19 Maret 2024
Pagi ini mendung. Langit seperti lapisan abu-abu kusam yang menekan gedung kampus. Aku sempat melihat berita sebelum berangkat: seorang pria ditemukan tewas di apartemennya, diduga karena overdosis. Kasus biasa. Aku menyeruput kopi instan yang rasanya lebih mirip air cucian piring dan berangkat. Hidup mahasiswa forensik memang penuh glamor.
Saat aku tiba, tugas sudah menanti. Sebuah mayat baru saja diterima pagi tadi, dan aku serta beberapa teman diberi tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan awal. "Semoga ini bukan kasus aneh lagi," selorohku pada Reza. Dia hanya tertawa kecil, meski wajahnya tampak kurang sehat sejak tadi.
Temanku, Reza, sedikit kesulitan saat melakukan prosedur standar. Tangannya gemetar, wajahnya pucat. "Kebanyakan begadang, ya?" tanyaku. Dia mengangkat bahu. "Mungkin." Aku tidak yakin. Mungkin karena kurang tidur. Atau sesuatu yang lain.
Dika, teman lainnya, tampak lebih bersemangat. Dia selalu begitu—selalu bisa menemukan humor dalam situasi yang tidak seharusnya. "Ayo cepat beresin ini. Aku masih ada janji makan malam. Bukan dengan mayat, tentu saja." Dia tertawa sendiri. Aku hanya menggeleng.
Aku menyelesaikan bagianku tanpa kendala berarti. Setelah itu, saatnya membawa mayat ke basement. Reza terlihat lebih buruk sekarang. Mukanya semakin pucat. Aku menawarkan diri untuk melakukannya sendiri, tapi Dika bersikeras membantu. "Biar cepat beres," katanya.
Kami mengangkat mayat itu bersama. Aku di bagian kaki, Dika di kepala. Lorong ke basement sunyi. Lampu kedap-kedip, atau mungkin hanya mataku. Ada suara langkah di belakang kami. Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Dika tidak bereaksi, jadi mungkin hanya perasaanku.
Sampai di kamar mayat, aku membuka salah satu loker pendingin. Uap dingin menguar, menyentuh kulit seperti jari-jari yang tidak terlihat. Bau antiseptik bercampur sesuatu yang lain, sesuatu yang basah dan tua. Bukan masalah. Seharusnya bukan masalah.
Kami mengangkat mayat itu untuk memasukkannya ke dalam loker. Kepala lebih dulu. Aku menghitung dalam hati. Satu. Dua. Tiga. Masukkan—
Loker yang terbuka tiba-tiba menutup sendiri. Tidak keras. Pelan. Halus. Seperti ada tangan dari dalam yang menariknya. Aku berkedip. Tidak. Tidak mungkin.
Sesuatu jatuh.
Mayat itu.
Kepala lebih dulu.
Aku membeku. Aku melihat Dika. Wajahnya… Wajahnya tidak seperti biasanya. Mata membelalak, mulut setengah terbuka, seperti mencoba berbicara tetapi kehilangan kata-kata. Aku mengikutinya. Tatapannya. Ke mayat.
Aku tidak melihat apa pun yang aneh.
Aku tidak melihat.
Dika melihat sesuatu. Aku tidak.
Lalu, sekejap kemudian, dia kembali normal. Bergegas membantu mengangkat mayat itu kembali, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah tadi dia tidak tampak seperti seseorang yang baru melihat neraka sekilas.
Aku membantunya. Aku ingin bertanya, tapi tidak jadi. Aku ingin melihat ke dalam loker sebelum menutupnya, tapi tanganku bergerak lebih cepat dari pikiranku, menutupnya dengan suara besi beradu yang tajam.
Selesai. Seharusnya selesai.
Dika masih pucat. Aku juga. Tapi dia lebih buruk. Dia bilang dia baik-baik saja. Aku ingin percaya. Tapi aku tidak bisa.
Malam ini aku tidak ingin tidur.