnya, sebuah pesan muncul.
"Aku takut kalau aku bilang, kamu nggak akan mau bicara denganku lagi."
Aku mengerutkan kening.
"Revan, buatku kamu tetap sama. Aku nggak akan pergi cuma karena tahu sesuatu tentangmu."
Aku menunggu cukup lama sampai akhirnya dia mengetik sesuatu yang panjang.
Pesannya membuat jantungku hampir berhenti.
"Aku sebenarnya bukan orang yang kamu pikirkan. Aku… adalah kakak laki-lakimu, Rana."
Dunia seakan berhenti berputar.
Kakakku sendiri?
Aku menatap layar ponsel, tidak tahu harus berkata apa.
Revan—atau Rana—adalah kakakku yang sudah bertahun-tahun tidak pulang. Kami tidak pernah akrab, dan aku bahkan hampir melupakan keberadaannya.
Dan kini… orang yang selama ini membuatku tertarik ternyata adalah dia.
Hatiku terasa kosong.
Bagaimana aku harus merespons ini?
---
Part 5: Luka yang Tak Terduga
Jantungku berdetak kencang. Aku menatap layar ponsel tanpa tahu harus bereaksi bagaimana.
Rana…? Kakakku sendiri?
Orang yang selama ini kubayangkan sebagai sosok misterius, yang membuatku tertarik, ternyata adalah keluargaku sendiri.
Aku merasa aneh, campuran antara kecewa, marah, dan bingung.
"Jadi… selama ini kamu menyembunyikan identitasmu?" tulisku, jemariku gemetar.
Butuh beberapa menit sebelum dia menjawab.
"Iya. Aku nggak tahu harus bilang dari awal atau nggak. Aku takut kamu bakal membenciku."
Aku mengertakkan gigi.
"Kenapa? Kenapa kamu nggak bilang lebih awal?"
Dia membalas dengan cepat.
"Karena aku nggak mau kamu membenciku lagi."
Aku terdiam.
Kami memang tidak pernah akrab. Rana pergi dari rumah sejak aku SMP, meninggalkan aku dan orang tua tanpa kabar selama bertahun-tahun. Kami hanya mendengar desas-desus bahwa dia tinggal di kota lain, tetapi tidak pernah tahu pasti.
"Kenapa kamu menghilang?" tanyaku akhirnya.
Balasannya datang cukup lama.
"Karena aku merasa bukan bagian dari keluarga itu lagi."
Aku menggigit bibir.
"Kamu yang pergi. Kamu yang ninggalin kami. Lalu sekarang kamu muncul lagi dengan identitas lain?"
"Aku nggak berani balik. Aku pikir kalau aku mulai dari nol, aku bisa punya hubungan denganmu tanpa kebencian itu."
Hatiku mencelos. Aku tidak tahu harus merasa apa.
Aku mengetik, lalu menghapus. Berulang kali.
Akhirnya, aku hanya bisa menulis satu hal.
"Aku butuh waktu."
Dan setelah itu, aku tidak membuka chat darinya selama berhari-hari.
---
Part 6: Memaafkan atau Melupakan?
Sudah seminggu sejak percakapan terakhir kami.
Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca novel lain, sibuk dengan tugas kuliah. Tapi tetap saja, pikiranku terus kembali ke Revan—atau Rana.
Hati kecilku tahu, aku tidak bisa selamanya menghindarinya.
Akhirnya, aku mengumpulkan keberanian untuk membuka chat-nya lagi.
Ada banyak pesan tak terbaca.
"Maaf."
"Aku nggak bermaksud menipumu."
"Aku ngerti kalau kamu butuh waktu."
"Kalau kamu nggak mau bicara lagi, aku ngerti."
Aku menarik napas panjang, lalu mengetik balasan.
"Aku nggak tahu harus marah atau lega."
Pesan terkirim, dan dalam hitungan detik, dia sudah mengetik balasan.
"Aku juga nggak tahu harus ngomong apa."
Aku menghela napas.
"Kenapa sekarang?" tanyaku.
Dia lama mengetik sebelum akhirnya menjawab.
"Karena aku rindu keluargaku. Rindu kamu."
Aku menggigit bibir.
"Kalau kamu rindu, kenapa nggak pulang?"
Dia membalas dengan cepat.
"Aku takut ditolak. Takut kalian nggak mau menerimaku lagi."
Aku terdiam lama.
Lalu akhirnya aku mengetik sesuatu yang bahkan aku sendiri tak yakin akan jawabannya.
"Datanglah."
Pesannya terbaca, tapi dia tidak langsung membalas. Aku bisa membayangkan dia juga berjuang dengan perasaannya.
Lalu akhirnya, sebuah pesan muncul.
"Aku akan pulang."
Aku menarik napas dalam-dalam.
Mungkin ini bukan tentang membenci atau memaafkan.
Tapi tentang menerima bahwa seseorang bisa berubah.
Dan aku… siap untuk itu.
---
TAMAT