Evan selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Meskipun ia memiliki segalanya—keluarga yang harmonis, pekerjaan impian, pasangan yang mencintainya, dan sahabat terbaik, Andre—ia selalu menemukan celah untuk mengeluh. Baginya, ada banyak hal kecil yang membuat hidupnya tidak sempurna. Pekerjaannya terasa monoton, tunangannya terkadang terlalu protektif, dan sahabatnya selalu mengeluh tentang nasib buruknya. Evan sering berkata dalam hati, "Andai saja aku punya hidup yang lebih baik."
Namun, pada suatu pagi yang aneh, Evan terbangun dalam keadaan berbeda. Tidak ada panggilan dari tunangannya, tidak ada pesan dari rekan kerjanya. Bahkan, saat ia tiba di kantor, tak seorang pun mengenalinya. Meja yang seharusnya miliknya kini ditempati oleh Andre. Lebih mengejutkan lagi, semua orang memperlakukannya seperti Evan—dengan penuh penghormatan, kasih sayang, dan perhatian yang seharusnya diterima Evan—namun tetap memanggilnya dengan nama "Andre." Seolah-olah mereka tahu siapa dirinya, tetapi tidak mengenali Evan yang asli.
Evan panik. Ia mencoba berbicara dengan Andre, namun Andre hanya menatapnya bingung. "Maaf, siapa kau?" tanyanya tanpa sedikit pun rasa familiar. Evan berlari ke rumahnya, tapi yang ia temukan hanyalah orang asing yang mengaku telah tinggal di sana selama bertahun-tahun. Bahkan, keluarganya sendiri tidak mengingatnya.
Hidup Evan telah dihapus.
Ia mencoba mencari jawaban. Apakah ini kutukan? Sebuah kesalahan dalam realitas? Atau... apakah dunia memang telah memilih Andre untuk menggantikannya? Putus asa, Evan mencoba mencari satu-satunya orang yang mungkin masih mengenalnya—tunangan yang dulu begitu mencintainya. Dengan harapan yang tersisa, ia menemui wanita itu di tempat kerja, namun yang ia terima bukanlah pelukan atau air mata kebahagiaan, melainkan tatapan penuh kebingungan dan kejijikan. "Siapa kau? Jangan pernah mendekatiku lagi!" katanya lantang. Evan tak sempat merespons ketika para pegawai mulai berbisik dan mengoloknya, menyebutnya pria aneh yang mengganggu tunangan Andre. Rasa malu menjalar ke seluruh tubuhnya ketika satpam menyeretnya keluar.
Lebih buruk lagi, Andre pun mulai membencinya. "Berhenti mengganggu hidupku! Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak peduli!" ucapnya dengan tatapan penuh kemarahan. Evan yang dulunya sahabatnya, kini dianggap sebagai ancaman. Semua ini menghancurkan mentalnya perlahan-lahan. Tak hanya kehilangan hidupnya, ia kini juga kehilangan alasan untuk bertahan.
Ketika malam tiba, Evan sadar bahwa ia bukan hanya kehilangan identitasnya. Ia mulai melupakan siapa dirinya. Nama lengkapnya, ulang tahunnya, bahkan kenangan kecil mulai memudar.
Ketakutan menjalari pikirannya. Jika ia terus seperti ini, akankah ia benar-benar lenyap? Evan mulai merasakan kehampaan dalam dirinya, seolah-olah eksistensinya sendiri perlahan menghilang. Ia mencoba mengingat momen-momen kecil yang dulu berharga—tawa ibunya, genggaman tangan ayahnya, obrolan malam dengan tunangannya. Tetapi semakin keras ia berusaha, semakin sulit ia mengingatnya.
Sementara itu, Andre menikmati kehidupan barunya. Untuk pertama kalinya, ia memiliki keluarga yang mencintainya, pekerjaan yang stabil, dan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Namun, sesuatu dalam dirinya merasa aneh. Ia mulai mengalami kilasan-kilasan memori yang bukan miliknya. Kenangan tentang sebuah rumah, seorang tunangan, dan kehidupan yang begitu sempurna. Ia mulai mempertanyakan apakah kehidupan yang sekarang benar-benar miliknya, atau ada sesuatu yang telah berubah tanpa ia sadari.
Evan hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri—apakah ini hukuman atau kesempatan untuk memahami hidup dari sisi yang berbeda? Dan yang lebih penting, apakah ia bisa menemukan cara untuk mendapatkan hidupnya kembali sebelum dirinya benar-benar lenyap dari ingatan dunia?
Namun, sebelum semuanya terlambat, Evan terbangun. Ia terengah-engah di ranjangnya, keringat dingin membasahi tubuhnya. Semua itu... hanyalah mimpi.
Dengan napas tersengal, Evan melihat sekeliling kamarnya. Jam di samping ranjang menunjukkan pukul 6 pagi. Ponselnya bergetar dengan pesan dari tunangannya. Ia baru menyadari betapa berharganya hidupnya selama ini, betapa bodohnya ia karena selalu mengeluh. Ia menutup wajah dengan tangannya, merasakan campuran syukur dan ketakutan yang masih tersisa dari mimpinya.
Hari itu, Evan bangun dengan kesadaran baru. Ia tidak akan pernah lagi menganggap hidupnya remeh. Karena kini, ia tahu betapa berharganya sesuatu sebelum semuanya terlambat.