Bab 1 - Stranger in My DM, Now in My Head
Gue nggak pernah nyangka sih, hidup gue bakal seaneh ini.
Maksud gue… siapa juga yang mikir, jam 2 pagi iseng scroll-scroll app random, nemu orang asing dari negara entah di mana, terus malah jadi rutinitas tiap malem?
Namanya Alejandro. Tapi dia nggak suka dipanggil lengkap gitu, katanya terlalu formal. “Call me Ale,” gitu katanya waktu pertama kali kita chat. Gue sempet mikir, orang mana sih namanya kayak di drama-drama. Ternyata beneran—Spanyol, men.
Gue 15, dia? 28. Tapi sumpah, vibe-nya nggak kayak om-om. Lebih ke cowok-cowok Instagram yang suka pake kemeja digulung setengah lengan, rambut klimis, senyum miring. Tipe-tipe yang kalo di kelas pasti jadi ketua OSIS, terus semua cewek naksir tapi nggak berani deket.
Gue nggak ngerti kenapa dia nge-reply chat gue waktu itu. Mungkin karena profile pic gue yang keliatan innocent, atau maybe dia juga lagi bosan jam segitu.
Awalnya awkward banget. Gue cuma bisa bahasa Inggris setengah-setengah, dia pun kadang slip bahasa Spanyol dikit-dikit. Tiap dia ngomong cepat, gue kayak, “Wait… what?” trus ketawa sendiri sambil googling kata-katanya. Dia ketawa juga, ngetik:
"You’re cute when confused."
Anjir, gombalan Eropa tuh beda level, bro.
---
VC pertama kali tuh deg-degan abis.
Gue liat layar, dia ngusap rambutnya, duduk di kamar yang dindingnya penuh poster—kayak cowok umur 21-an, bukan late twenties. Dia senyum, matanya agak sipit waktu itu, terus ngomong:
"Hola, pequeña."
Jujur, gue nggak tau artinya apa, tapi tone dia tuh lembut, bikin dada gue aneh sendiri. Malem-malem gue sampe mikir, ini beneran ya? Gue video call sama orang Spanyol, dia senyum-senyum ke gue kayak gitu?
---
Tiap malem jadi habit.
Gue: ngumpet di kamar, pasang headset, nunggu dia online.
Dia: selalu nanya, "How was your day, princesa?" trus nyeritain hari dia juga. Kadang pake bahasa Inggris, kadang dia lupa, ngomong cepet pake bahasa dia. Gue cuma bisa nebak-nebak sambil ngakak. Kadang dia ngajarin gue dikit-dikit.
Gue jadi tau, buenas noches itu selamat malam. Gue juga tau gimana ngucapin te extraño—walaupun awalnya gue nanya itu artinya apa, dia cuma senyum sambil bilang,
"You'll understand when you miss me."
---
Tapi, ya… makin lama, makin mikir.
Beda usia segini jauh, beda negara, cuma modal wifi sama kamera HP. Kadang suka kepikiran, "Apa dia beneran serius? Atau cuma iseng main-main sama bocah kayak gue?"
Gue tau orang-orang di luar sana bilang, virtual relationship tuh nggak nyata. Tapi gimana kalo rasanya lebih nyata dari semua yang gue punya di sini?
Jam 3 pagi, sebelum tidur, dia suka bisik di call,
"Sleep well, pequeña. Dream of me."
Dan anehnya, gue emang mimpiin dia.
Bab 2 - Is This Even Real?
Hari itu gue bangun agak siang, mata masih berat karena semalem kelamaan ngobrol sama Ale. Kayak biasa, buka HP dulu sebelum apa-apa, cek notif…
Nggak ada.
Biasanya tiap pagi dia udah ninggalin satu chat, entah cuma "Good morning, pequeña," atau sekedar sticker random. Tapi hari itu kosong.
Gue scroll-scroll, ngecek kalau-kalau dia update story. Nihil juga. Gue mikir, ya udahlah, mungkin dia sibuk.
Tapi dasar kepala gue, makin nggak ada kabar, makin banyak mikir.
"Mungkin dia bosen."
"Mungkin dia lagi chat cewek lain."
"Maybe gue childish banget buat dia."
Udah gitu, bedanya 13 tahun, men. Kadang gue ngerasa kayak anak kecil yang lagi sok asik di dunia orang dewasa.
Gue scroll chat kita semalem-semalem, baca ulang obrolan random kita. Dari ngebahas makanan favorit, sampe dia ngajarin gue bilang "te quiero" dengan aksen Spanyol-nya yang bikin melting.
Tapi tiba-tiba semua chat itu malah bikin dada gue sesak.
Gue ketik:
"Hey, u okay?"
Ditunggu. Centang satu.
Nggak dibales.
---
Malamnya, biasanya dia udah online, udah nge-VC ngajak ngobrol ngalor ngidul. Tapi malam itu kosong. HP gue masih gue pegang terus, tiap lima menit ngecek notif kayak orang bego.
Jam udah nunjukkin hampir jam 2, mata gue udah merah karena nahan ngantuk, tapi gue masih nunggu.
Akhirnya, pas gue udah mau nyerah, notif muncul.
Alejandro:
"Sorry, pequeña. Rough day."
Gue langsung bales:
"It’s okay. U wanna talk about it?"
Dia lama nggak jawab, tapi pas akhirnya dia call, suara dia agak berat. Nggak kayak biasanya yang santai.
"Just... life stuff," katanya singkat, terus diem.
Gue nggak maksa. Gue cuma dengerin napas dia di ujung sana, nunggu dia ngomong lagi.
Beberapa menit kemudian, dia nyelipin:
"You’re too young to hear my boring problems."
Gue ketawa kecil, tapi dalam hati nyesek.
Kenapa umur gue selalu jadi batasan? Padahal bukannya hubungan tuh soal connect nggak sih?
Gue pengen bilang, gue nggak peduli berapa umur dia. Tapi, lidah gue kelu.
---
Abis call itu, gue tidur nggak nyenyak. Besoknya, mood gue ancur. Lagi makan sama mama aja, kepala gue di tempat lain. Gue mikirin Ale, mikirin apakah hubungan kita emang cuma buat iseng.
Gue buka chat lagi, mikir lama. Akhirnya gue ngetik:
"Do u think what we’re doing is stupid?"
Nggak langsung dia bales. Hampir sejam kemudian, notif bunyi:
Alejandro:
"No. But sometimes I wonder… how long can we keep this up?"
Gue diem. Rasanya kayak dihantem pelan-pelan. Gue ngetik, hapus, ngetik lagi.
Akhirnya cuma gue bales:
"Yeah. Me too."
---
Malamnya, sebelum tidur, gue tiduran sambil mikir:
Emang bener, ya? Semua ini mungkin cuma sementara. Virtual relationship kayak kita, berapa persen sih yang beneran jadi nyata?
Tapi entah kenapa, walaupun gue tau ending-nya mungkin nggak ideal, gue tetep nggak bisa lepas.
Karena saat semua orang di dunia nyata sibuk sama urusan mereka, satu-satunya orang yang nge-check up gue tiap hari… ya, dia.
Alejandro.
Bab 3 – "What If I Fly There?"
Hari itu biasa aja sebenernya. Gue baru kelar makan siang, sambil scroll HP, nunggu Ale reply.
Dia lagi rada slow bales, katanya sibuk kerjaan. Gue udah mulai kebiasa, sih. Lagian emang beda zona waktu banget, kadang dia masih kerja pas gue udah rebahan.
Tapi tiba-tiba, notif masuk.
Alejandro:
"Hey… pequeña, I’ve been thinking."
Gue bales:
"About?"
Dia nggak langsung jawab. Lama. Gue udah mikir, jangan-jangan mau bilang dia bosen lagi.
Terus notif bunyi lagi.
"What if… I fly there?"
Gue diem.
Bener-bener diem.
Baca chat itu ulang-ulang, takut salah baca. Tapi jelas banget.
"Wait, what do u mean?" gue bales.
Dia reply cepet kali ini:
"I wanna meet you. For real."
Jantung gue auto kebut-kebutan. Nggak tau harus ketawa, panik, atau langsung nelen HP gue sendiri. Gue sempet mikir, ini prank? Tapi knowing Ale, dia bukan tipe orang yang asal becanda soal beginian.
---
Gue ngetik:
"You serious??"
Dia bales:
"Yeah. I know it’s crazy. But I wanna see you, pequeña. In your country, your city. Meet you face to face."
Gue duduk, mata nggak lepas dari layar. Rasanya kayak dunia berhenti sebentar.
Gue 15, men. Gue tinggal di kampung kecil, nggak pernah keluar negeri, nggak pernah juga kepikiran ada cowok Spanyol mau terbang ribuan kilometer cuma buat ketemu gue.
Gue bales:
"Ale… are you sure? I mean, I’m just…"
Gue bingung mau ngetik apa. "I'm just a kid" rasanya pengen banget gue tulis, tapi berat di lidah.
Dia bales lagi, agak panjang.
"I don’t care how old you are. You’re not ‘just’ anything. I’ve talked to a lot of people, but with you… it feels real. I wanna see that smile not just through my screen."
Gue baca chat itu, tangan gue literally gemeteran.
Pikiran gue kemana-mana.
Kalau beneran dia dateng, gimana? Gue nggak tau mau ngomong apa, gimana nyembunyiin dari keluarga, gimana jelasin ke mama kalo ada cowok bule tiba-tiba nongol nyari gue.
Gue bales pelan:
"But… are you ready for this?"
Dia reply:
"The question is… are YOU ready?"
---
Malamnya, gue nggak bisa tidur. Layar HP gue nyala terus, liatin chat terakhir dia.
Ale ngajak call, tapi gue tolak. Gue takut suara gue gemeteran di call. Takut ketahuan, gue sebenernya nggak siap.
Gue mikir, selama ini virtual aja gue udah overthinking tiap hari. Kalau dia beneran dateng… gue bakal bisa ngadepin semua nggak?
Tapi di sisi lain, ada bagian di hati gue yang deg-degan kayak mau teriak.
Karena akhirnya, semua obrolan jam 2 pagi itu bisa jadi nyata.
---
Besoknya, dia chat lagi:
"I can take a week off next month. Think about it, okay?"
Gue cuma bales:
"Let me process this."
Padahal dalem hati, gue lagi mikir keras…
Apa gue harus siapin diri buat ngadepin cowok ganteng 28 tahun asal Spanyol, yang tiba-tiba pengen ketemu cewek 15 tahun dari kampung kecil ini?
Bab 5 – Spoil Me, Baby?
Besok paginya, HP gue udah rame notif.
Dari Ale, obviously.
Alejandro:
"Wake up, pequeña. I wanna take you out today."
Gue bales sok cool:
"Where to?"
Dia langsung reply:
"Everywhere. And don’t argue. I’ll pick you up."
Gue baru sempet bales "Ok" tiba-tiba dia nambah:
"Wear something cute."
DAMN.
Gue langsung panik, buka lemari, nyari outfit paling nggak norak yang gue punya. Padahal baru kemarin ketemu, jantung gue udah kayak dikejar deadline lagi.
---
Dia jemput pake mobil sewaan.
Buka pintu buat gue, kasih senyum maut kayak biasa.
Pas gue masuk, dia sempet noleh bentar, terus bilang:
"You look adorable."
Gue cuman senyum sotoy, padahal dalem hati udah melting.
Perjalanan nggak banyak ngomong, cuma musik pelan, sesekali dia ngelirik gue, terus senyum-senyum kayak orang jatuh cinta akut.
---
Sampai di mall.
Gue kira mau sekedar jalan-jalan… EH TAUNYA, dia bawa gue ke beberapa store.
Tanpa ba-bi-bu, dia mulai ngambil barang, liat-liat baju, nanya:
"Do you like this? How about this color?"
Gue otomatis panik.
"Eh, Ale, nggak usah lah—"
Dia cuman noleh, kasih tatapan "shut up, baby" vibes sambil ketawa kecil:
"Let me spoil you, pequeña. I came all the way here, at least lemme do this."
GUE NGGAK BISA NOLAK.
Jadilah gue diem-diem senyum, nurut aja.
Sepanjang hari, dia bener-bener belanjain gue mulai dari baju, aksesoris, sampe random snacks.
---
Abis itu kita makan di café cozy.
Dia duduk di depan gue, lepas jam tangan, nyender santai sambil liatin gue makan.
"You’re so quiet today," dia goda.
Gue senyum, bales:
"Masih nggak nyangka aja. Feels unreal."
Dia ngelus tangan gue pelan di atas meja.
"It’s real, pequeña. I’m right here."
Gue hampir nggak bisa makan.
Tatapan dia bener-bener bikin gue speechless.
---
Keluar café, kita jalan ke rooftop mall.
Langit udah agak gelap, city lights di mana-mana.
Dia tiba-tiba narik tangan gue, bawa ke sudut yang agak sepi.
Gue cuma bisa diem, deg-degan, tangan dingin.
Dia berdiri deket banget, natap mata gue.
"Can I kiss you again?"
Suaranya pelan, tapi berat.
GUE NGGAK BISA NGOMONG.
Jadi gue cuma angguk pelan, nahan napas.
Tanpa banyak mikir, dia maju, tangan dia nahan pinggang gue.
Bibir dia nyentuh bibir gue—kali ini bener-bener soft, pelan, tapi dalam.
Beda banget dari kemarin di bandara. Lebih lama, lebih intense, lebih... real.
Gue ngerasa tangan dia naik ke pipi gue, elus pelan, sementara gue udah lupa dunia.
Pas dia lepas ciuman itu, dia senyum tipis:
"Told you… you’re real."
Gue bener-bener nggak bisa ngomong.
Cuma bisa nutup muka sambil ketawa malu, sementara dia narik gue lagi ke pelukan.
City lights di belakang, napas kita masih berat, tangan dia nggak ngelepasin gue.
Bab 6 – Apartment Night
Selesai belanja & makan, gue kira kita bakal pulang masing-masing.
Tapi pas kita udah turun ke parkiran, tiba-tiba dia noleh ke gue, tangannya masih ngegenggam tangan gue:
"By the way… I rented an apartment while I’m here."
Gue ngedip, agak kaget.
"Oh? Where?"
Dia senyum tipis, masukin kunci mobil:
"Not far. Wanna come over? I thought maybe… we could cook something together. Just us."
GUE NGGAK BISA JAWAB.
Cuma angguk pelan, karena otak gue udah kebayang vibe-nya. Gue di apartemen bareng cowok virtual gue yang kayak mimpi aja udah bisa ketemu langsung, eh sekarang malah ngajak masak bareng!?
---
Sampai di apartemen, tempatnya minimalis tapi cozy banget. Ada balkon kecil, dapur simple, dan sofa empuk.
Dia taruh belanjaan, terus liat ke gue sambil lepas jaket:
"Make yourself comfortable, pequeña."
Gue masih awkward, berdiri di tengah ruang tamu kayak boneka.
Dia nyamperin, narik tangan gue pelan:
"Relax. This is our night."
---
Dia mulai unpack bahan-bahan masak yang tadi kita beli.
Gue bantu, buka plastik, nyusun bahan, sambil sesekali curi pandang ke dia yang lagi nyiapin panci.
Tiba-tiba, dia nyamperin dari belakang.
Tangan dia melingkar ke pinggang gue, dagunya nempel di bahu gue.
"You smell nice," bisik dia pelan.
Jantung gue auto chaos.
Gue ketawa gugup:
"Focus, Ale. We're cooking."
Dia malah ketawa, kecup pelan leher gue, ngebuat bulu kuduk gue meremang.
"I am focused," katanya, tangannya masih nahan pinggang gue erat.
---
Sepanjang masak, dia terus nempel ke gue, sesekali nyuapin bahan, nyolek-nyolek, bahkan kadang cuma diem liatin gue sambil senyum kayak anak kecil seneng dapet mainan baru.
Pas akhirnya kita selesai masak—spaghetti sama salad simple—dia narik kursi buat gue, duduk di depan gue, ngelihatin gue makan.
"I could get used to this," katanya pelan.
Gue cuman senyum, masih nggak percaya ini real.
---
Selesai makan, dia bawa piring ke dapur, terus balik lagi, duduk di sofa, pat-pat tempat di samping dia:
"Come here."
Gue jalan pelan, duduk di sebelahnya.
Tanpa banyak ngomong, dia narik gue ke pelukannya, nunduk ke leher gue lagi, nyium pelan.
"You feel like home," bisik dia.
Gue diem, ngerasain napas dia di kulit gue, tangan dia mainin jari-jari gue.
Hening, tapi nyaman.
Sesekali dia ngelus pipi gue, kecup pelan kening gue, kayak nggak mau momen itu selesai.
---
Malam makin larut, tapi nggak ada yang pengen ngomong soal pulang.
Cuma ada kita, city lights dari balkon, dan pelukan hangat dia yang nggak mau lepas.
Di kepala gue cuma satu:
"Cowok virtual gue… sekarang bener-bener nyata. Dan dia lagi meluk gue di apartemen, kayak ini semua mimpi gila."
Bab 7 – Wrapped Around You
Setelah makan malam cozy itu, kita duduk lama di sofa. Lampu apartemen cuma redup, city lights dari luar bikin bayangan lembut di wajah Ale.
Gue senderan di dada dia, tangan dia main di rambut gue.
Suasana tenang banget, cuma suara napas kita yang pelan.
Tiba-tiba dia noleh, natap gue lama, matanya serius tapi lembut.
"Come here," bisik dia.
Sebelum gue sempet nanya, dia udah berdiri, narik tangan gue.
Gue bingung, tapi nurut. Dia deketin badan gue, tangan melingkar ke pinggang.
Terus, tanpa aba-aba, dia nunduk, ngangkat gue dengan gampang kayak gue nggak ada beratnya, kaki gue otomatis melingkar di pinggang dia—kayak koala.
"Much better," katanya, senyum nakal.
Gue ketawa kecil, tapi muka udah panas. Posisi kita bener-bener dekat, muka dia cuma beberapa senti dari gue.
Tangannya nahan gue kuat, satu tangan di bawah, satu lagi di punggung gue.
Dia tatap mata gue, senyum tipis tapi intense:
"You fit perfectly here," katanya sambil nunjuk dada dia pake dagu.
Gue nyengir, masih deg-degan, tangan gue otomatis nyangkut di lehernya.
"Ale… I’m heavy, put me down—"
Dia malah ketawa pelan, dagunya geser ke leher gue, kecup pelan banget di sana.
"Never. You’re light as air. Besides…"
Dia mundur dikit, natap mata gue langsung:
"I love having you wrapped around me like this."
Gue cuma bisa diem, nahan napas.
Dia bawa gue ke dinding deket dapur, nyenderin gue di sana, masih dalam posisi koala-style, tangan dia masih di pinggang gue.
Tatapan dia makin dalam, napasnya nempel di wajah gue.
"You know…" bisik dia, suara berat tapi pelan banget.
"All those nights we talked, all those times I imagined what you’d feel like in my arms… nothing compares to this."
Gue udah nggak bisa mikir.
Dia maju, bibir dia nyentuh bibir gue—kali ini nggak buru-buru. Ciuman pelan, lama, tapi bener-bener dalam, kayak dia lagi nyelipin semua rasa rindu berbulan-bulan lewat bibirnya.
Tangan gue makin erat di lehernya, sementara dia sesekali berhenti buat bisik:
"Mi amor…"
"You’re mine tonight."
"I flew across the world just to kiss you like this."
Setiap kalimat, dia kecup pelan lagi, nahan gue makin erat.
Gue nggak tahu berapa lama kita kayak gitu—cuma suara napas berat, ciuman yang makin dalam, dan pelukan yang nggak mau lepas.
Pas dia akhirnya berhenti, nunduk ke leher gue lagi, dia bisik satu kalimat terakhir:
"I wish I could hold you forever like this."
Dan gue cuma bisa balas, napas masih susah:
"Don’t let go."
Dia ketawa kecil, kecup lagi leher gue, ngebales:
"Never."
Bab 8 – Mine to Keep
Dia masih nahan gue erat, badan gue masih melingkar di pinggangnya. Napas kita sama-sama berat, tapi nggak ada yang mau lepas.
Tiba-tiba, Ale nunduk lagi ke leher gue.
Tangan dia nahan tengkuk gue, bibirnya pelan-pelan nyium titik yang sama terus-menerus.
Gue udah mau ngomong, tapi pas dia mulai ngehisap kulit gue pelan, gue refleks nutup mata.
"Ale… you’re gonna leave a mark—" suara gue pelan, hampir bisik.
Dia ketawa kecil, suaranya nempel banget di telinga gue:
"Good."
"I want everyone to know you’re mine."
Dia terus cium di tempat yang sama, nyisain kissmark yang mulai kerasa panas di kulit.
Tangan dia pindah ke pinggang gue, nahan gue makin erat, posisi kita masih sama—gue melingkar kayak koala di badannya.
Dia angkat wajah, natap mata gue, senyum setengah puas:
"Now you’ll remember me every time you look in the mirror."
Belum sempet gue balas, dia geser posisi, pelan-pelan ngebawa gue ke arah kamar.
Langkahnya santai, tapi mata dia nggak lepas dari gue.
Pas kita masuk kamar, dia turunin gue pelan di kasur, tapi tangan dia masih nahan pinggang gue, nggak kasih celah buat kabur.
Dia nyenderin keningnya ke kening gue, napasnya pelan tapi berat.
"Lie down," bisik dia, tangannya ngebelai rambut gue.
Gue nurut, masih ngerasa jantung gue deg-degan parah.
Dia ikut duduk di samping, jari-jarinya jalan dari pipi ke dagu gue, terus turun ke leher—di tempat kissmark tadi.
"Perfect," katanya pelan, kayak lagi ngehafal tiap inci wajah gue.
Dia bungkuk, kecup pelan lagi bibir gue, kali ini lebih lambat, lebih dalam.
"You have no idea how long I waited for this," katanya di sela ciuman.
Tangan dia masih di pinggang gue, nahan gue supaya deket terus, sementara bibir dia turun lagi ke leher, nyium jejak kissmark barusan.
Dia diem sebentar, napasnya berat di kulit gue:
"You’re not going anywhere tonight."
Gue cuma bisa narik napas, tangan gue otomatis narik dia lebih deket.
Dia ketawa kecil, nyenderin dahi ke pundak gue:
"Mi pequeña… mine to keep."
---
Malam itu, nggak ada lagi jarak.
Hanya ada dia, city lights samar di luar jendela, dan momen di mana semua rasa yang cuma lewat chat & call akhirnya nyata.
Bab 9 – Morning After, Still Yours
Matahari pagi mulai masuk dari jendela apartemen, tirainya masih setengah tertutup.
Gue perlahan ngerasa ada berat di pinggang gue—lengan kuat yang melingkar, nahan gue erat.
Pas gue mulai buka mata, badan gue kerasa pegal, setiap sendi kayak habis digerakin semalaman. Kulit gue langsung sadar—nggak ada sehelai benang pun nempel di tubuh gue, cuma selimut tipis yang ngebungkus.
Gue noleh pelan.
Ale masih tidur, mukanya deket banget, napasnya pelan ngebelai pipi gue.
Rambutnya berantakan, tapi ekspresinya tenang banget, kayak anak kecil.
Gue gerak dikit, langsung ngerasa efek semalam—tubuh gue nyisain rasa hangat, pegal tapi… puas.
Semalam kayak mimpi. Dia nggak maksa, nggak melangkah terlalu jauh.
Dia cuma deketin gue, gesek badannya di gue sampai kita sama-sama gemetar, sama-sama basah keringat, tapi batas itu tetap dijaga.
Tiba-tiba tangan dia ngerespons, narik pinggang gue lebih erat.
Dia buka mata pelan, suara berat khas pagi langsung bikin lutut gue lemes:
"Good morning, mi amor…"
Gue senyum kecil, tapi masih malu banget.
Dia nyium kening gue, napasnya hangat:
"How do you feel?"
Gue cuma bisa jawab jujur:
"Sore… everywhere."
Dia ketawa kecil, tangan dia ngeusap punggung gue pelan.
"Yeah… I might’ve been a little intense last night."
Dia mundur dikit, natap mata gue serius tapi lembut:
"But I told you… I wouldn’t take what’s precious to you. Not until you’re ready."
Tangannya main di rambut gue, terus dia kecup bibir gue pelan, nggak buru-buru.
"Last night… I just wanted to feel you. All of you."
Gue nggak bisa ngomong apa-apa. Badan gue masih nempel sama dia, tiap sentuhan bikin gue lemes lagi.
Dia geser posisi, nyelimutin gue lebih erat, dagunya nyender di kepala gue.
"I could hold you like this forever."
Kita diem sebentar, cuma denger napas masing-masing.
Lalu dia bisik, suara berat tapi serius:
"After this… will you stay with me longer?"
Gue noleh, natap dia.
"What do you mean?"
Dia senyum tipis, jari telunjuknya gambar garis di bahu gue:
"I rented this apartment for a month. I want you here. Every night. Every morning."
Dia kecup lagi pundak gue, bisik pelan:
"Let me take care of you."
Jantung gue kebut lagi, tapi ada bagian dalam diri gue yang mau nurut aja.
Dia nyengir, ngelihat wajah gue yang masih merah, terus bisik:
"We don’t have to rush. I just wanna wake up with you like this… every day."
Tangan dia narik gue makin deket, bibirnya nyium bekas kissmark semalam di leher gue, bikin gue gemeter lagi.
"You’re mine now, yeah?"
Suara dia berat banget di telinga gue.
Gue cuma bisa angguk, tangan gue narik lengan dia, mastiin dia nggak pergi ke mana-mana.
Dia ketawa kecil, kecup bibir gue sekali lagi:
"Good. Because I’m not letting you go."
Bab 10 – Warm Showers & Warmer Touch
Pagi itu suasana apartemen masih tenang. Gue masih mager di kasur, selimut melorot, badan masih nempel sama dia. Ale cuma natap gue sambil mainin ujung rambut gue.
Dia senyum kecil, bibirnya deket ke telinga gue:
"You’re not planning to get up anytime soon, huh?"
Gue nyengir, tapi badan masih pegel, males banget bangun.
Tiba-tiba dia bangkit, ngebenahin posisi, lalu berdiri di samping kasur.
Matanya nyuruh, tangan dia ulurin ke arah gue.
"Come on, pequeña, let’s shower."
Gue noleh kaget.
"Together?"
Dia ngedeketin muka, bisik:
"Of course."
Tangan dia narik selimut, bikin gue otomatis nutupin dada, tapi dia cuma ketawa pelan, narik tangan gue dan bawa ke kamar mandi.
Kamar mandinya gede, kaca berembun, ada shower di atas bathtub.
Ale nyalain air, ngetes suhunya, terus balik narik gue ke bawah pancuran.
Air hangat langsung jatuh di punggung gue, bikin semua pegal sedikit reda.
Ale berdiri di belakang gue, tangannya nyisir pelan rambut gue yang basah, bibirnya kecup pelipis gue.
"Relax, let me wash you."
Dia ambil sabun, busain di tangannya, terus pelan-pelan usap bahu dan punggung gue. Gerakannya santai, nggak buru-buru, tapi tiap sentuhan bikin kulit gue panas lagi.
"You’re so beautiful like this," bisiknya.
Gue noleh, liat dia senyum kecil, rambut basah nempel di dahinya, air turun dari bahunya yang tegap.
Dia nunduk, kecup bibir gue pelan, lama-lama makin dalam.
Tangan dia jalan ke pinggang gue, narik gue makin nempel ke badannya.
"Can’t believe I finally have you here," katanya di sela ciuman.
Dia terus mandiin gue, ngeringin rambut pake handuk kecil sambil ketawa kecil liat gue yang masih malu-malu.
Pas selesai, dia bungkusin gue pake handuk, bawa balik ke kasur.
Tapi sebelum kita sempat duduk, dia tarik pinggang gue, bisik di leher:
"You smell like me now."
Gue senyum, tangan dia masih nahan gue erat.
"Breakfast?" tawarnya, tapi matanya masih nakal.
Bab 11 – His Kind of Breakfast
Selesai mandi, Ale ngebungkus gue pakai handuk, bawa gue balik ke kasur sambil terus peluk pinggang gue.
Gue masih ngerasa lemes, basah rambut belum kering sepenuhnya. Tapi yang lebih nggak stabil? Detak jantung gue.
Dari tatapan dia aja, gue udah tau—pagi ini belum kelar.
Dia dorong gue pelan ke atas kasur, senyum tipis sambil ngebenerin posisi gue, lalu berlutut di depan gue.
Tangannya narik handuk yang nempel di bahu gue, pelan-pelan dibuka. Gue otomatis mau nutupin dada, tapi dia langsung cegah, ngegenggam tangan gue.
"No need to hide, mi amor."
Dia naik ke atas kasur, ngeposisiin diri di antara kaki gue. Napasnya udah berat.
"You have no idea… how hungry I am."
Tangan dia naik dari lutut gue, pelan-pelan geser ke atas paha, sambil natap gue tanpa kedip.
Senyumnya udah nggak polos lagi—full predator mode tapi tetap lembut.
Dia nunduk, bibirnya mulai ngecium kulit paha gue, naik makin atas. Gue nahan napas, tangan gue otomatis narik sprei, mata gue ketutup.
Dia bisik di antara ciuman:
"Forget breakfast… you’re all I want to taste."
Gue sempat buka mata, liat dia natap gue sambil lidahnya jalan di kulit gue.
Tiap sentuhan bikin gue makin gemetar, dia nggak buru-buru, bener-bener kayak lagi savor every inch of me.
Tangan dia nahan pinggul gue biar nggak kabur, sementara dia makin intens, napasnya panas banget di kulit gue.
"Let me take care of you properly," bisiknya, sebelum akhirnya dia bener-bener makan gue sampai gue nggak bisa mikir apa-apa lagi, cuma bisa narik rambutnya sambil ngeluarin suara yang nggak bisa gue kontrol.
Dia nggak berhenti sampai gue gemetar keras, lalu akhirnya naik, nyium bibir gue lama—ngasih rasa gue balik ke mulut gue.
"Told you... you're the best breakfast I've ever had."
Dia nyengir, narik selimut buat nutupin kita berdua.
Tapi mata dia masih nakal, jari-jarinya masih main di kulit gue:
"We’re not done yet, pequeña..."
Bab 12 – Softest Aftercare & Real Breakfast
Tubuh gue udah nggak bisa gerak, napas masih berat, kepala rasanya melayang-layang. Ale masih di samping gue, mukanya deket banget, mata cokelatnya nggak lepas dari gue.
Dia ngelus pipi gue pelan, jempolnya ngehapus keringat di pelipis gue.
"Too much?" Dia bisik sambil senyum kecil.
Gue cuma bisa angguk pelan, badan gue bener-bener lemes, udah nggak punya tenaga buat apa-apa lagi.
Tanpa banyak ngomong, dia bangun, turun dari kasur, terus ambil tisu dari meja.
Dia balik lagi, ngebersihin gue pelan-pelan, gerakannya hati-hati banget kayak gue bisa pecah kalau disentuh kasar.
Setelah itu, dia tarik selimut, ngebungkus gue rapet-rapet. Tangannya nggak lepas dari rambut gue, ngerapihin sambil kecup kening gue.
"You’re okay, baby?" suaranya pelan banget.
Gue ngangguk kecil, masih susah ngomong.
Dia nyium bibir gue sekali, ringan banget, kayak takut gue makin capek.
Lalu dia ambil HP dari meja, ngetik sesuatu sambil nyender di kepala ranjang.
"I’m ordering food, yeah? You need to eat."
Beberapa menit kemudian, dia taruh HP, terus ngebelai rambut gue lagi.
"Rest. I’ll wake you when it arrives."
Gue ketiduran sebentar, masih nempel di dada dia. Rasanya nyaman banget, tiap hembusan napasnya bikin gue tenang.
Nggak lama, suara pintu apartemen diketuk.
Dia bangun, turun dengan cuma pakai celana panjang doang, ngambil pesanan.
Pas dia balik, tangannya bawa kantong makanan, aroma hangat langsung memenuhi ruangan.
Dia taruh makanan di meja kecil depan kasur, terus balik nyender lagi ke gue.
"Come on, pequeña, you need to eat something," dia bisik sambil nyolek pipi gue.
Gue setengah males gerak, tapi akhirnya duduk, dan dia bantu narik piring ke atas kasur.
Makanannya makanan Spanyol, ada churros, tortilla, sama orange juice. Dia nyuapin gue potongan kecil, senyum terus-terusan kayak puas banget liat gue makan.
"You need energy… because tonight, I might not let you sleep either."
Dia kedip nakal, terus nyium pipi gue lagi sebelum akhirnya duduk bareng gue, makan sambil ngobrol santai.
Bab 13 – Unexpected Call
Lagi enak-enak nyuap churros ke mulut, tiba-tiba HP gue yang ada di meja bergetar keras.
Gue ngelirik sekilas—Rayden.
Abang tiri gue.
Mau gue ambil, tapi Ale lebih cepat. Dia ngelirik layar, terus tanpa banyak mikir langsung angkat.
"Hello?"
Gue langsung panik kecil, mulut masih penuh churros, mau nyuruh dia kasih HP ke gue, tapi dia cuma narik gue makin deket, tetap tenang.
Dari speaker kedengeran suara abang gue.
"Eh… ini siapa? Mana dia?" Suara Rayden agak kaget, jelas nggak nyangka cowok asing yang jawab.
Ale senyum tipis, suaranya super santai tapi ada nada protectiveness:
"She’s busy right now. Having breakfast with me."
Mata Ale ngelirik ke gue yang udah panik sendiri, pipi gue merah, mau narik HP tapi dia tahan.
"Who are you?" Rayden nanya tajam.
Ale angkat alis, bibirnya nyentuh telinga gue sambil tetap ngomong ke telepon:
"Her boyfriend. Who are you?"
Gue nutup muka, mati gaya. Ale malah nyender makin deket ke gue, nunggu jawaban.
Rayden di seberang suara makin dingin:
"Gue abangnya. Kasih dia HP sekarang."
Ale ketawa kecil, tapi masih cool banget.
"She’s with me now. I’ll tell her you called."
Tanpa nunggu, dia matiin telepon, terus taruh HP di meja. Gue bengong, ngelirik dia.
"Ale! Itu abang tiri gue!"
Dia cuma nyengir, tangannya narik dagu gue biar natap dia.
"He can wait. You’re mine today."
Dia kecup bibir gue sebentar, terus balik ke makanannya kayak nggak terjadi apa-apa.
Gue masih deg-degan, nahan ketawa sama malu.
Tapi dalam hati, ada rasa aneh—seneng banget ngeliat dia sesweet dan seposesif itu.
Bab 14 – Too Hot to Eat Properly
Gue masih nelen sisa churros di mulut, tapi mata gue nggak bisa lepas dari Ale yang duduk santai di seberang gue.
HP udah dia taruh di meja, urusan abang tiri gue tadi kayak nggak pernah kejadian. Dia cuma nyender ke kursi, satu tangan nahan dagu, ngelihatin gue makan.
Masalahnya… cowok ini cuma pake celana panjang, badannya polos, basah dikit karena tadi habis mandi.
Otot dadanya, garis abs-nya, bahkan tulang bahunya keliatan jelas banget. Gue nyuap makanan lagi tapi mata gue ngelirik turun ke arah pinggangnya yang cuma dibungkus handuk tipis tadi sebelum dia ganti celana.
Sial banget, dia uwow parah.
Mata gue otomatis balik lagi ke wajahnya—dan dia nangkep gue ngelihatin. Senyumnya naik sebelah.
"You’re not eating, mi amor."
Dia sandarin dagu ke tangannya, tatapannya turun dari mata gue ke bibir gue, lalu ke bawah.
"Or is the view too distracting?"
Gue langsung pura-pura fokus ke makanan, ngeunyah tortilla kayak nggak ada apa-apa. Tapi kuping gue udah panas.
Dia ketawa kecil, nyender lebih deket, tangannya narik piring gue pelan.
"Let me feed you."
Dia ambil potongan kecil tortilla, suapin ke mulut gue sambil ngelus pinggang gue di bawah meja.
"Eat well. You’ll need energy later."
Gue nahan napas, nyoba fokus, tapi mata gue nggak bisa lepas dari garis V-line-nya yang jelas banget keliatan, apalagi pas dia duduk nyender ke kursi.
Dia ngeh banget gue ngelihatin.
"You like what you see, pequeña?" bisiknya deket banget ke telinga gue.
Tangan dia naik, nyelip ke rambut gue, ngeusap pelan.
Gue ngangguk kecil, susah nolak.
Dia ketawa, terus nyender lagi, ngambil orange juice dan minum sambil tetap ngelihatin gue.
"Good. Because tonight, I’m all yours."
Bab 15 – Can’t Let You Go (Even For A While)
Selesai sarapan, gue akhirnya sadar ada barang penting banget yang gue tinggal di rumah—nggak bisa nggak gue ambil. Gue tarik hoodie gue, siap-siap, tapi Ale udah berdiri duluan, ngadepin gue.
"Where are you going?" alisnya naik, matanya tajem.
Gue ngerasa kayak ketangkep basah, buru-buru jawab,
"Cuma bentar, Ale. Ada barang yang mesti gue ambil di rumah. Nggak lama kok."
Dia ngelipet tangan di depan dada, badannya tinggi banget di depan gue, ekspresi nggak puas.
"You’re leaving me?" Suaranya rendah, nadanya kayak anak kecil ngambek tapi tetap cowok dewasa.
Gue ketawa kecil, nyoba nyium pipinya, tapi dia cuma nahan dagu gue, matanya nggak lepas dari gue.
"No. I’ll drive you. You’re not going alone."
Gue akhirnya nyerah, nurut aja. Dia ambil kunci mobil, nuntun gue keluar apartemen, tangannya nggak lepas dari pinggang gue sama sekali.
Sepanjang jalan, dia diem. Tangannya sebelah tetep ngegenggam tangan gue di atas pahanya. Sesekali jempolnya muter-muter di punggung tangan gue, tapi matanya fokus ke jalan.
Begitu mobil berhenti depan rumah gue, gue mau buru-buru keluar, tapi Ale nahan pergelangan tangan gue.
"Wait."
Gue nengok.
Dia nggak ngomong apa-apa, cuma narik gue lebih deket, tangannya masuk ke rambut gue, matanya dalem banget.
"You better not take long," bisiknya pelan, bibirnya nyaris nyentuh gue.
Gue senyum kecil, mau buka pintu, tapi dia narik dagu gue dan langsung nyium bibir gue dalam-dalam.
Ciumannya nggak terburu-buru, tapi nempel banget—bikin gue nyaris lupa tujuan gue mau keluar mobil.
Tangannya ngelus belakang leher gue, nahan gue tetep deket.
Pas dia lepasin, nafas gue udah berat.
"Now go," suaranya serak, "and come back fast. I don’t like being away from you."
Gue keluar mobil sambil senyum, kepala gue masih blank gara-gara ciuman tadi.
Dan gue tahu banget… gue bakal balik cepet, soalnya cowok ini literally bikin candu.
Bab 16 – Rayden’s Suspicion
Begitu gue selesai ambil barang, gue buru-buru keluar rumah. Tapi baru aja mau nutup pintu, suara berat yang udah gue kenal banget manggil dari belakang.
"Eh. Mau ke mana?"
Gue nengok—Rayden berdiri di ambang pintu, tangan bersilang, alisnya naik, ekspresi datar tapi tajem.
Gue senyum setenang mungkin.
"Ngambil barang doang. Udah kelar kok." Gue coba lewat, tapi dia geser badannya, nutup jalan gue.
"Kemarin nggak pulang. Sekarang buru-buru banget. Lu nginep di mana?"
Gue telan ludah, otak gue muter mikir jawaban. Tapi sebelum gue sempet buka mulut, HP gue getar di tangan—nama Ale muncul di layar.
Rayden ngelirik sekilas, matanya makin sempit.
"Ini cowok yang tadi ngangkat telepon gue, ya?" Nadanya datar, tapi jelas-jelas tajem.
Gue masukin HP ke kantong hoodie, senyum cuek.
"He’s just a friend." Gue pura-pura santai, tapi Rayden nggak gampang percaya.
Dia nyender ke dinding, masih mantengin gue.
"Friend tapi semalem nggak balik?"
Gue narik napas, tatap balik dia.
"Rayden, gue udah gede. Gue tahu apa yang gue lakuin."
Dia ngelirik gue dari atas sampe bawah, ekspresinya masih sama—curiga campur posesif.
"Lu hati-hati," dia akhirnya ngomong pelan, tapi tegas.
"Gue nggak suka lu ngilang-ngilang sama orang yang gue nggak kenal."
Gue senyum tipis, mendekat sedikit.
"Santai aja, Bang. Gue nggak bakal kenapa-kenapa."
Dia masih mantengin gue beberapa detik, lalu akhirnya ngalah, geser badan biar gue bisa jalan keluar.
Begitu gue sampai di luar, HP gue langsung gue cek. Ada chat dari Ale:
> "Done yet, pequeña? I’m waiting."
Gue ketik cepat.
> "On my way. Got stuck a bit."
Gue buru-buru jalan ke mobil Ale yang parkir nggak jauh. Begitu gue masuk, dia langsung ngelirik gue tajem.
"What took so long?"
Gue senyum, nyender ke kursi.
"Rayden caught me."
Ale ngelirik, ekspresinya berubah.
"Did he say anything?"
Gue ketawa kecil, nyentuh tangan Ale di setir.
"He’s just worried. But I’m here now."
Ale nyium tangan gue singkat, lalu start mesin mobil.
"Good. You’re mine tonight. He’ll get used to it."
Mobil melaju, dan gue tahu drama baru aja mulai.
Bab 17 – Age is Just a Number, Possessiveness is Everything
Begitu gue duduk lagi di dalam mobil Ale, atmosfer langsung berubah. Tangannya masih nahan setir, tapi mata dia mantengin gue terus, rahangnya kenceng.
"Your brother gave you a hard time?"
Gue senyum tipis, nyender ke jok, tangan gue mainin seatbelt.
"He’s just protective. You know, abang vibes." Gue nyengir, ngelepasin kesan santai.
Tapi Ale nggak keliatan seneng. Tangan dia geser dari setir, jemarinya narik dagu gue, nahan wajah gue biar hadap dia.
"I don’t care how protective he is. You’re not his responsibility anymore."
Suaranya berat, mata dia dalem banget.
Gue telan ludah, ngerasa dada gue sesek napas. Cowok ini... bener-bener dominan parah.
"I’m yours, right?" Gue bisik pelan, ngetes batasnya.
Dia senyum miring, tangannya turun dari dagu gue ke leher, ngeusap pelan.
"All mine, pequeña. And I’m not sharing."
Tanpa nunggu, dia miring ke arah gue, bibirnya nempel ke leher gue, ngecium pelan tapi nahan.
Gue nggak bisa nahan diri, tangan gue narik hoodie dia, nyium balik bibir dia. Ciumannya dalem, possessive banget—seolah dia ngasih tanda ke seluruh dunia kalo gue cuma milik dia.
Pas napas gue udah mulai habis, dia berhenti, nyender ke kursinya sambil ngelihatin gue yang masih ngos-ngosan.
"Age doesn’t matter, cariño. You're more mature than anyone I know."
Tangannya main-main di paha gue, ngelus lembut tapi intens.
Gue senyum kecil, tangan gue narik jemarinya.
"Tapi lo tetep lebih tua, loh."
Dia ketawa kecil, nyender lebih deket, suaranya berat di telinga gue.
"Yeah. Older, stronger… and definitely not letting you go."
Gue merem sebentar, nyoba nenangin jantung gue yang udah nggak karuan.
Tiba-tiba dia nyalain mesin mobil lagi.
"We’re going back. You need rest."
Tapi tatapan dia jelas-jelas bilang, "Rest" versi dia tuh bukan yang bener-bener istirahat.
Dan jujur? Gue nggak keberatan sama sekali.
Bab 18 – Rest? Nah, Not That Kind of Rest.
Mobil berhenti di basement apartment Ale. Dia matiin mesin, tapi nggak langsung keluar. Malah, dia ngelepas seatbelt, ngadep gue sambil nahan dagu gue pake dua jari.
"You look tired, pequeña."
Gue cuma ngangguk kecil, nafas masih berat gara-gara sesi ciuman tadi.
Ale senyum miring, matanya nggak lepas dari gue.
"Let’s get you to bed." Tapi nadanya… jelas bukan "tidur nyenyak" yang dia maksud.
Kita naik ke atas. Begitu pintu apartemen kebuka, dia narik gue langsung masuk, nutup pintu pake kaki. Nggak ada basa-basi, dia ngelepas jaket gue, ngegantungnya sembarangan di kursi.
Tangan dia narik pinggang gue, ngebawa gue ke sofa.
Dia duduk, ngerangkul pinggang gue biar gue duduk di pangkuannya, posisinya face to face. Tangan dia otomatis jalan ke punggung gue, ngelus naik-turun pelan.
"Tell me if anything hurts."
Suaranya lembut tapi dalem banget.
Gue senyum kecil, nyenderin dahi ke pundaknya.
"Cuma pegel dikit," bisik gue.
Dia ketawa rendah, dagunya nyandar di atas kepala gue.
"Yeah, I figured."
Tangan dia naik ke rambut gue, nyibakin pelan.
"But that’s not gonna stop me tonight."
Gue angkat kepala, ngelirik dia, pura-pura protes.
"Ale… I thought you said rest."
Dia ngelus bibir gue pake ibu jarinya, matanya tajem tapi hangat.
"Rest, yes. But my version. You’ll feel better after."
Tanpa kasih kesempatan buat gue ngomong, dia bawa gue berdiri, langsung gendong ala koala, kaki gue melingkar di pinggangnya.
Dia bawa gue ke kamar, naro gue perlahan di kasur, tapi tangannya nggak ngelepas.
"Stay still, pequeña."
Dia buka hoodie-nya, matanya nggak lepas dari gue. Badan dia emang... uh, jelas banget, tone-nya nggak main-main.
Dia naik ke kasur, nyender di sandaran, narik gue buat rebah di dadanya, satu tangan dia ngelus punggung gue naik-turun pelan.
"Just breathe."
Napasnya nempel di telinga gue, bikin leher gue merinding.
Lama-lama, tangan dia turun lagi ke pinggang gue, narik lebih deket, nyium pelan-pelan di rambut, ke pelipis, sampe ke leher.
Ciumannya slow, tapi deep banget.
Bukan sekadar napsu—dia literally ngeklaim gue seolah nggak ada yang boleh sentuh selain dia.
"You’re mine. Every inch."
Bisikannya bikin jantung gue skip beat.
Tiba-tiba, dia nyium spot di leher gue agak lama, nyisain kissmark halus.
Tangan dia nyelip ke jemari gue, ngegenggam erat.
"Now rest. Tomorrow, you’re not going anywhere."
Dia senyum kecil, cium kening gue.
Tapi jelas banget—malam ini nggak bakal sesantai itu.
Dan honestly? Gue nggak mau "rest" versi lain selain kayak gini.
Bab 19 – You Start, I Lose Control
Pagi masih kelabu, tapi kamar apartemen Ale udah hangat banget. Cahaya matahari cuma masuk tipis-tipis lewat tirai. Gue masih kebungkus selimut, tapi rasanya… basah, lengket, lembut. Sisa malam tadi jelas kebawa sampe ke tulang sumsum.
Ale ada di samping gue, satu tangan nyelip di bawah kepala gue, tangan satunya nempel di pinggang gue. Jemarinya masih main-main di punggung gue, ngebuat garis-garis pelan.
Gue geser dikit, nempel lebih deket ke dadanya. Tubuh dia anget, aroma kulitnya bikin gue nyaman tapi deg-degan.
Tiba-tiba dia nyadar gue bangun. Bibirnya langsung nempel ke pelipis gue, suaranya berat.
"Morning, pequeña."
Napasnya ngelus telinga gue.
Gue cuma ngangguk, masih belum bisa ngomong. Badan gue agak pegal, tapi rasa nyaman sama dia bikin males gerak.
Jari-jari dia turun, ngelus sepanjang tulang punggung, kadang berhenti di pinggang buat narik gue makin rapet ke badannya.
"You okay?"
Suara dia rendah, khawatir tapi ada nada posesifnya.
Gue ngangkat kepala, nyender di dadanya, mata gue ketemu matanya.
"I’m good." Gue senyum kecil, tapi bibir gue udah deket banget ke dagunya.
Gue diem sebentar, terus—tanpa mikir panjang—gue yang mulai. Bibir gue naik, nyium sudut bibir dia dulu, pelan, nahan napas.
Ale diem. Tapi tangan dia di punggung gue langsung ngegeser, narik leher gue biar deket lagi. Napas dia mulai berat.
Gue senyum kecil, lagi-lagi nempelin bibir gue ke bibir dia, kali ini lebih lama, lebih dalem.
Dia nahan, tapi jelas-jelas keliatan susah.
"Don’t start something you can’t finish, pequeña," bisik dia, suara udah berat banget.
Gue cuma nyengir, bibir gue turun, ngecium rahang dia, turun ke leher, lidah gue nyelip sebentar—bikin Ale napasnya nggak stabil.
Tangan dia langsung mindahin gue, sekarang gue kebalik, gue ada di bawah dia. Matanya nyala, tapi tetap kalem, elegan, penuh kontrol.
Dia nyenderin dahinya di dahi gue, napas dia berat.
"You’re playing dangerous."
Tapi bibir dia nyium lagi pelan, turun ke leher, bahu, sesekali ngebuat tanda kecil di kulit gue.
Tapi dia tetap nahan. Tetap nahan segel gue, tapi bikin seluruh badan gue lemes, basah, lengket sama napas dia.
Tangannya naik turun, kadang nyelip ke jemari gue, kadang ngeusap lembut pipi gue.
"I could lose control anytime, but I won’t."
Suaranya ngelirih banget, hampir kayak bisikan rahasia.
Dia turun lagi, nempelin ciuman ke perut gue, naik ke tulang selangka, terus balik lagi ke bibir gue, nyium dalam lama, penuh rasa.
Pas akhirnya kita berdua diem, napas ngos-ngosan, dia tarik selimut lagi, ngebungkus kita berdua.
"You’re dangerous, you know that?"
Bisik dia sambil ketawa pelan, tangannya masih nempel di pinggang gue.
Gue cuma senyum kecil, nyender lagi di dada dia.
Dalam hati gue mikir, cowok 28 tahun ini, yang keliatan cool, elegan, dewasa—bisa nahan semua itu cuma demi gue, bocil 15 tahun yang suka ngusilin dia.
Tapi jelas, dia udah ngasih tanda:
“All this, cuma buat kamu.”